Peserta WHV Asal Indonesia Merasa Kerja di Australia Utara Tidaklah Seperti yang Diharapkan

Kostariana mengaku terpaksa bekerja di beberapa tempat untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya di Australia
Pemegang WHV asal Indonesia di Australia merayakan Imlek di rumah Mel Schoonens (berdiri lima dari kiri) di Dawin, Australia (Foto: abc.net.au/indonesian)

Oleh: Sastra Wijaya

TAGAR.id – Kostariana Surbakti asal Sumatera Utara sudah tiga bulan tinggal di Darwin, Ibu Kota Kawasan Australia Utara. Kosta, yang berusia 25 tahu, adalah salah seorang peserta Working Holiday Visa (WHV) asal Indonesia.

Di pagi hari, ia bekerja di sebuah 'food court' kemudian di malam hari bekerja di restoran, bahkan di akhir pekan pun ia tetap bekerja jika ada lowongan.

Kostariana, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Sumatra Utara (USU) ini mengaku terpaksa bekerja di beberapa tempat untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya di Australia.

"Jika saya bekerja hanya pada satu tempat kerja maka akan sulit bagi saya untuk memenuhi kebutuhan saya sehari-hari."

Kostariana SurbaktiKostariana Surbakti bekerja di beberapa tempat di Darwin untuk mendapatkan upah yang cukup. (Foto: abc.net.au/indonesian)

Peserta WHV adalah mereka yang berusia 18-30 tahun dengan kondisi visa yang memperbolehkan mereka bekerja sambil berlibur di Australia dengan masa setahun, tapi bisa diperpanjang untuk tahun berikutnya jika memenuhi syarat.

Tapi untuk mendapatkan pekerjaan pun tidak semudah yang diperkirakan orang-orang sebelumnya.

Di Darwin, ia mengatakan kebanyakan pekerjaan yang tersedia adalah di bidang 'hospitality', tapi jam kerjanya pun terbatas.

"Contohnya tempat makan hanya buka pada jam makan siang atau makan malam," ujarnya kepada Sastra Wijaya, wartawan ABC Indonesia.

Sejak tiba di Darwin, Kosta mengaku butuh waktu beberapa minggu untuk bisa mendapatkan pekerjaan, hal yang menurutnya juga dirasakan teman-temannya.

"Ada seorang teman yang sudah sebulan tidak mendapatkan pekerjaan di sini dan akhirnya sekarang dia memutuskan pindah ke negara bagian lain," kata Kosta.

Menurutnya sejak perbatasan Australia dibuka dan peserta WHV mulai berdatangan, persaingan di kalangan pemegang WHV untuk mendapatkan pekerjaan memang lebih tinggi.

"Saya menemukan banyak backpacker atau pun WHV yang datang ke Darwin untuk bekerja atau pun mencari visa WHV untuk tahun kedua," katanya.

"Beberapa dari mereka sangat terampil dan mereka sudah bekerja dari umur yang sangat muda."

"Hal ini meningkatkan persaingan yang lebih sulit, karena mereka sudah memiliki kemampuan dan juga pengalaman yang cukup untuk bekerja di bidang hospitality."

Namun sejauh ini Kosta berharap ia akan bisa bertahan di Darwin dan mendapatkan cukup pekerjaan sepanjang masa berlaku visa-nya.

"Berdasarkan informasi yang saya pernah dengar sebelumnya, mungkin dalam beberapa bulan lagi yaitu saat musim hujan, grafik pengunjung khususnya pada kota Darwin akan menjadi lebih menurun."

"Jadi kemungkinan besar jam kerja saya mungkin akan berkurang."

"Tetapi saya masih positif kalau saya pasti akan dapat memaksimalkan kesempatan yang ada," katanya.

Marcellinus Fabian GunawanMarcellinus Fabian Gunawan berasal dari Surabaya, Jawa Timur. (Foto: abc.net.au/indonesian)

'Ekspektasi tidak seindah realitas'

Darwin dan seluruh daerah yang masuk Northern Territory atau Kawasan Australia Utara, masuk dalam wilayah regional sehingga peserta WHV yang bekerja di negara bagian ini bisa memenuhi syarat untuk mendapatkan visa tahun kedua, setelah bekerja setidaknya 88 hari serta harus memenuhi persyaratan lainnya.

Tak heran jika Darwin menjadi salah satu kawasan yang populer bagi peserta WHV, seperti Marcelllinus Gunawan, usia 22 tahun asal Surabaya.

Marcel baru lima minggu berada di Australia dan saat ini bekerja sebagai 'kitchen hand' di Darwin Convention Center, sebagai tenaga pembersih di dapur.

Ini menjadi pekerjaan keduanya, dengan pekerjaan pertama membantu menurunkan tangkapan udang dari kapal yang didapatnya secara tidak sengaja.

Suatu hari ia mendatangani pelabuhan di Darwin setelah mendapat informasi jika ada kapal yang butuh tenaga, tapi Marcel ternyata mendatangi kapal yang salah.

"Di situ saya malah bisa bekerja selama lima hari, walau pada waktu pertama kali datang manajer kapal bingung karena tidak merasa memerlukan tenaga," kata Marcel kepada ABC Indonesia.

"Saya berterima kasih kepada teman-teman dan manajer kapal udang tersebut, karena itu [jadi] pekerjaan pertama saya."

"Saya juga sempat ajak beberapa teman WHV yang belum dapat kerja untuk kerja menjadi unloader di kapal penangkap udang untuk menyambung hidup selagi mencari pekerjaan lain," kata Marcel, yang ketika itu hampir tiga minggu tanpa pekerjaan.

Ia tetap optimistis akan bisa mendapatkan pekerjaan di Darwin, meski tidak sesuai dengan harapannya sebelum datang ke Darwin,.

"Ternyata ekspektasi tidak seindah realitas," kata Marcel.

"Sebelumnya saya dapat info [dari] saudara saya yang WHV juga, bahwa tahun lalu di Darwin cukup ramai dan kerjaan lebih mudah didapatkan apalagi kalau sudah memasuki musim kemarau seperti sekarang.

"Tetapi ternyata berbeda, lebih berat saat ini mencari kerja," kata lulusan Universitas Widaya Mandala Surabaya tersebut.

Mel SchoonensMel Schoonens tinggal di Darwin, NT. Australia (Foto: abc.net.au/indonesian)

Mencari akomodasi tidaklah mudah

Mel Schoonens adalah salah seorang warga asal Indonesia yang sekarang menetap di Dawin dan mencoba membantu mahasiswa dan peserta WHV asal Indonesia di Kawasan Australia Utara.

"Kebetulan saya menjadi pemimpin bagi lebih dari 300 anak-anak WHV dan mahasiswa asal Indonesia di sini," katanya kepada ABC Indonesia.

Dari pengamatannya, Mel melihat situasi untuk mendapatkan pekerjaan saat ini memang lebih ketat.

"Dibandingkan tahun lalu, sepertinya sekarang agak sulit, karena banyaknya anak-anak WHV yang terus berdatangan ke Darwin," katanya.

Masalah lain yang juga muncul, menurutnya, adalah ketersediaan akomodasi untuk menampung mereka yang datang.

Mel berusaha membantu mereka dengan menyewa beberapa unit dan rumah yang kemudian bisa menampung mereka yang baru datang.

"Saya sudah punya tiga unit berbeda atas nama saya guna mengakomodasi mereka. Dua unit non-profit, dan satu disewakan untuk mendapatkan dana guna membantu anak-anak WHV yang belum bekerja atau kerja hanya satu dua jam saja," kata Mel.

Laurencia SimanjorangLaurencia Simanjorang tiba di Brisbane, Australia, untuk memulai WHV di bulan September 2022. (Foto: abc.net.au/indonesian)

Jangan langsung ke regional

Laurencia Simanjorang, 23 tahun, sudah tiba di Australia sebagai pemegang WHV sejak bulan September 2022.

Saat ini ia bekerja sebagai pemetik buah di Queensland.

Laurencia sedang berusaha untuk bisa mendapatkan visa WHV tahun ketiga, dengan syarat harus bekerja selama enam bulan di kawasan regional.

Ia pernah tinggal dan bekerja di berbagai kota regional di sana seperti Mackay, Townsville, Cairns, Mareeba, Rockhampton dan Munduberra.

Pekerjaan yang pernah dijalaninya antara lain tenaga pembersih di sebuah lokasi pertambangan, serta berbagai pekerjaan di bidang pertanian seperti pemetik dan mengepak buah-buahan.

Tapi ia tidak terlalu merekomendasikan langsung pergi ke kawasan regional bagi yang peserta WHV yang baru datang.

"Saya kurang merekomendasi WHV yang baru tiba langsung ke regional area tanpa persiapan yang matang," katanya.

"Mulai dari harus bisa nyetir, punya kendaraan sendiri, tanpa kendaraan di sini membuat kita tidak bisa kemana- mana, karena tranportasi publik terbatas."

Selain itu dari pengalamnnya menunjukkan pekerjaan di bidang pertanian bergantung pada kondisi cuaca.

"Bila hujan berarti tidak bekerja dan tidak punya penghasilan, sedangkan biaya hidup di sini tinggi."

"Kalau bawa dananya dari Indonesia terbatas, mending ke kota lebih dulu sambil menabung, dan cari kawan yang bisa sharing daripada luntang lantung sendirian di outback."

Satu hal yang pasti, Laurencia mengatakan semua pengalaman yang ia dapati tidak akan bisa ditukar dengan uang.

"Bertemu teman- teman baru dari berbagai negara dan latar belakang yang berbeda, belajar untuk jadi serba bisa dan mandiri dalam urusan apa pun berbeda sekali sewaktu saya tinggal di Indonesia." (abc.net.au/indonesian). []

Berita terkait
Mahasiswa Indonesia di Australia Berharap Jam Kerja Mereka Tidak Perlu Dibatasi
Mahasiswa jurusan material engineering ini menyibukkan diri bekerja part time untuk menutupi kebutuhan hidup yang semakin mahal