Yogyakarta - Pagelaran Biennale Jogja XVI Equator #6 akan diselenggarakan pada 2021 dengan mengambil pendekatan berbeda untuk menandai satu putaran penuh garis khatulistiwa yang menjadi kerangka kerja sejak 2010. Pada event tersebut akan menyajikan pula satu bentuk retrospeksi atas kerja-kerja Yayasan Biennale Yogyakarta selama Biennale Jogja seri equator yang sudah berlangsung pada periode sebelumnya.
Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta, Alia Swastika mengatakan untuk menutup rangkaian khatulistiwa putaran pertama, akan bekerja sama dengan salah satu negara di kawasan Pasifik. Kepastian negara masih terus digodok untuk menimbang banyak situasi, termasuk bagaimana pandemi ini berpengaruh pada mobilitas dan gagasan pertukaran internasional.
“Kawasan Pasifik terutama secara khusus berhubungan dengan wilayah kepulauan di Indonesia, dan secara geografis Indonesia Timur juga akan menjadi titik perhatian kami,” kata Alia pada Senin, 30 November 2020.
Baca Juga:
Dalam kesempatan itu, Alia Swastika juga menjelaskan kerja sama kawasan Pasifik juga merujuk pada wacana-wacana kolonialisme baru dan gagasan negara bangsa pada masyarakat kontemporer, karena ada banyak negara di kawasan tersebut yang ternyata masih menjadi bagian kekuasaan negara Eropa, misalnya Perancis, Amerika Serikat dan sebagainya.
Yang menarik, selain menjadikan Pasifik sebagai kawasan mitra, Biennale Jogja juga akan menghadirkan kembali arsip dan dokumentasi selama penyelenggaraan Biennale Jogja seri khatulistiwa dari satu hingga lima. Biennale Jogja telah menjalin kerja sama dengan beberapa negara seperti India, Kawasan Arab (Mesir, Arab Saudi dan Uni Emirates Arab), Nigeria, Brazil dan Asia Tenggara.
Kawasan Pasifik terutama secara khusus berhubungan dengan wilayah kepulauan di Indonesia, dan secara geografis Indonesia Timur juga akan menjadi titik perhatian kami.
Diharapkan, dengan membawa kembali arsip-arsip dan melakukan pembacaan ulang, maka pengunjung dan semua warga bisa melihat secara utuh gagasan khatulistiwa sebagai geopolitik yang digagas di Yayasan Biennale Yogyakarta. “Menarik sekali karena ada banyak hal sejarah dan kondisi geografis, yang dipelajari selama 10 tahun pelaksanaan Biennale Jogja seri khatulistiwa,” ujarnya.
Selain itu, dalam pertemuan dengan media diperkenalkan pula Direktur Biennale Jogja yang baru yaitu Gintani Nur Apresia Swastika. Gintani akan menjadi Direktur bagi penyelenggaraan dua peristiwa seni ini pada 2021 dan 2023. Biennale Jogja selalu berupaya untuk melakukan regenerasi sehingga ada orang dan gagasan baru yang dimunculkan dalam moda kepemimpinan dan manajemen seni.
Baca Juga:
“Seri khatulistiwa setiap edisi Biennale memilih satu kawasan baru, sehingga selalu perlu pendekatan baru karena setiap negara atau kawasan situasinya berbeda,” kata Alia.
Gintani Nur Apresia Swastika, sebagai seniman telah terlibat dalam berbagai pameran kelompok, program residensi, dan proyek seni di Indonesia, Singapura, Taiwan, dan Australia.
Selama ini aktif terlibat dalam berbagai forum seni baik lokal maupun internasional, seperti TRANScuratorial Academy, Mumbai, India (2017), The 7th Gwangju Biennale International Curator Course, Gwangju, South Korea (2016), 4A Curator’s Intensive, Emerging Curator Forum, di 4A Centre for Contemporary Asian Art, Sydney, Australia (2014), dan Gender Under Reflection on South East Asia Women Artist Forum, Yangon, Myanmar (2012).[]