Pollycarpus: Banyak Sekali Kejanggalan di Kasus Ini

Pollycarpus: banyak sekali kejanggalan di kasus ini. "Waktu itu tuduhannya dengan orange jus tapi vonisnya dengan mie goreng. Sedangkan mie goreng itu tidak ada dalam surat dakwaan," ujarnya.
Keterangan Pollycarpus Budihari Priyanto kepada wartawan terkait kejanggalan kasus yang menimpa dirinya, Rabu (29/8). (Foto: Tagar/Erian)

Bandung, (Tagar 29/8/2018) - Resmi lepas dari status terpidana atas dugaan pembunuhan yang dilakukan Pollycarpus Budihari Priyanto yang saat itu menjabat sebagai Pilot Garuda Indonesia terhadap Pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib pada September 2004, Pollycarpus masih merasakan adanya kejanggalan.

Hal tersebut disampaikan Pollycarpus di Bandung hari ini, Rabu (29/8), usai dirinya mengurus semua pemberkasan pembebasan bersyarat atas dirinya.

Dia mengaku bahwa saat hendak meminta pembuktian atas tuduhan terhadap dirinya selalu tidak dikabulkan hingga saat ini.

Poly menjelaskan, dalam kasus yang menyeret namanya tersebut, tidak ada pembuktian yang valid atas tuduhan terhadap dirinya, baik itu dari hasil outopsi dan tuduhan terhadap dirinya yang tidak ada sinkronisasi.

"Itu saya ingin minta pembuktian, itu gak bisa. Jadi kalau mau dilihat dari hasil autopsi itu gak masuk gak matching semua,” ujar Pollycarpus.

"Jadi waktu itu tuduhannya dengan orange jus tapi vonisnya dengan mie goreng. Sedangkan mie goreng itu tidak ada dalam surat dakwaan," imbuhnya.

Selain itu, secara detail Poly merincikan segala sesuatu yang dia alami terkait kasus dugaan pembunuhan Munir yang menurut pengamatannya sangatlah tidak masuk akal karena tidak bisa dijelaskan secara pasti. Menurutnya, setelah 14 tahun berlalu, kasus tersebut masih menyisakan tanda tanya yang besar bagi dirinya, yang tidak menutup kemungkinan juga bagi masyarakat luas.

"Saya menjalani empat belas tahun saya divonis dua tahun saya keluar. Ketika saya kerja di Malaysia saya dipanggil lagi oleh pengadilan.  Bahkan sudah inkrah dengan kasus yang sama divonis lagi 20 tahun penjara. Locus deliknya berbeda-beda, nah Munir itu harus dikasih penghargaan bagaimana bisa dibunuh empat kali, hebatkan. Pertama Jakarta-Singapura. Singapura-Amsterdam, dan autopsi Belanda ialah intectime racun masuk ke tubuh Munir 8 jam sebelumnya."

"Jarak terbangnya 12 jam delapan menit, dua jam sebelum mendarat Munir dinyatakan tewas, racun masuk ke tubuh Munir dari hasil Belanda ini kalau ditarik mundur adalah dua jam 25 menit. After Singapura, saya turun di Singapura yah. Hasil autopsi dari seatel Amerika intectime racun masuk ke tubuh Munir sembilan jam, kalau ditarik mundur satu jam 25 menit setelah take off dari Singapura. Sedangkan saya turun di Singapura kemudian adalah di Cafe Bean yang letaknya di lantai 3 sedangkan arrival kedatangan itu di lantai dua, terus saya naik ke lantai tiga untuk bunuh Munir, sedangkan saya keluar dari pesawat terus imigrasi langsung ke hotel dan itu sudah direkonstruksi begitu, nah ini kejangggalan-kejanggalan, yang lebih janggal lagi sudah inkrah sudah dijalani, dihukum dengan kasus yang sama dengan locus delik yang berbeda itu. Tahun 2004 kemudian saya vonis, 2006 saya bebas, 2007 dipanggil lagi, 2008 saya divonis lagi 20 tahun," paparnya.

Saat ditanya apakah dirinya memang benar seorang eksekutor dalam kasus pembunuhan Munir, Poly dengan tegas menjawab bahwa itu tidak benar, namun meski demikian dirinya mengaku bahwa hal ini adalah takdir hidupnya.

"Wah itu gak bener itu gak bener, siapa yang harus yang bertanggungjawab? Yah itu urusan pengadilan. Saya juga bingung yah jadi yah ini jalan hidup yang saya sudah jalani yah sudah," pungkasnya.

Saat ditanya kesiapan dirinya membantu mengungkap kembali kasus tersebut jika memang kasus tersebut kembali ditelusuri, dengan tegas Poly menyatakan kesiapannya.

"Siap," singkatnya. []

Berita terkait