RS Universitas Indonesia Siap Layani Pasien TB

Untuk mendukung program nasional kesehatan dalam penanganan TB diharapkan semua rumah sakit di Indonesia punya Pokja khusus tangani pasien TB
RS Universitas Indonesia (Foto: Dok)

Jakarta - Setiap rumah sakit di seluruh Indonesia harus mempunyai kelompok kerja (pokja) yang khusus menangani pasien penderita TB. Guna menjalankan program nasional kesehatan tersebut, serta membantu menekan angka penderita TB di Indonesia, RSUI menyediakan unit layanan khusus bagi pasien penderita TB yang diberi nama TB Care Plus.

Di dalam kelompok kerja unit pelayanan TB, RSUI tidak hanya melibatkan dokter spesialis paru saja, namun juga turut bekerjasama dengan dokter spesialis lainnya. Hal tersebut dilakukan karena kuman TB dapat menyebar ke berbagai organ tubuh lainnya seperti otak, usus, dan ginjal.

Kepada Tagar, dr R.R Diah Handayani SpP (K) dan dr Dinda Daifiri Sp.S menjelaskan secara detail mengenai unit pelayanan TB Care Plus di RSUI.

“Sistem bentuk layanan kita bekerjasama dengan multidisiplin. Tadi selain dokter paru, dokter anak, dan sebagainya, kita juga di sini berkolaborasi misalnya dengan tim keperawatan. Perawat kita perawat yang terlatih dan bersertifikat untuk hal TB,” ujar dr Diah Handayani selaku dokter spesialis paru sekaligus Ketua Pokja TB RSUI kepada Tagar.

1. Pelayanan Primer dan Pelayanan Sekunder

Sistem pelayanan pasien TB di RSUI terbagi menjadi dua yakni, layanan primer dan layanan sekunder. Layanan primer berada di lantai satu RSUI dan akan ditangani oleh dokter-dokter umum. Sedangkan untuk layanan sekunder berada di lantai dua dan langsung dilayani oleh dokter-dokter spesialis.

Pelayanan primer diberikan kepada pasien yang baru menderita TB atau pasien TB yang tidak mengalami komplikasi dan gangguan-gangguan lainnya. Namun, bila dokter di layanan primer mendapati pasien TB dengan komplikasi dan gangguan lainnya, maka pasien bisa dirujuk ke pelayanan sekunder dan akan mendapat penanganan dari dokter-dokter spesialis.

Hal tersebut berlaku pula untuk layanan sekunder. Bila dokter di layanan sekunder mendapati pasien TB tanpa tanda-tanda komplikasi, dokter akan menawarkan pasien untuk rujuk balik ke layanan primer.

dr diahDokter Diah Handayani (Foto: rs.ui.ac.id)

“Tapi sebaliknya, misalnya tertangkap oleh saya (dr Diah) kasus TB, ternyata dia nggak komplikasi, tapi di awal sulit untuk mendiagnosis, dokter umum tidak bisa misalnya, ragu-ragu, (tapi) begitu sudah tegak diagnosis, pengobatanya tidak ada masalah, kita tawarkan ke pasien rujuk balik” ujar dr Diah

“(Seolah bertanya ke pasien) Mau sama dokter paru atau sama dokter umum? Karena biayanya berbeda,” lanjutnya.

2. Layanan After Care

Selain pelayanan primer dan sekunder, RSUI juga menyiapkan layanan After Care kepada pasien TB. Layanan ini ditunjukkan kepada pasien yang tengah menjalani perawatan di rumah. Hal tersebut dilakukan agar pasien TB tetap rutin mengonsumsi obat, serta mengingatkan pasien terkait jadwal kontrol.

“Jadi ketika pasien sudah di rumah pun kita hubungi. Kita bantu mengingatkan untuk minum obat dan untuk kontrol kapan dia harus kembali ke rumah sakit,” kata dr Diah.

3. Ruangan Khusus Pasien TB

Di samping itu, pasien TB yang hendak berobat ke RSUI akan mendapat perlakuan pengistimewaan berupa lajur dan ruangan yang berbeda. Hal ini juga dilakukan sebagai upaya mencegah penularan infeksi TB kepada pasien lain di RSUI karena sifat kuman TB yang dapat menular melalui udara.

Pasien TB yang berobat ke RSUI akan diarahkan ke loket khusus, dan dianjurkan menggunakan masker. Setelah itu, pasien akan diarahkan ke poli yang sesuai.

“Kita telah melatih, menyampaikan ke satpam, kalau pasien memang dia TB, dia ada loket khusus. Kemudian pasien kita anjurkan menggunakan masker. Kemudian dia akan segera dibawa ke poli primer maupun sekunder,” jelas dr Diah.

Nantinya, baik di poli primer maupun poli sekunder, pasien akan kembali ditempatkan di ruangan khusus untuk pasien infeksi. Ruangan tersebut dilengkapi dengan filter dan tekanan negatif. Hal tersebut bertujuan agar infeksi dari dalam tidak menyebar keluar ruangan dan sirkulasi udara tetap aman.

“Bedanya di ruangan itu dilengkapi dengan yang namanya ruangan tekanan negatif dan juga filter sehingga udaranya (tetap) aman,” kata dr Diah.

4. Edukasi TB Kepada Pasien

Selain mendapat perawatan dari dokter, pasien TB juga akan mendapat edukasi baik dari dokter maupun dari tim RSUI. Edukasi ini mencakup tentang konsumsi obat, efek samping obat, kapan pasien harus kembali melakukan kontrol, ke mana pasien meminta pertolongan bila suatu saat terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, dll.

Untuk pasien TB yang sudah berkeluarga, dokter akan menganjurkan seluruh keluarga untuk melakukan pemeriksaan dan mengonsumsi obat pencegahan. Bilamana ditemukan anggota keluarga lain yang sudah terinfeksi, semisal anak dari pasien TB, maka dokter akan berkolaborasi dengan dokter anak.

“Upaya pengobatan TB itu harusnya, kalau (misal) ada yang sakit TB bapak-bapak, terus dia punya anak kecil, anaknya kan harusnya diberikan obat pencegahan, atau bahkan seluruh keluarga itu harusnya diperiksa,” tegas dr Diah.

5. Program Screening

Selain itu, untuk mencegah pengobatan terlambat terhadap pasien TB, dokter di RSUI juga akan melakukan screening ke beberapa pasien lain di luar pasien TB seperti, pasien penderita HIV, diabetes, dll. Proses screening dilakukan dengan menanyakan gejala-gejala TB yang dialami pasien lain. Jika gejala TB ditemukan pada pasien tersebut, maka akan segera dilakukan pemeriksaan fisik.

“Terus yang lainya lagi yang memang seluruh program TB di manapun harus juga men-screening orang-orang yang diabetes atau HIV supaya juga bisa dievaluasi jangan sampai kecolongan," jelas dr Diah.

Selain screening pada pasien lain, program screening juga berlaku pada pekerja-pekerja atau karyawan yang melakukan check-up. Nantinya mereka yang melakukan check-up akan diedukasi terkait penyakit TB.

“Kita juga akan anjurkan lebih intensif ketika ada yang TB. Apalagi perusahaan yang masa kerja panjang. Karena bisa saja menular dari lingkungan,” ujarnya.

Sedangkan, terkait meningitis TB, dr Dinda Diafiri selaku dokter spesialis saraf menjelaskan terkait pentingnya setiap orang untuk memahami penyakit yang menyerang otak tersebut serta bagaimana pengobatan terhadap pasien meningitis TB.

Dr Dinda mengaku sudah banyak menemukan pasien komplikasi TB di RSUI, salah satunya meningitis TB. Hal tersebut menurutnya berkaitan erat dengan besarnya jumlah penderita TB dan HIV di Indonesia.

Selain itu, dr Dinda juga menyayangkan kurangnya edukasi terhadap masyarakat tentang penyakit meningitis TB. Sehingga banyak ditemukan kasus pasien yang terlambat untuk berobat. Hal tersebut, jika dibiarkan berlarut-larut, kerusakan yang terjadi pada otak biasanya akan sulit dan bahkan tidak bisa diperbaiki kembali.

“Karena meningitis TB ini belum ada edukasi untuk yang awam, jadi kebanyakan pasien meningitis TB datangnya telat, jadi sudah terlalu berat (penyakitnya) baru datang,” ujar dr Dinda kepada Tagar.

“Semua kerusakan yang terjadi di otak itu kan sudah berlangsung. Biasanya sekitar 2 mingguan baru datang. Jadi itu kalau (ada organ) yang rusak, tidak bisa diperbaiki lagi,” lanjutnya.

Pengobatan pada pasien dengan meningitis TB cenderung lebih lama (9-12 bulan) dari TB paru. Hal tersebut membuat pasien terkadang memutus konsumsi obat dan dapat dapat berakibat fatal.

“Pengobatannya ini penting dilakukan segera dan membutuhkan waktu yang lama dan tidak boleh putus,” tegas dr Dinda. “Karena kalau putus, nanti kumannya jadi kebal terhadap obat yang sudah diberikan, nanti pengobatannya jadi lebih sulit,” lanjutnya. []

Berita terkait
RSUI Gelar Bicara Sehat TBC dan Infeksi Otak
Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI), Depok, Jabar, menggelar seminar awam tentang kaitan TBC dengan infeksi otak di era milenial
Memahami TB dan Meningitis Lewat Ahlinya
Jumlah kasus TB yang tinggi di Indonesia jadi perhatian bagi kalangan milenial karena infeksi TB ada kaitannya dengqan infeksi otak meningitis
0
JARI 98 Perjuangkan Grasi untuk Ustadz Ruhiman ke Presiden Jokowi
Diskusi digelar sebagai ikhtiar menyikapi persoalan kasus hukum yang menimpa ustaz Ruhiman alias Maman.