Oleh: Syaiful W. Harahap
Reformasi memang ibarat dua sisi mata uang yang saling bertautan tapi juga bisa berlawanan. Reformasi membawa perubahan dalam pola pemerintahan yang sebelumnya dijalankan dengan sistem sentralisasi beralih jadi desentralisasi dengan memberikan hak penuh kepada pemerintah provinsi, kabupaten dan kota. Tidak ada lagi garis komando dari Pusat ke daerah.
Untuk menjalankan reformasi bidang pemerintahan pemilihan kepala daerah pun dilakukan melalui pemilihan umum langsung yang disebut pemilihan kepala daerah (Pilkada) untuk provinsi (gubernur), kabupaten (bupati) dan kota (wali kota).
Pilkada langsung disebut-sebut sebagai bagian dari demokrasi. Dalam UUD 45 Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 disebutkan pemilihan gubernur, bupati dan wali kota secara demokratis tapi tidak ada penjelasan dilakukan secara langsung oleh rakyat. Demokrasi sendiri adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakil, dalam hal ini anggota DPR secara nasional dan DPRD untuk daerah di provinsi, kabupaten dan kota.
Tapi, kemudian lahir UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur pemilihan gubernur, bupati dan wali kota secara langsung. Hiruk-pikuk Pilkada Langsung merupakan euforia (perasaan gembira yang berlebihan) yang juga menimbulkan gesekan di masyarakat, terutama di akar rumput. Perpecahan antar kerabat, bahkan ‘perang’ antar kelompok, suku dan kampung. Orang tua juga bertikai dengan anak hanya karena beda pilihan.
Dalam kunjungan ke Tanjungpinang, Kepri, Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, mengungkapkan data akibat Pilkada Langsung, terutama di Pulau Jawa, 826 pasangan suami-istri (pasutri) bercerai (Antara, 22 November 2019). Ini terjadi karena pilihan mereka berbeda.
Sedangkan Mendagri Tito Karnavian mengatakan: "Kalau (pilkada langsung) dianggap positif, fine. Tapi bagaimana mengurangi dampak negatifnya? Politik biaya tinggi, bayangin." Ini dikatakan Tito setelah mengikuti Rapat Kerja dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu, 6 November 2019.
Dalam prakteknya Pilkada Langsung juga menghabiskan uang yang tidak sedikit sehingga Pilkada Langsung berbiaya tinggi. Dalam kaitan inilah Bamsoet mengatakan tidak begitu yakin jika mereka (pasangan gubernur, bupati dan wali kota-pen.) bekerja untuk rakyat setelah terpilih. Dalam bahasa lain Tito mengatakan: "Apa benar, (bilang) saya ingin mengabdi kepada nusa dan bangsa, terus rugi? Bullshit (omong kosong), saya enggak percaya.” (Tagar, 7 November 2019).
MPR sedang mengevaluasi Pilkada Langsung untuk melihat apakah lebih banyak manfaat atau mudaratnya. Hal yang sama juga disampaikan Tito bahwa dalam waktu dekat Kemendagri akan melakukan survei dan riset akademik untuk mengetahui sisi positif dan negatif Pilkada Langsung.
Bagi Bamsoet jika Pilkada Langsung lebih banyak mudaratnya perlu dievaluasi agar tidak jadi bibit perpecahan dan intoleransi di masyarakat. Soalnya, dalam Pilkada Langsung unsur SARA sangat kental sehingga memicu intolenrasi yang bisa jadi bibit perpecahan bangsa.
Sedangkan Tito melihat kepala daerah yang banyak kena operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan erat kaitannya dengan biaya pilkada yang besar. Ini juga jadi aspek yang akan disurvei dan diriset untuk mengurangi kepala daerah yang kena OTT.
Hal lain yang perlu diperhatikan Kemendagri dalam survei adalah tentang gubernur. Gubernur sebagai ‘kepala daerah’, tapi dengan Otda gubernur tidak mempunyai wilayah dan rakyat, mengapa tetap ada pemilihan langsung gubernur?
Ada baiknya jabatan gubernur tidak dipilih rakyat tapi ditunjuk pemerintah sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Yang lebih baik adalah gubernur dipilih langsung sedangkan bupati dan wali kota ditunjuk atau dipilih DPRD.
Dalam prakteknya gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota sering berseberangan. Yang terjadi kemudian masing-masing maju lagi sebagai calon dengan pasangan yang lain. Ini juga bibit perpecahan di kalangan elite politik daerah.
Maka, Pilkada Langsung hanya memilih gubernur, bupati dan wali kota sedangkan wakilnya otomatis sekretaris wilayah daerah (Sekwilda) sehingga tidak ada konflik kepentingan. []