Prof Zubairi Djoerban Mulai Kenal AIDS di Perancis

Sebelum HIV/AIDS diakui pemerintah, Prof Dr Zubairi Djoerban, SpPD, KHOM, sudah menangani pasien AIDS di Perancis, ini modalnya di Indonesia
Prof Dr Zubairi Djoerban, SpPD, KHOM diwawancarai wartawati televisi di Sanggar YPI, Tebet, Jakarta Selatan, 4 Desember 2019 (Foto: Tagar/Husen Mulachela)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

Yayasan Pelita Ilmu (YPI), salah satu yayasan sosial yang bergerak pada pelayanan masyarakat pengidap HIV/AIDS. Salah satu pendirinya adalah seorang dokter yang pernah menjadi Ketua Tim Pemeriksaan Calon Presiden dan Wakil Presiden pada 2009-2014, Prof Dr Zubairi Djoerban, SpPD, KHOM, yang akrab dipanggil Prof Beri.

Prof Zubairi adalah seorang dokter spesialis penyakit dalam konsultan hematologi onkologi yang saat ini berpraktik di RS Kramat 128, Jakarta Pusat. Ia menyelesaikan studi kedokteran di Universitas Indonesia (UI) pada tahun 1971. Setelah menyelesaikan studinya di UI, ia menjadi staf dokter penyakit dalam, lalu bergabung dengan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.

Prof Zubairi mendapat kesempatan untuk belajar di Perancis pada tahun 1982-1983, tepatnya di Institute Cancerologie et d’Immunogenetique Hopital Paul Brousse (Institut Kanker dan Imunogenetik RS Paul Brousse), Villejuif, Perancis. Di sinilah Prof Zubairi mulai mengenal HIV/AIDS.

Epidemi HIV/AIDS

Pada tahun 1983 Prof Zubairi pernah meneliti kalangan homoseksual dan waria di Jakarta terkait leukemia. Dari penelitian tersebut, Zubairi menemukan tiga waria menunjukan gejala yang mirip dengan gejala AIDS. Berdasarkan gejala tersebut ketiga waria ini didiagnosis menderita AIDS related complex (ARC). ARC adalah fase prodromal (permulaan) infeksi virus HIV yang meliputi demam, penurunana berat badan, diare, dan sebagainya. Tapi, ketika itu pemerintah belum mengakui ada kasus HIV/AIDS di Indonesia.

Dalam presentasinya pada perayaan “30 Tahun Yayasan Pelita Ilmu” pada tanggal 4 Desember 2019, di Sanggar YPI, Tebet, Jakarta Selatan, Prof Zubairi mengingatkan para peserta yang hadir untuk berani melakukan tes HIV. Hal tersebut bertujuan agar penanganan bisa dilakukan sedini mungkin. 

Alumni SMAN 3 Yogyakarta ini juga menjelaskan kalau jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia dari tahun 1987-2019 sejumlah 349.882. Sedangkan, yang mengikuti program pengobatan ARV (antiretroviral) hanya sekitar 117.064. Pada 2019, jumlah pengidap HIV/AIDS terbanyak terjadi pada masyarakat usia 20 - 29 tahun yakni sekitar 32% bila dibandingkan dengan usia pengidap lain. Selain itu, jumlah pengidap HIV/AIDS laki-laki cenderung lebih banyak daripada perempuan dengan persentase 58% : 33%.

Bagi Prof Zubairi angka kasus HIV/AIDS yang terus bertambah jadi kegalauan. “Ini semua salah kita,” Kata Prof Zubairi di sela-sela perayaan HUT YPI kepada Tagar. Prof Zubairi memaparkan persoalan-persoalan yang dihadapi di Indonesia terkait dengan upaya menanggulangi epidemi HIV/AIDS.

Di tahun 1996 YPI menerima titipan seorang perempuan asal Karawang, Jawa Barat, yang akan melahirkan. Puskesmas dan rumah sakit di Karawang angkat tangan. Lalu dirujuk ke RSCM Jakarta dan selanjutnya ke YPI. Ada apa? Rupanya, perempuan itu seorang Odha. Ketika itu belum banyak rumah sakit yang siap menangani persalinan Odha.

Ternyata perempuan itu juga ‘dikucilkan’ di kampungnya. YPI kemudian menggalang masyarakat agar tidak memusuhi Odha dengan mendirikan sanggar di desa tsb. Anak yang dilahirkan perempuan itu HIV-negatif, tapi ketika perempuan itu meninggal masyarakat tetap enggan menguburnya. YPI dengan relawan di sana menguburkan perempuan itu.

Itu salah satu contoh perlakuan masyarakat terhadap Odha karena informasi yang tidak merata. Stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) jadi salah satu masalah yang menghadang upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. 

ilus2 beriProf Dr Zubairi Djoerban, SpPD, KHOM memberikan ceramah seputar HIV/AIDS pada HUT YPI ke-30 di Sanggar YPI Tebet, Jakarta Selatan, 4 Desember 2019. Di labar belakang Sri Wahyuningsih, SKM (Foto: Tagar/Syaiful W. Harahap)

Maka, Prof Zubairi menambahkan agar tidak menjauhi dan mengucilkan para pengidap HIV/AIDS atas dasar takut tertular virus. Menurut Prof Zubairi, HIV hanya dapat menular melalui hubungan seksual, penggunaan jarum suntik narkoba, ibu hamil kepada bayi yang dikandungnya, dan transfusi darah. 

Prof Zubairi menjelaskan beberapa bentuk penularan HIV yang selama ini masih dipercaya namun tidak benar, seperti, batuk bersin, gigitan nyamuk, jabat tangan, memakai piring sendok yang sama, bahkan sekolah (kumpul bersama Odha (Orang dengan HIV/AIDS).

Fotografi

Prof Zubairi menyayangkan perlakuan tidak adil dari sekolah maupun lingkungan kepada Odha, seperti yang terjadi di Sumatera Utara dan Solo, Jawa Tengah. Belasan anak usia SD dikeluarkan dari sekolah karena mereka diketahui mengidap HIV/AIDS. Pasalnya, menjauhi dan membedakan perlakuan bukanlah cara yang tepat dalam menghadapi Odha, "Rangkulan dari masyarakatlah yang mereka butuhkan," ujar Prof Zubairi.

Prof Zubairi menyimpulkan kalau HIV/AIDS adalah masalah besar bagi Indonesia dan meminta para Odha untuk mengonsumsi obat ARV sesuai dengan resep dokter. Tak lupa dia kembali mengingatkan masyarakat untuk tidak meninggalkan para pengidap HIV/AIDS yang berjuang sendiri melawan penyakitnya.

Selain mengayomi para penderita HIV/AIDS, YPI yang didirikan oleh Prof Zubairi bersama istrinya, Sri Wahyuningsih, SKM, dan Prof. DR Dr Samsuridjal Djauzi, SpPD, KAI, mempunyai visi untuk menjadi institusi terkemuka yang konsisten dan terpercaya dalam mewujudkan masyarakat yang berperilaku hidup sehat secara mandiri dan berwawasan luas sehingga mampu hidup produktif dan berkualitas.

Tak berhenti sampai di situ, yayasan ini juga bertujuan agar para pengidap HIV/AIDS dapat memiliki penghasilan mandiri karena banyak dari mereka yang dipecat dari tempat kerjanya dan kesulitan mencari pekerjaan pengganti karena penyakit yang mereka derita. Dalam prakteknya YPI menyelenggarakan life skill education bagi Odha sebagai bagian dari upaya memberdayakan mereka.

prof beri and meProf DR Zubairi Djoerban, SPd, KHOM, berbincang dengan redaktur Tagar, Syaiful W Harahap, pada perayaan HUT Yayasan Pelita Ilmu (YPI) ke-30, 4 Desember 2019, di Tebet, Jakarta Selatan (Foto: Tagar/Husen Mulachela)

Terlepas dari itu semua, Prof Zubairi pernah mengalami masa kelam dalam hidupnya, yaitu saat dia didiagnosa menderita ablasio retina. Ini adalah suatu kondisi di mana retina mata seseorang terlepas dari tempat melekatnya. Zubairi pertama kali merasakan kejanggalan pada matanya ketika ia menutup sebelah matanya, namun ia tidak dapat melihat apapun dengan mata sebelahnya. Zubairi pada akhirnya menjalani operasi dan pengelihatannya berhasil pulih.

Selain mendalami profesi kedokteran, Prof Zubairi juga menekuni dunia fotografi. Hobi ini ia mulai sejak cucu pertamanya lahir. Pada saat itu, ia ingin sekali mengabadikan momen cucu pertamanya dari mulai bayi hingga dewasa.

Namun, anaknya menyarankan untuk tidak menggunakan flash. Dari sana, Prof Zubairi kemudian mulai mencari-cari kamera yang bisa digunakannya untuk foto low light, dan pada akhirnya ia mulai menyukai aktivitas memotret tersebut. Hingga saat ini ia telah menerbitkan tiga buah buku fotografi dan pernah menggelar pameran foto bersama rekan-rekan satu profesinya (dengan bantuan reportase oleh Husen Mulachela). [] 

* Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id 

Berita terkait
Menelusuri Akar Kasus HIV/AIDS Pertama di Indonesia
Pemerintah menetapkan kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia yaitu HIV/AIDS yang terdeteksi pada turis gay Belanda di RS Sanglah Denpasar tahun 1987
Mustahil Nol Penularan HIV di Jakarta Barat 2030
Pemkot Jakbar menargetkan nol penularan HIV/AIDS pada tahun 2030, tapi tidak ada program yang konkret yang dijalankan untuk capai tujuan tsb
AIDS “Mencengkeram” Bali
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Bali 27.959, tapi penanggulangan tidak menyentuh akar persoalan yaitu tidak menurunkan insiden infeksi HIV/AIDS baru
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.