Untuk Indonesia

Rp 90 Miliar untuk Influencer, Apa Itu Korupsi?

Indonesia Corruption Watch pemantau korupsi, apa yang salah dengan mengeluarkan dana Rp 90 miliar buat bayar influencer? Di mana letak korupsinya?
Ilustrasi - Influencer di media sosial. (Foto: Tagar/Pixabay/Geralt)

Oleh: Ade Armando*

Tentu Anda sudah dengar bahwa ICW mempersoalkan dana Rp 90 miliar yang dikucurkan pemerintah selama empat tahun kepada para influencer. Buat saya sih ini mengherankan. Kok dipertanyakan? 

ICW itu kan Indonesia Corruption Watch? yang dia watch, yang dia pantau, kan seharusnya korupsi? Kenapa ICW sekarang mempersoalkan aliran dana pemerintah untuk influencer? Apa yang salah dengan mengeluarkan dana Rp 90 miliar buat bayar influencer? Di mana letak korupsinya?

Dan harap dicatat, ICW memperolehnya dari sumber data resmi ya. Ini data yang tercatat di Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Jadi, ini bukan data yang ditutup-tutupi yang dibongkar oleh ICW. Ini data resmi pemerintah.

Gara-gara pernyataan ICW itu, KPK dan BPK pun langsung bersuara. Menurut KPK, mereka akan pelajari apakah ada indikasi korupsi. Begitu juga BPK, mereka menyatakan akan memeriksa transparansi dan akuntabilitasnya.

Tapi tentu saja yang lebih ramai adalah media dan para pegiat media sosial. Dan narasinya sih kurang lebih serupa: Ada yang enggak beres nih, ada yang harus dibongkar. Pemerintah licik. Menggunakan uang rakyat untuk menipu rakyat.

Apalagi sebelumnya ada kasus artis Ardhito Pramono yang sampai harus minta maaf gara-gara menurutnya tanpa dia sadari dia berfungsi sebagai influencer untuk mensukseskan RUU Cipta Kerja dengan menulis hastag #Indonesiabutuhkerja.

Dia bilang dia tidak tahu, tapi dia diminta oleh rekan kerjanya untuk memasang hastag itu. Karena itulah dia minta maaf. Ada pula anggota ICW yang menganalisis bahwa digelontorkannya dana Rp 90 miliar itu menunjukkan Jokowi tidak percaya diri dengan program-programnya.

Menurut ICW, penggunaan dana besar kepada influencer itu tidak sehat bagi demokrasi, karena informasi yang disebarkan para influencer tidak selalu valid, dan tidak jarang justru misinformasi.

Terus terang ini buat saya terpaksa geleng-geleng kepala. Kok influencer jadi terkesan seperti pekerjaan hina? Ini kan perkaranya sederhana saja. Pemerintah, atau perusahaan, atau lembaga terkemuka di seluruh dunia memang sangat lazim punya divisi yang namanya public relations atau hubungan masyarakat.

Apa yang salah dengan mengeluarkan dana Rp 90 miliar buat bayar influencer? Di mana letak korupsinya?

InfluencerIlustasi - Influencer. (Foto: Tagar/Pixabay/Viarami)

Sedemikian pentingnya fungsi humas atau PR, sampai-sampai hampir di semua perguruan tinggi ilmu komunikasi di Indonesia, ada satu program studi humas atau PR. Bahkan ada perguruan tinggi yang memang menyebut dirinya Sekolah Tinggi Public Relations.

Fungsi PR adalah mewakili lembaga untuk berkomunikasi dengan publik di luar lembaga. Termasuk di dalamnya berupaya untuk mempengaruhi masyarakat agar memandang positif produk, kebijakan, atau kinerja lembaga. Jadi, PR punya peran penting untuk membangun imej lembaga.

Di masa lalu, fungsi PR di lembaga pemerintahan memang dianggap pinggiran, apalagi ketika arus informasi belum terbuka dan masih terbatas. Peran PR jadinya hanya menjadi juru bicara untuk menyampaikan apa yang ingin disampaikan pimpinan lembaga.

Tapi ketika sekarang ada begitu banyak informasi berseliweran terutama akibat media online dan media sosial, peran PR menjadi semakin berat. PR harus bertarung setiap hari untuk menjaga imej lembaga dan produknya.

Dalam era demokrasi, apa kata masyarakat menjadi penting. Masyarakat tidak lagi bodoh dan ikhlas saja menerima apa pun kebijakan pemerintah. Jadi sekarang ini sebelum kebijakan diluncurkan, idealnya memang sudah ada juga rancangan strategi komunikasi untuk mensukseskan penerimaan kebijakan di mata masyarakat.

Ada banyak komponen dalam sebuah strategi komunikasi yang baik. Di masa lalu yang jadi andalan adalah beriklan di media, buat billboard, bikin konferensi pers, bikin media gathering, atau mengundang awak media jalan-jalan, dan seterusnya.

Itu dilakukan karena ada asumsi saat itu bahwa cara pandang publik sangat ditentukan oleh apa yang disampaikan media massa. Sekarang, itu tidak cukup. Masalahnya, sumber informasi masyarakat bukan lagi hanya media massa. Yang juga menjadi sumber informasi adalah media online dan media sosial.

Masyarakat sekarang setiap hari menggunakan Twitter, Instagram, Facebook, YouTube. Dan apa yang mereka konsumsi di media sosial itu sangat menentukan cara pandang mereka.

Inilah yang menyebabkan banyak selebritis media sosial menjadi kaya terutama karena di akunnya dia mempromosikan baik produk atau ide dengan mengikuti permintaan klien yang membayar mereka. Para selebiritis inilah yang disebut influencer. Mereka disukai penyandang dana karena kekuatan pengaruh mereka.

Karena itulah saat ini banyak dana yang dulu dikucurkan untuk membiayai promosi lewat media massa sekarang dialihkan ke media sosial. Nah, sekarang kembali ke soal dana pemerintah tadi, dana yang dipakai untuk membayar influencer.

Pertanyaan saya: Apa yang salah dengan itu? Dari dulu ada anggaran public relations lembaga pemerintah. Dari dulu pemerintah memang menggunakan dana APBN untuk berkomunikasi kepada rakyat. Hanya saja, dulu yang dibayar adalah media massa, sekarang yang dibayar adalah influencer.

Marilah kita menghargai humas, influencer, wartawan, demonstran.

InfluencerIlustasi - Influencer. (Foto: Tagar/Pixabay/Viarami)

Kenapa kok tiba-tiba dianggap sebagai sesuatu yang perlu diawasi seolah-olah membayar influencer itu adalah sesuatu yang haram? Di mana korupsinya? Saya tidak paham. Kenapa si artis harus minta maaf karena sudah menjadi influencer? Saya tidak paham.

Apakah kegiatan public relations adalah sesuatu yang haram? Tentu tidak. Lain halnya kalau para influencer harus menyebarkan kebohongan, semisal bahwa vaksis Covid-19 sudah ditemukan. Tapi, harap diketahui, etika public relations mengatakan kebohongan tidak dapat ditoleransi.

PR yang berbohong kepada publik akan kehilangan kredibilitasnya begitu ketahuan berbohong. Karena itu PR yang baik akan meminta influencer yang baik agar tidak berbohong. Yang diizinkan adalah mempromosikan, membangun imej positif, mempengaruhi agar masyarakat paham, menerima, dan mendukung kebijakan yang dikeluarkan.

Itu sama sekali tidak jahat. Itu bahkan sangat normal dan niscaya. Dan kalau dilihat dari peruntukan anggaran sebagaimana dilansir ICW itu, tidak ada yang janggal dari pengucuran dana bagi influencer.

Kementerian yang paling banyak menggunakan dana untuk media sosial adalah Kementerian Pariwisata (Rp 77 miliar). Lantas Kominfo (Rp 10 miliar). Lantas Kemendikbud (di bawah Rp 2 miliar). Dan ada Kementerian Perhubungan dan Pemuda dan Olahraga (masing-masing di bawah Rp 200 juta).

Jadi yang terbesar adalah pariwisata. Ya, wajarlah. Kok tiba-tiba dikesankan seolah-olah pemerintah ingin melakukan propaganda dengan mengucurkan dana sebesar itu?

Kalau memang ada influencer atau juga juru bicara pemerintah yang menyebarkan kabar bohong, atau menyesatkan, kita tentu tidak boleh diam. Tapi kalau misalnya yang disuarakan si influencer adalah narasi bahwa rakyat Indonesia butuh lapangan kerja dan RUU Cipta Kerja adalah jawaban terhadap kebutuhan itu, tentu itu hal yang biasa-biasa saja, halal.

Mereka yang menolak RUU Cipta Kerja tentu saja menolak kampanye itu. Tapi kan mereka juga punya hak sepenuhnya untuk mengkampanyekan penolakan, bahkan melalui unjuk rasa secara online ataupun offline. Tapi kan humas pemerintah juga berhak sepenuhnya untuk menjalankan strategi komunikasi agar publik mendukung RUU Cipta Kerja. Ya, itulah demokrasi.

Jadi marilah kita menghargai humas, influencer, wartawan, demonstran.

*Dosen di Universitas Indonesia

Berita terkait
Tak Etis Gunakan Influencer Tutupi Masalah Pemerintah
Sukamta mengaku sangat menyayangkan jika para artis dan influencer digunakan untuk tujuan membangun opini politik atas permasalahan di pemerintah.
DPR: Anggaran influencer Dapat Pengaruhi Opini Publik
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR menanyakan apakah anggaran sebesar itu signifikan dalam membangun komunikasi efektif antara pemerintah dan rakyat.
Hujan Opini Influencer, PKS: Kritis Masyarakat Hilang
Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Netty Prasetiyani Aher menilai kritis masyarakat hilang dengan adanya hujan opini influencer.
0
Cara Beli Migor Pakai Aplikasi PeduliLindungi
Penggunaan aplikasi PeduliLindungi ini sebagai upaya pemerintah mengatasi sengkarut minyak goreng yang terjadi.