Untuk Indonesia

PN Balige, WC Rusak, dan Rasa Keadilan yang Hambar

Hari ini kami menghadiri sidang. PN Balige di Pangururan, Samosir akan membacakan keputusan Ito Sebastian Hutabarat.
Sebastian Hutabarat saat di PN Balige, Pangururan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Kamis 9 Januari 2020. (Foto: Tagar/motomundo.de)

Oleh: Ita Siregar*

(Catatan dari ruang pengadilan Sebastian Hutabarat)

Hari ini, Kamis, 9 Januari 2020 melelahkan.

Pukul sepuluh kami berangkat dari Balige. Hari ini kami menghadiri sidang. PN Balige di Pangururan, Samosir akan membacakan keputusan Ito Sebastian Hutabarat.

Rombongan kami terdiri dari dua mobil. Mobil pertama berpenumpang Sebastian dan tiga pengacaranya, dari Medan.

Mobil kedua ada lima orang. Imelda Nada Marchia Napitupulu–istri tercinta Sebastian. Siahaan dan Tampubolon, dua pegiat lingkungan dari YPDT (Yayasan Pencinta Danau Toba). Tim Hoppen–teman Sebastian dari Jerman. Dan saya.

Mobil pertama navigator kami. Sementara mobil kami, Imelda gagah duduk dibelakang setir. Sepertinya ia kenal betul Elf miliknya. Jalanan lancar. Kami ngobrol santai. Ringan. Tak satu pun dari kami berandai-andai soal hasil putusan sidang.

Di satu pertigaan saya membeli gorengan. Tim Hoppen ikut turun. Di depan sana, duduk serombongan siswa putri, yang tiba-tiba berteriak karena melihat bule dengan rambut pirang gimbal, muncul dari mobil, di dekat mereka.

“Mereka ingin foto dengan kamu, Tim,” kata saya.

Lalu Tim mendekati mereka. Seketika para remaja itu histeris. Saya dan Imelda tertawa-tawa, menyaksikan acara salaman dan foto-foto itu, dari dalam mobil.

Kami lewat Tele. Pemandangan Tele luar biasa menyegarkan mata. Kami tiba di gedung PN Balige di Pangururan lebih pukul 1 siang.

Tiba di gedung PN, Tim kebelet kencing. Dia pergi ke kamar kecil di sana, bingung. Bukannya kencing, dia malah memfoto toilet busuk, dan memperlihatkannya kepada saya dan Imelda, ”Apa ini artinya?”

Kami tertawa, getir. Bagaimana menjelaskan kebusukan seperti itu kepada seorang asing yang sedang berkunjung ke kampung kita? Susahlah menjelaskannya. Lalu Tim keluar gedung, mencari kamar kecil, entah di mana.

Dan karena lama menunggu antrean masuk ke ruang sidang, kami pun ngopi di sebelah kanan gedung PN. Kami ngobrol, senda-gurau.

Selagi ngopi, seorang bapak bergabung. Dia datang dari arah gedung PN. Rupanya dia baru keluar dari ruang sidang. Kami menyimak ceritanya yang sedih. Seperti Ito Sebastian, dia pun berupaya mencari keadilan

Bahwa restorannya di Tuktuk Samosir dibakar, rata dengan tanah. Padahal bangunan itu baru berdiri tiga bulan. Sebelum peristiwa itu, dia dianiaya oleh seorang suruhan, bahkan di dalam rumahnya sendiri. Dan, di ruang sidang, polisi yang menjadi saksi untuk meringankan, malah memberatkan. O Tuhan semesta, tolonglah kami para pendosa ini.

Setelah itu giliran kami masuk ruang sidang. Kami yang terakhir sidang hari itu. Sekitar pukul 4 sore. Pak Jautir Simbolon (JS), yang menuntut Sebastian, ada juga di sana.

Di ruang itu, kami mendengarkan hakim membacakan putusan. Sekitar tiga puluh menit. Putusannya: dua bulan penjara.

Hah?

Tentang putusan 2 bulan itu, tim hakim merasa telah berbuat seadil-adilnya bagi terdakwa, dan masyarakat. Dengan pertimbangan, terdakwa akan menginsyafi perbuatannya; terdakwa cinta lingkungan terutama danau Toba; terdakwa selalu sopan di ruang pengadilan; terdakwa adalah ayah alias pencari nafkah keluarga.

Lalu hakim mengetuk palunya. Setelah itu bertanya kepada Sebastian: apakah menerima hasil putusan atau banding?

Sebastian, seperti juga tim pengacara, menjawab: naik banding.

Rosmina Silaban, pengacara Sebastian, bereaksi keras atas putusan hakim. Tentu saja dia kesal. Putusan hakim tidak berdasarkan bukti-bukti selama persidangan.

Apa artinya menghadirkan saksi-saksi Johanes Marbun, Ratnauli Gultom, Togu Simorangkir, Martin Gultom, yang jelas meringankan terdakwa?

Apa artinya sidang-sidang delapan bulan yang menghabiskan waktu dan tenaga dan pikiran, kalau bukti-bukti yang disertakan hakim dalam putusannya, masih seperti di berita acara polisi?

Apa artinya pengakuan JS yang mengatakan bahwa ia memang tidak punya izin stone crusher, tetapi izin waktu? Bahwa daerah pantai tempat terjadinya peristiwa, adalah Zona C, dilarang ada penambangan.

Kalau pun betul Sebastian mengatakan JS tidak punya izin stone crusher, apakah mengatakan kebenaran itu dianggap perkataan yang menghina?

Tim hakim keluar dari ruang sidang, kami ingat kami belum makan siang.

Terpaksa dia harus lebih dulu pulang untuk memenuhi panggilan pengadilan

Dari Gedung PN Balige kami ke satu resto. Kami makan siang yang terlambat. Di sana kami membicarakan lagi putusan yang menyedihkan itu.

Waktu terasa cepat. Sudah pukul 6 sore. Kami harus kembali ke Balige. Tim pengacara mesti balik ke Medan.

Kendaraan kami pun berangkat. Dengan formasi yang sama.

Hanya kali ini, di mobil kami, Siahaan yang menyetir, didampingi Tampubolon di bangku depan. Di kursi tengah, duduk kami bertiga. Tim, saya, Imelda.

Waktu itu hari sudah gelap dan gerimis.

Karena ingin menyegarkan ingatan, saya minta Imelda cerita lagi, apa sebenarnya yang terjadi pada 15 Agustus 2017 itu.

Dia mulai bercerita.

Pagi itu mereka sedang sarapan. Di rumah. Lalu datang Jo Marbun dan seorang relawan YPDT berkebangsaan Australia. Mereka mengajak Sebastian ke Silimalombu. Ke rumah Ratnauli Gultom, aktivis lingkungan, teman mereka.

Ceritanya, dua tahun lalu YPDT menanam pohon di sana. Dan sekarang mereka ingin melihat pohon-pohon itu tumbuh.

Tiba di lokasi, mereka bukannya melihat pohon. Malah mesin pemecah batu. Stone crusher.

Punya siapa ini, mereka saling bertanya. Jo dan Sebastian mengambil beberapa gambar mesin itu, dengan hape mereka.

Waktu itu JS, pemilik mesin (dan kedai), sedang menelepon seseorang. Jo dan Sebastian baru saja hendak pergi dari sana, ketika seorang anak buah JS, memintanya untuk mampir ke kantor mereka.

Di sana mereka disuguhi kopi. Mereka mengobrol akrab.

Lalu Sebastian ingat obrolannya dengan ibunda dari Ratnauli Gultom. Bahwa beberapa warga keberatan dengan adanya stone crusher. Alasannya, batu yang diambil jenis batu-batu besar.

Berdasarkan itu, Sebastian bertanya kepada JS, siapa warga yang keberatan itu, Amang.

“Itulah yang dikatakan suami saya di rekaman suara. Bukan tentang stone crusher tidak ada izin,” cerita Imelda.

JS meminta mereka untuk menghapus foto-foto stone crusher di hape mereka. Sementara Jo, di kameranya masih ada rekaman hasil percakapan mereka, dan foto-foto mesin stone chrusher.

Lalu muncul Tommy Nainggolan, out of no where. Dialah kemudian yang memukuli dan menganiaya Sebastian, sampai babak belur, bahkan mengeroyok. Sementara Jo yang berhasil kabur, melaporkan peristiwa itu ke beberapa orang. Atas laporan itulah kemudian Sebastian dapat bebas dari tempat itu.

Dan Sebastian melapor pemukulan/pengeroyokan itu ke polisi. Atas laporan itu, JS dihukum dua bulan.

Satu setengah tahun lewat setelah peristiwa itu, entah angin dari mana, JS mengadukan Sebastian ke polisi, dengan tuduhan penganiayaan.

“Waktu itu kami sedang di Laos. Terpaksa dia harus lebih dulu pulang untuk memenuhi panggilan pengadilan,” kata Imelda.

Sejak menjadi terdakwa pada Maret 2019, sampai hari ini, Sebastian menjalani sidang. Tanpa letih. Dalam rangka menghormati sidang yang terhormat dan mencari keadilan dengan cara mulia.

Sampai hari ini hakim memutus 2 bulan penjara. Dia adalah hakim yang sama yang menghukum JS, 2 bulan penjara

“Saya letih dengan semua proses ini,” ujar Imelda. Tentu saja. Siapa tidak letih menjalani sidang selama delapan bulan, bolak-balik Balige-Samosir?

Dia ingat Ahok. Waktu hakim memutus penjara 2 tahun, Ahok menundukkan badan sedalamnya. Dia tidak minta banding. Dia menolak grasi dari presiden. Dia menutup segala celah yang di kemudian hari dapat dipergunakan untuk melemahkan, oleh lawan politiknya. Dia menjalani hari-hari di penjara dengan sepenuh kekuatan.

Imelda tidak sedang berkata ingin suaminya menyerah seperti Ahok. Menerima putusan. Namun ia merasa apa yang sudah terjadi pada suaminya, terlalu berat. Dia ingin memeluk suaminya kalau saja mungkin, ketika tadi hakim mengetukkan palu. Apa pun tekad suaminya, dia akan mendukung. Dengan sepenuh kasih dan doa.

Hampir pukul 10 malam kami tiba di Balige. Teman-teman pengacara masih lanjut ke Medan. Kami berpisah.

Di kamar, saya merenungi perjalanan hari ini. Tadi Ito Sebastian bilang bahwa tak ada satu pun yang kebetulan dalam semua perkara ini. Dia percaya apa yang dia lakukan, benar.

Sambil merenungkan perkataan itu, saya ingat lagi WC busuk di PN Balige, yang bikin Tim Hoppen tak jadi kencing.

Saya menghibur diri. WC busuk saja tak sanggup mereka perbaiki. Apalagi keadilan. Hambar.[]

*Seorang penulis


Berita terkait
PN Balige Vonis Aktivis Danau Toba 2 Bulan Penjara
Hakim memvonis dua bulan penjara Sebastian Hutabarat, aktivis Danau Toba di Pengadilan Negeri Balige di Pangururan.
Aktivis Danau Toba Versus Panggilan Hukum
Aktivis lingkungan Danau Toba, Sebastian Hutabarat menjalani sidang kasus pencemaran nama baik.
Aktivis Lingkungan Danau Toba Surati Tuhan
Aktivis lingkungan Danau Toba Sebastian Hutabarat menjadi tersangka dalam kasus penghinaan di Pengadilan Negeri Samosir
0
Serangan ke Suharso Monoarfa Upaya Politik Lemahkan PPP
Ahmad Rijal Ilyas menyebut munculnya serangan yang ditujukan kepada Suharso Manoarfa merupakan upaya politik untuk melemahkan PPP.