Mahasiswa Indonesia di Australia Berharap Jam Kerja Mereka Tidak Perlu Dibatasi

Mahasiswa jurusan material engineering ini menyibukkan diri bekerja part time untuk menutupi kebutuhan hidup yang semakin mahal
Mahasiswa doktoral bidang teknik di Monash University, Naufan Nurrosyid, mengaku tak ingin menyia-nyiakan waktunya di Australia sehingga memilih bekerja sebagai cleaner dan asisten dosen. (Foto: abc.net.au/indonesian - Supplied)

Oleh: Farid Ibrahim

TAGAR.id - Bila tidak sedang berkutat di laboratorium teknik Universitas Monash, Autralia, sebagai mahasiswa doktoral, Naufan Nurrosyid, tak ingin membuang-buang waktu luangnya di Melbourne.

Sejak tiba di Australia tahun lalu, mahasiswa jurusan 'material engineering' ini menyibukkan diri bekerja 'part time' untuk menutupi kebutuhan hidup yang semakin mahal.

"Saya kerjanya sebagai cleaner di salah satu universitas, dari jam 2 sampai jam 6 pagi," ujar Naufan kepada Farid Ibrahim dari ABC News Indonesia.

"Sudah lebih lebih dari satu tahun saya menjalani pekerjaan ini," kata dosen Universitas Pertahanan di Sentul, Kabupaten Bogor.

Ia mengaku ingin memaksimalkan kesempatan bekerja selama berada di Australia, karena dari pengalamannya di negara lain, kesempatan seperti ini sangatlah jarang.

Tapi keinginan Naufan tersebut kini semakin terbatas, setelah Pemerintah Australia yang akan mengembalikan pembatasan jam kerja bagi mahasiswa asing mulai 1 Juli 2023, yakni maksimal 48 jam per dua minggu.

Padahal sejak 1 Januari 2022, pembatasan jam kerja dihapus sama sekali sehingga mahasiswa asing dan keluarganya dapat bekerja semaksimal mungkin, demi mengatasi kelangkaan tenaga kerja.

Khusus bagi pemegang visa pelajar yang telah bekerja di sektor perawatan lanjut usia (lansia) pada 9 Mei 2023, mereka tetap bisa bekerja tanpa pembatasan jam kerja hingga 31 Desember 2023.

Dari pengalaman Naufan, biaya hidup yang termasuk dalam beasiswanya tidaklah mencapai batas garis kemiskinan di Australia, sehingga mau tidak mau ia harus bekerja untuk menutupi kekurangannya.

"Jadi menurut saya hal ini tergantung ke pemberi beasiswa dan individu mahasiswanya. Kalau pemberi beasiswa tak mampu memberi beasiswa di atas garis kemiskinan, mestinya jam kerjanya tidak perlu dibatasi," katanya.

Di sisi lain, kata ayah satu anak ini, mahasiswanya sendiri pasti tahu diri mengatur waktunya, karena mereka datang ke negara ini untuk menyelesaikan pendidikan yang menjadi prioritas bagi mereka.

Naufan Nurrosyid bersama temanNaufan Nurrosyid bersama teman-temannya bekerja sebagai cleaner di salah satu kampus di Melbourne, Australia. (Foto: abc.net.au/indonesian - Supplied)

"Jadi kalau memang bisa, tidak usah dibatasi, apalagi sekarang biaya hidup di Australia semakin mahal. Harga-harga naik semua," ucap Naufan, yang juga bekerja sebagai asisten dosen di Universitas Monash.

Sebagai asisten dosen, katanya, dia dibayar per jam, biasanya hanya tiga jam per minggu.

"Kadang dalam satu minggu dapatnya sampai delapan jam, tapi kadang juga sampai dua minggu tidak dapat sama sekali," jelasnya.

Sementara pekerjaannya sebagai 'cleaner' dijalaninya selam empat jam sehari, setiap Senin sampai Jumat.

"Bagi saya kerja di Australia ini menyenangkan. Kerja cleaning sangat low pressure, pekerjaannya juga tak berat, tapi sangat membantu secara ekonomi," paparnya.

Jessica VaniaJessica Vania kuliah S1 desain komunikasi visual pada University of South Australia dan mengaku senang karena dapat mengaplikasikan ilmunya di tempat kerjanya. (Foto: abc.net.au/indonesian - Supplied)

Bangga bisa bekerja di Australia

Pengalaman bekerja di Australia yang menyenangkan juga dialami Jessica Vania Budiman, mahasiswa S1 jurusan desain komunikasi visual di University of South Australia.

Perempuan asal Jogja yang akrab disapa Jess tiba di Adelaide sejak Februari 2022 dan kini bekerja di pabrik es krim.

"Aku bekerja casual lima hari di pabrik es krim sejak tahun lalu. Menyenangkan sih. Kalau tidak sedang kuliah saya bisa kerja delapan hingga sembilan jam. Kalau pas kuliah kira-kira setengah hari jadi lima jam," ujarnya.

Di masa awal kerjanya, Jess ditempatkan di bagian produksi, namun sekarang telah dipercaya oleh perusahaan untuk membantu di kantor.

"Aku dikasih kesempatan untuk kerja sesuai bidangku di desain grafis. Jadi di samping kerja di produksi juga kerja di office," jelasnya.

"Aku merasa bangga bisa bekerja sesuai dengan jurusanku di Australia," kata Jess.

Menurut pengalamannya sebagai mahasiswa sambil bekerja, Jess menilai pembatasan jam kerja seharusnya tidak perlu karena setiap mahasiswa tentunya sudah mengetahui prioritas mereka masing-masing.

"Apalagi seperti saya dari Indonesia ya, saya mau ambil kesempatan sebanyak-banyaknya untuk kerja di sini karena kurikulum pendidikannya juga lebih renggang daripada kurikulum di Indonesia," jelas anak pertama dari dua bersaudara ini.

"Pertimbangannya itu jurusan aku enggak punya exam, yang berarti cuma full assignment, kalau itu sudah selesai sudah enggak ada apa-apa lagi. Jadi waktu saya relatif lumayan banyak," ungkap Jess.

Selama ini, bila jadwal kuliahnya padat, dengan sendirinya Jess selalu mengurangi jam kerjanya.

Menurut dia, hal ini kembali kepada mahasiswanya sendiri, karena pemerintah membatasi jam kerja supaya mahasiswa bisa fokus belajar.

"Bekerja di Australia merupakan pengalaman tersendiri karena saya harus mengajukan lamaran sendiri, di-interview, dan saat keterima di-trial dulu," jelasnya.

Yang berkesan baginya saat ia dipercaya untuk terlibat dalam desain, bukan hanya membuat es krim, karena menurutnya susah mendapat pekerjaan sesuai bidang ilmunya jika belum punya 'portfolio'.

"Puji Tuhan saya diberi kesempatan untuk bekerja di bidang ini, dan saya tahu tidak semua orang punya kesempatan seperti itu," ucap Jess. (abc.net.au/indonesian). []

Berita terkait
Mahasiswa Asing yang Bekerja di Australia Tereksploitasi
Mahasiswa asing yang bekerja di Australia sebenarnya tereksploitasi, tapi mengapa mereka tidak melaporkan majikannya?