Untuk Indonesia

Rizieq Sang Bohemian Arab Saudi

Dari Saudi, Imam Besar FPI ini gak berhenti melakukan manuver. - Ulasan Eko Kuntadhi
Ketua FPI Rizieq Shihab (tengah) di Arab Saudi ketika mendapat kunjungan politikus Gerindra Fadli Zon (kanan) dan politikus PKS Fahri Hamzah (kiri). (Foto: Twitter/Fadli Zon)

Oleh: Eko Kuntadhi*

Entah kenapa Rizieq sampai sekarang gak pulang ke Indonesia. Beberapa kasusnya sudah dinyatakan SP3. Artinya secara hukum kasus itu berhenti, tapi Rizieq rupanya masih betah di Saudi.

Dari Saudi, Imam Besar FPI ini gak berhenti melakukan manuver. Ketika sedang ramai Pilkada 2018 lalu, Rizieq menerima banyak kunjungan. Ada beberapa tamunya yang berharap Rizieq bisa membantu meloloskan niat mereka untuk mendapat rekomendasi partai sebagai calon kepala daerah. Salah satunya adalah La Nyala Mataliti, selebihnya ada empat orang lainnya.

Dengan memegang rekomendasi Rizieq, mereka berharap mendapat tiket dari Gerindra atau PKS. Tapi sial, Rizieq boleh saja tokoh. Seolah-olah dihormati. Namun untuk urusan siapa yang dicalonkan menjadi kepala daerah, rekomendasi Rizieq gak cukup. Bahkan malah gak perlu didengar.

Dari lima calon yang diajukan Rizieq, gak ada satupun yang dimajukan oleh Gerindra dan PKS. Bahkan dalam kasus Pilkada Jawa Timur, menurut informasi dari La Nyalla, Prabowo meminta duit mahar Rp 40 miliar. Ketika gak dipenuhi, nama La Nyalla gak  nongol sama sekali. Artinya mau rekomendasi Rizieq, kek. Mau fatwa Imam Besar, kek. Gak ada urusan. Mahar tetap mahar. Emang Rizieq siapa?

Lalu bergerak ke Pilpres. Bersama beberapa ulama, Rizieq ingin memainkan peranan lagi. Kali ini mencoba menekan Prabowo dengan menggelar acara Ijtimak Ulama. Salah satu hasil Ijtimak Ulama itu adalah rekomendasi Salim Segaf atau Abdul Somad sebagai cawapres pendamping Prabowo. Meski masih di Saudi, nama Rizieq sering dibawa-bawa. Hasan Haikal, misalnya, selalu menisbahkan keputusan Ijtimak Ulama itu sesuai dengan arahan Rizieq.

Tapi lagi-lagi gak dianggap oleh Prabowo. Ulama boleh berijtimak. Boleh mengeluarkan rekomendasi. Gak ada artinya bagi Prabowo. Toh, dia menunjuk Sandiaga Uno sebagai cawapres mendampinginya.

Ketimbang kehilangan muka, karena dicuekin Prabowo, mereka menggelar lagi Ijtimak Ulama II. Apa rekomendasinya? Mendukung pencalonan Sandi. Ulama yang capek-capek menggelar Ijtimak II jelas bertekuk-lutut di bawah kaki Prabowo.

Yang paling aneh adalah tuntutan kepada pemerintah untuk memulangkan Rizieq. Lho, yang kabur dia sendiri. Yang mau ke Saudi dia sendiri. Kenapa jadi pemerintah yang harus capek-capek memulangkan. Kalau mau balik ke Indonesia, balik aja sendiri. Kenapa harus main drama?

Bahkan pernah digelar demo penyambutan kepulangan Rizeiq. Spanduk dan isu beredar. Seolah sebagai seorang pahlawan yang baru pulang dari medan perjuangan. Padahal dia buron karena kasus kriminal yang menimpanya. Eh, ujung-ujungnya itu hanya berita hoaks.

Prabowo sendiri memanfaatkan isu kepergian Rizieq untuk mendulang suara. Dia pidato, jika terpilih akan membantu kepulangan Rizieq ke Indonesia. Eh, busyet. Capres ini, programnya cuma memulangkan seorang yang kabur.

Yang paling anyar ketika terjadi perdebatan pembakaran bendera hitam oleh Banser. Dari Saudi Rizieq ikut memprovokasi agar semua anggota FPI mengibarkan bendera lambang teroris itu di Indonesia. Dia bilang ini adalah lambang jihad.

Rupanya di Saudi ditemukan bendera yang dia minta kibarkan itu tertempel di rumahnya. Polisi Saudi yang gerah sama simbol-simbol terorisme cepat bertindak. Rizieq diperiksa polisi.

Sebagai warga negara, ketika terkena kasus hukum di luar negeri, KBRI wajib ikut mendampingi. Bahkan KBRI memberikan uang jaminan kepada otoritas Saudi agar Rizieq tidak ditahan.

Tapi apa yang terjadi? Semua teman-teman Rizieq menuding bahwa Rizieq dijebak. Ada intelijen yang memasang bendera itu di rumahnya. Ujung-ujungnya mereka menyerang pemerintah Jokowi lagi.

Padahal Rizieq yang memerintahkan orang mengibarkan bendera itu di Indonesia. Dia juga yang ngeles ketika diinterogasi polisi Saudi.

Kenapa Rizieq ngeles? Karena yang dipasang adalah bendera organisasi teroris. Sama seperti bendera yang dia minta untuk dikibarkan di Indonesia. Tapi mereka membungkusnya dengan kalimat tauhid. Mereka mau memanipulasi kalimat tauhid untuk mengkampanyekan sikap beragama ekstrim.

Tentu saja sekarang Rizieq terkena masalah berat. Apalagi ceramah-ceramahnya seringkali menjelaskan dia adalah pendukung ISIS. Bukti bahwa Rizieq mendukung kaum ekstrimis banyak tersebar. Ini bisa dijadikan senjata pihak keamanan Saudi untuk mengenakan sanksi lebih serius.

Nasib Rizieq kini ada di tangan aparat Saudi. Satu-satunya yang bisa membantu meringankan kasusnya adalah pemerintah Indonesia. Melalui lobi diplomatik, misalnya.

Tapi apa mau dikata. Jangan berterima kasih. Saat KBRI membantu dia dari tangkapan aparat Saudi, dia malah membalas dengan menuding pemerintah.

Seorang teman berkata, gak rela uang pajaknya digunakan untuk melindungi satu orang yang kerjanya tiap hari membuat statemen buruk soal Indonesia. Kabarnya karena kasus Rizieq, KBRI jadi agak repot ketika mau mengurus kasus-kasus WNI lainnya. Sebab Indonesia dianggap banyak maunya. Indonesia dianggap aparat Saudi mau melindungi seorang yang diduga bersimpati pada gerakan teroris.

Ini tentu saja merepotkan. Hanya untuk mengurus seorang Rizieq, efektifitas diplomasi terhadap puluhan TKI yang ditahan di banyak penjara Saudi jadi terhalang.

Apalagi kelakuan gerombolan sejenis di Indonesia yang terus memprovokasi. Mereka menuding pemerintah Indonesia. Pemerintah melindungi Rizieq, salah. Didiamkan apalagi, karena anggap tidak melindungi WNI. Serba salah memang.

Sampai saat ini, Rizieq tetaplah sebagai tokoh dalam kisah Bohemian Arab Saudi.

*Eko Kuntadhi Pegiat Media Sosial

Berita terkait