Untuk Indonesia

Ragam Analisis: Apa Sesungguhnya Tujuan Kudeta Partai Demokrat

Apa sesungguhnya tujuan kudeta Partai Demokrat, siapa diuntungkan kudeta Partai Demokrat, apa kaitannya dengan peta pertarungan Pilpres 2024.
Moeldoko jadi Ketua Umum Partai Demokrat setelah menggulingkan Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono lewat kongres luar biasa di Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat, 5 Maret 2021. (Foto: Tagar/Antara/Endi Ahmad)

Oleh: Ade Armando*

Kudeta di Partai Demokrat adalah peristiwa penting. Sebenarnya kisruh perebutan kekuasaan dalam parpol memang kisah biasa. Tapi kali ini jadi luar biasa karena dalam pertarungan ini ada nama Moeldoko, Kepala Kantor Staf Presiden, yang terpilih sebagai Ketua Umum baru menggantikan AHY.

Tak terhindarkan, orang pun menyebut-nyebut nama Presiden Jokowi. Satu di antara tuduhannya: Jokowi adalah mastermind penggulingan kekuasaan. Buat saya, tuduhan ini tidak masuk akal. Tapi, bisa dipahami juga kalau isu ini akan terus bergulir.

Apalagi karena Partai Demokrat sendiri, sebelum Kongres Luar Biasa, sudah sempat berkirim surat ke Presiden untuk menanyakan keterlibatan Moeldoko, yang tidak dijawab oleh Presiden.

Karena itu dalam pandangan saya, sebaiknya Moeldoko mundur dari posisi Kepala KSP. Selama Moeldoko masih di lingkar dalam Istana, Presiden pasti akan terus dibawa-bawa. Lagipula bagi Moeldoko sendiri tidak penting juga untuk terus bertahan di posisi Kepala KSP.

Jadi mestinya sih no big deal. Dia tidak akan kehilangan banyak. Dan logis saja dia lebih baik berkonsentrasi di Partai Demokrat karena dia harus memimpin upaya konsolidasi internal yang butuh perhatian, energi, dan waktu. Kalau dia masih mendua, ya tidak mungkin optimal. Karena itu saran saya, Moeldoko sebaiknya tinggalkan Istana.

Namun, setelah mengatakan itu semua, sebenarnya ada satu pertanyaan mendasar yang harus dijawab: apa ya sebenarnya penyebab kudeta Demokrat? Siapa yang diuntungkan? Seperti pelajaran yang saya peroleh di semester satu kuliah saya, soal politik adalah siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Who gets what, when, how.

Jadi kalau kita berusaha memahami apa yang sedang terjadi, satu pertanyaan utama adalah siapa yang diuntungkan kudeta Partai Demokrat? Karena itulah saya akan bilang, saya percaya Jokowi tidak menginstruksikan Moeldoko untuk mengkudeta Demokrat, karena Jokowi tidak memperoleh manfaat apa pun dari kudeta itu.

Coba kita pikir. Posisi Jokowi itu sekarang solid. Berbagai survei yang dilakukan lembaga penelitian terkemuka menunjukkan persentase masyarakat yang percaya kepada Jokowi tetap tinggi. Dia juga mampu menjinakkan partai-partai yang semula beroposisi menjadi mitra.

Bahkan dengan Demokrat, sebetulnya dia tidak pernah punya masalah personal serius. Yang merintangi hubungan Jokowi dengan SBY adalah Megawati Soekarnoputri. Sementara Jokowi sendiri kelihatan tidak punya dendam apa-apa.

Selain itu Jokowi sendiri tinggal menyelesaikan sisa tiga tahun kepemimpinannya dan kemudian dia akan meninggalkan gelanggang pertarungan politik. Buat apa dia meninggalkan warisan nama buruk mengintervensi parpol sehingga mungkin menimbulkan konflik berkepanjangan?

Karena partai ini mungkin sekali menjadi batu sandungan bagi sebuah skenario yang sedang dirancang dua partai terbesar: PDIP dan Gerindra.


AHY  dan SBYAgus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). (Foto: Tagar/ Twitter @AgusYudhoyono)

Buat apa juga dia harus bersusah-payah memperlemah Demokrat yang sama sekali tidak perlu dianggap sebagai ancaman serius buat kepemimpinan tiga tahun mendatang? Dengan kata lain, agak sulit membayangkan bahwa Jokowi adalah mastermind di belakang pelemahan Demokrat.

Kalau begitu, apa jawaban yang lebih mungkin? Untuk itu kita lihat kemungkinan lain. Kisruh Demokrat ini jelas memang terkait dengan kekecewaan para kader Demokrat di bawah yang marah dengan elitisme pimpinan partai. Bahwa mereka merasa tidak dilibatkan, dikhianati, dan merasa bahwa yang mendapat kesempatan hanya SBY, keluarganya, dan orang-orang dekatnya itu agak sulit dibantah.

Ketidakpuasan itu sudah terasa sejak lama. Namun pertanyaannya, siapakah yang kemudian memanfaatkan ketidakpuasan tersebut sehingga bisa bergulir sampai tahap Kongres Luar Biasa yang menggulingkan AHY?

Bahwa DPC-DPC pemberontak itu menghubungi Moeldoko bisa dipahami karena Moeldoko adalah orang lama Demokrat dan ia punya rekam jejak yang meyakinkan. Tapi hampir pasti juga, Moeldoko bukan aktor tunggal.

Analisis bahwa ini memang kerjaan Moeldoko sendirian untuk memenuhi ambisinya menjadi calon presiden 2024 rasanya lemah. Saya yakin Moeldoko tahu dukungan rakyat terhadapnya rendah. Dia pasti tahu semua survei berkualitas tidak menyebut namanya sebagai tokoh potensial menjadi capres 2024. Kalau pengambilalihan Demokrat itu dilakukan untuk meniti peluang menjadi presiden, itu bagaikan pungguk merindukan bulan.

Karena itu yang lebih masuk akal, Partai Demokrat direbut bukan sebagai panggung bagi Moeldoko. Partai Demokrat kayaknya harus direbut karena ada sesuatu terkait keberadaan Partai Demokrat itu sendiri sehingga AHY harus dikudeta.

Satu di antara argumen yang mengemuka, Moeldoko masuk Partai Demokrat agar partai ini hancur. Kelemahan argumen ini adalah mengapa Demokrat harus hancur, karena toh mereka itu bukan ancaman bagi siapa-siapa? Lagipula apakah Moeldoko mau mempertaruhkan reputasinya untuk memimpin sebuah partai yang diharapkan hancur dengan sendirinya?

Jadi agaknya AHY harus disingkirkan bukan agar Demokrat hancur, tapi agar langkah politik mereka bisa selaras dengan kepentingan pihak-pihak yang merancang pergantian kekuasaan.

Partai Demokrat mungkin bukan partai besar, tapi mereka selalu berada di kelompok lima besar parpol di Indonesia. Survei-survei menunjukkan popularitas Demokrat itu kira-kira konsisten di nomor 5 di bawah PDIP, Gerindra, Golkar, dan PKS. Dan biar bagaimanapun sosok SBY tetap akan bisa menjadi faktor penting untuk menaikkan popularitas partai ke depan.

Mereka merasa tidak dilibatkan, dikhianati, dan merasa bahwa yang mendapat kesempatan hanya SBY, keluarganya, dan orang-orang dekatnya.


Prabowo SubiantoPuan Maharani dan Prabowo Subianto di rumah Megawati Soekarnoputri. (Foto: Tagar/Gemilang Isromi Nuari)

Bahkan saya menilai AHY pun sebetulnya tidak jelek-jelek amat. Mungkin tidak ada harapan baginya menjadi capres, tapi dia tetap merupakan kekuatan yang patut diperhitungkan untuk mengusung nama tokoh tertentu.

Kalau itu benar, satu di antara kemungkinan yang menjelaskan mengapa Demokrat harus diambil alih kepemimpinannya adalah karena partai ini mungkin sekali menjadi batu sandungan bagi sebuah skenario yang sedang dirancang dua partai terbesar: PDIP dan Gerindra.

Sudah banyak diramalkan bahwa pada 2024 dua partai ini akan memajukan duet Prabowo dan Puan Maharani. Sebenarnya yang jauh lebih populer adalah Ganjar Pranowo sebagai capres dari PDIP. Tapi Ganjar adalah seorang kader PDIP yang sangat loyal kepada pemimpin partai. Jadi sangat mungkin, bahkan kalaupun dia sebenarnya adalah kandidat yang paling berpeluang menang, dia tetap akan mengalah.

Karena itu sekarang yang tinggal menjadi ganjalan bagi skenario Prabowo-Puan ini adalah kalau Anies Baswedan maju. Pendukung Anies yang pasti adalah PKS, tapi juga sangat mungkin Demokrat kalau masih berada di bawah SBY. Bila PKS dan Demokrat bergabung, sangat mungkin mereka bisa menarik parpol-parpol lain di luar duet PDIP-Gerindra.

Jadi, pemimpin Demokrat harus diganti bukan untuk memperlemah, melainkan untuk mengubah haluan pertarungan 2024. Ini salah satu analisis yang masuk akal. Tapi saat ini juga berkembang analisis lain. Demokrat perlu dikudeta agar mereka bersedia setuju dengan rencana mengamandemen UUD 1945 sehingga masa jabatan Presiden Jokowi bisa diperpanjang sampai tiga kali masa jabatan.

Banyak pihak memang menganggap kepemimpinan Jokowi sudah membawa Indonesia pada kemajuan yang luar biasa, yang bisa saja berbalik kalau kita dipimpin Presiden tak berkualitas.

Wacana penambahan masa jabatan Presiden sampai tiga periode ini sudah banyak dilontarkan oleh berbagai parpol. Masalahnya, Partai Demokrat tidak termasuk dalam kelompok pendukung amandemen UUD 1945.

Karena itu, menurut analisis ini, pimpinan Demokrat harus diganti. Mungkinkah ini penjelasannya? Mungkin saja. Tapi yang jelas Jokowi sendiri sudah menyatakan bahwa ia tidak setuju ide penambahan masa jabatan presiden. Ia bahkan bilang ide itu menampar wajahnya.

Jadi kalaulah benar ini ada kaitannya dengan amandemen UUD 1945, mungkin sekali ini dilakukan parpol-parpol yang khawatir pergantian Jokowi akan melahirkan guncangan hebat, tapi mungkin saja tidak melibatkan Jokowi.

Mana analisis paling masuk akal? Silakan Anda menilainya sendiri. Saya sendiri bukan orang dalam Istana, jadi saya cuma bisa meraba-raba kemungkinan dari luar. Apa pun penjelasannya, kita harapkan kudeta Demokrat tidak akan merusak kemajuan Indonesia. Mudah-mudahan konflik semacam ini tidak perlu lagi terjadi. Kita harapkan semua pihak terus menggunakan akal sehat. Karena hanya dengan akal sehat, negara ini akan selamat.

*Akademisi Universitas Indonesia

Berita terkait
Demokrat: Gatot Nurmantyo Standar Etika Tinggi, Tidak Seperti Moeldoko
Pengakuan Gatot Nurmantyo bahwa ia ditawari jadi Ketua Umum Partai Demokrat seperti Moeldoko, tapi menolak, membuat kagum kader Partai Demokrat.
Alasan Moeldoko Mau Jadi Ketua Umum Partai Demokrat
Alasan Moeldoko mau jadi Ketua Umum Partai Demokrat walau harus berhadapan dengan Agus Harimurti Yudhoyono dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Kisruh Demokrat: Agus Yudhoyono dan Moeldoko Menuju Pengadilan
Fakta politik saat ini, ada dualisme kepemimpinan Partai Demokrat, yaitu Agus Harimurti Yudhoyono dan Moeldoko. Solusinya di pengadilan.
0
Investasi Sosial di Aceh Besar, Kemensos Bentuk Kampung Siaga Bencana
Lahirnya Kampung Siaga Bencana (KSB) merupakan fondasi penanggulangan bencana berbasis masyarakat. Seperti yang selalu disampaikan Mensos.