Pematangsiantar - Institute Law And Justice (ILAJ) memberi kritik terkait Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Ketertiban Umum (Trantibum) Kota Pematangsiantar yang direncanakan akan disahkan pada hari Selasa, 27 Oktober 2020.
Direktur ILAJ, Fawer Full Sihite menegaskan menolak Ranperda Trantibum tersebut disahkan menjadi Perda. Ia berasalan dalam Ranperda tersebut banyak pasal-pasal yang mempidanakan masyarakat.
Dalam pembuatan aturan harus memenuhi unsur-unsur objektivitas pasal di atas akan sangat subyektif dan terlampau berlebihan.
"Banyak pasal-pasal yang dapat mempidana masyarakat kapan saja. Jika rancangan ini menjadi perda, maka akan sangat potensial menjadi lahan pungutan liar," kata Fawer kepada Tagar melalui keterangan tertulisnya, Minggu, 25 Oktober 2020.
Fawer mengaku setidaknya ada sembilan pasal yang dianggap tidak relevan diterapkan. Ia mencontohkan pasal 10 dan 11 yang mengatur zona ruang publik dan pelarangan alih fungsi tempat parkir menjadi tempat berjualan.
Dalam pasal 11 berbunyi, para penjual di tempat parkir, trotoar jika hal ini dilanggar maka akan ada sanksi pidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50 juta.
Sementara pada pasal 10 menuliskan, setiap orang yang menumpang angkutan umum dilarang: a. Membuang Sampah, b. Meludah dan C. Merokok. Jika hal ini dilanggar makan akan ada sanksi yaitu pidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50 juta (sesuai dengan Bab VIII Ketentuan Pidana Pasal 48).
"Dalam pembuatan aturan harus memenuhi unsur-unsur objektivitas pasal di atas akan sangat subyektif dan terlampau berlebihan. Sebaiknya pasal tersebut tidak perlu diberikan sanksi pidana kepada pelaku," tuturnya.
Ia menyarankan lebih bagus sanksi tersebut diberikan kepada pengusaha angkutan umum, agar tercipta ketertiban berangkutan umum.
"Jika sanksi diberikan kepada penumpang atau pengguna angkutan umum tetap akan terjadi pembiaran dan akan semakin banyak," ujar Fawer.
Fawer juga menemukan kerancuan pasal 16 mengatur soal memelihara ternak berkaki empat dan soal menjemur pakaian, atau hasil bumi diwilayah hukum kota Pematangsiantar terkecuali di lokasi yang telah ditunjuk dengan mendapatkan izin dari Wali Kota. ILAJ mengatakan itu merupakan pasal ngawur dan tidak penting yang dapat menjadi tafsiran ganda dan bisa menjadi pasal karet.
"Karena kita memiliki kucing atau anjing bisa saya diartikan dengan memiliki ternak dan harus ada izin dari wali kota," tutur Fawer.
Selain itu terdapat lainya seperti pasal 30 soal kepemilikan gedung, pasal 32 soal pelarangan meminta sumbangan dengan cara apapun di fasilitas umum, pasal 33 soal pelarangan pengemis, pengamen, pedagang asongan di fasilitas umum dan pasal 40 soal mengomsumsi minuman berakohol di ruang publik.
"Pasal ini sangat tidak memperhatikan kondisi sosial masyarakat. Jika kita kaji satu persatu pasal sangat potensial untuk mempidana masyarakat dengan sanksi hukuman seluruh pasal sama tidak ada yang membedakan jenis pelanggarannya, hukuman," kata dia.
"Ini sangat aneh, hampir seluruh butir isinya melarang, namun semua butir juga menegaskan jika izin wali kota boleh dilakukan, narasi yang sangat janggal," ucapnya. []