Perjalanan Hidup Siddharta Gautama Sang Buddha

Siddharta Gautama meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, pergi menjadi Buddha untuk membebaskan manusia dari usia tua, sakit dan mati.
Patung Siddharta Gautama. (Foto: Wikipedia)

Jakarta - Pangeran Siddharta Gautama dilahirkan sebagai Buddha atau orang yang mencapai pencerahan sejati. Ia lahir dari seorang ayah bernama Sri Baginda Raja Suddhodana yang merupakan penguasa dari Suku Sakya dan ibunya bernama Sri Ratu Maha Maya Dewi.

Ibundanya meninggal dunia tujuh hari setelah melahirkan Siddharta Gautama. Ibunda ratu kemudian dilahirkan kembali di alam Tusita, yaitu alam sorga luhur. Sejak itu yang merawat Pangeran Siddharta adalah Maha Pajapati, bibinya yang juga menjadi istri Raja Suddhodana.

Kelahiran Siddharta Gautama Sang Buddha

Pangeran Siddharta Gautama dilahirkan pada tahun 623 SM di Taman Lumbini, ketika itu Ratu Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sal. Kelahiran sang pangeran dibarengi kejadian jatuhnya dua arus kecil yang jatuh dari langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya hangat. Arus tersebut membasuh tubuh Siddharta.

Siddharta lahir dalam keadaan bersih tanpa noda, bahkan dapat langsung berdiri tegak dan dapat melangkah ke arah utara, tempat yang dipijaknya tumbuh bunga teratai. Dari kejadian itu, para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala meramalkan Pangeran Siddharta kelak akan menjadi Maharaja Diraja atau akan menjadi seorang Buddha. Pertapa Kondanna dengan pasti meramalkan Sang pangeran kelak akan menjadi Buddha.

Ramalan tersebut membuat Sri Baginda merasa cemas, karena apabila sang pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan mewarisi takhta kerajaannya. Kemudian para pertapa itu berpesan agar sang pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa, jika tidak, ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha.

Baginda khawatir putra tunggalnya itu akan meninggalkan istana dan menjadi pertapa, mengembara tanpa tempat tinggal. Maka dari itu Baginda memilih banyak pelayan untuk merawat Pangeran Siddharta, agar putra tunggalnya menikmati hidup keduniawian.

Apa arti kehidupan ini kalau semuanya akan menderita sakit, umur tua, dan kematian.

Segala bentuk penderitaan berusaha disingkirkan dari kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua, dan kematian. Sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi.

Keistimewaan Siddharta sudah terlihat sejak kecil dengan kecerdasannya yang di atas rata-rata. Kehidupannya selalu dilayani pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang masih muda dan cantik rupawan di istana yang megah dan indah.

Dalam usia 7 tahun, Pangeran Siddharta telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Tetapi ia merasa kurang berminat dengan pelajaran tersebut. Pangeran Siddharta mendiami tiga istana, yaitu istana musim semi, musim hujan, dan pancaroba.

Pada usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikah dengan Putri Yasodhara setelah berhasil memenangkan berbagai sayembara. Namun, akhirnya sang pangeran melihat empat peristiwa yang selalu diusahakan agar tidak berada di dalam penglihatannya.

Suatu hari Pangeran Siddharta meminta izin untuk berjalan di luar istana, di mana pada kesempatan berbeda ia melihat empat peristiwa yang sangat berarti, yaitu tua, orang sakit, orang mati, dan orang suci.

Pangeran Siddharta bersedih dan menanyakan kepada dirinya sendiri, “Apa arti kehidupan ini kalau semuanya akan menderita sakit, umur tua, dan kematian. Lebih-lebih mereka yang minta pertolongan kepada orang yang tidak mengerti, yang sama-sama tidak tahu dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara ini.”

Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang akan memberikan semua jawaban tersebut. Akibatnya, Pangeran Siddharta menjadi tampak murung dan kecewa melihat kenyataan hidup yang penuh dengan derita.

Meninggalkan Kehidupan Duniawi

Setelah 15 tahun menikah, ketika Pangeran Sidharta berusia 29 tahun, istrinya melahirka putra pertama diberi nama Rahula. Setelah itu Pangeran Siddharta meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, untuk pergi berguru mencari ilmu sejati yang dapat membebaskan manusia dari usia tua, sakit, dan mati.

Pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan untuk meninggalkan istana dengan ditemani kusirnya, Canna. Tekadnya telah bulat untuk melakukan Pelepasan Agung dengan menjalani hidup sebagai pertapa.

Dalam pengembaraannya, Siddharta berguru kepada Alara Kalama dan Uddaka Ramaputra. Dari kedua gurunya tersebut ia belum puas karena tidak memperoleh yang diharapkannya. Kemudian Siddharta bertapa menyiksa diri dengan ditemani lima orang pertapa di hutan Uruwela, di tepi Sungai Nairanjana yang mengalir dekat Hutan Gaya.

Selama 6 tahun menjalani tapa menyiksa diri, Gautama belum juga memahami hakikat dan tujuan pertapaan yang dilakukan tersebut. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menghentikan tapa dan pergi ke sungai untuk mandi. Badannya yang tinggal tulang hampir tidak sanggup menopang tubuhnya.

Badannya yang sudah lemah membuatnya hampir putus asa, terlebih godaan setan Mara yang dahsyat. Tetapi dengan kemauan yang keras, ia melanjutkan pertapaannya. Hal ini terjadi ketika bintang pagi memperlihatkan dirinya di ufuk timur.

Mencapai Pencerahan Sempurna

Pertapa Gautama mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha, tepat pada saat bulan Purnama Raya di bulan Waisak ketika ia berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12).

Tubuh Sang Siddharta memancar enam sinar Buddha (Buddharasmi) ketika telah mencapai Pencerahan Sempurna. Pertapa Gautama mendapat gelar kesempurnaan yaitu Buddha Gautama, Buddha Shakyamuni, Tathagata, Sugata, Bhagava dan sebagainya.

Lima pertapa yang mendampingi Gautama di hutan Uruwela merupakan murid pertama Sang Buddha yang mendengarkan khotbah pertama Dhammacakka Pavattana. Khotbah tersebut menjelaskan tentang Jalan Tengah yang ditemukannya, yaitu Delapan Ruas Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbahnya yang menjelaskan “Empat Kebenaran Mulia”.

Menyebarkan Ajaran Buddha

Buddha Gautama kemudian kembali berkelana menyebarkan Dharma selama empat puluh lima tahun kepada umat manusia dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang. Pada usinya 80 tahun, ia menyadari bahwa tiga bulan lagi akan mencapai Parinibbana.

Sang Buddha dalam keadaan sakit terbaring di antara dua pohon sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma terakhir kepada murid-murid-Nya, lalu Parinibbana. Dalam versi Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar. Sementara versi WFB pada bulan Mei, 543 SM.

Berikut isi khotbah Buddha Gautama terakhir yang mengandung arti prinsip-prinsip beragama,

  1. Percaya pada diri sendiri dalam mengembangkan Ajaran Sang Buddha
  2. Jadikanlah Ajaran Sang Buddha (Dharma) sebagai pencerahan hidup
  3. Segala sesuatu tidak ada yang kekal abadi
  4. Tujuan dari Ajaran Sang Buddha (Dharma) ialah untuk mengendalikan pikiran
  5. Pikiran dapat menjadikan seseorang menjadi Buddha, namun pikiran dapat pula menjadikan seseorang menjadi binatang
  6. Hendaknya saling menghormati satu dengan yang lain dan dapat menghindarkan diri dari segala macam perselisihan
  7. Bilamana melalaikan Ajaran Sang Buddha, dapat berarti belum pernah berjumpa dengan Sang Buddha
  8. Mara (setan) dan keinginan nafsu duniawi senantiasa mencari kesempatan untuk menipu umat manusia
  9. Kematian hanyalah musnahnya badan jasmani
  10. Buddha yang sejati bukan badan jasmani manusia, tetapi Pencerahan Sempurna;
  11. Kebijaksanaan Sempurna yang lahir dari Pencerahan Sempurna akan hidup selamanya di dalam Kebenaran
  12. Hanya mereka yang mengerti, yang menghayati dan mengamalkan Dharma yang akan melihat Sang Buddha
  13. Ajaran yang diberikan oleh Sang Buddha tidak ada yang dirahasiakan, ditutup-tutupi ataupun diselubungi.

Sang Buddha bersabda, “Dengarkan baik baik, wahai para bhikkhu, Aku sampaikan padamu: Akan membusuklah semua benda benda yang terbentuk, berjuanglah dengan penuh kesadaran!” (Digha Nikaya II, 156)

Seorang Buddha memiliki sifat Cinta Kasih (maitri atau metta) dan Kasih Sayang (karuna) yang diwujudkan oleh sabda Buddha Gautama, “Penderitaanmu adalah penderitaanku, dan kegembiraanmu adalah kegembiraanku.” Manusia adalah pancaran dari semangat Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang dapat menuntunnya kepada Pencerahan Sempurna. []

Baca juga:

Berita terkait
Prapanca Sang Bhiksu Buddha yang Nyeniman
Prapanca adalah nama samaran Bhiksu Buddha, penulis Kitab Nagarakretagama. Ia sekretaris pribadi Raja Hayam Wuruk, Majapahit.
Cerita Pekerja Muslim di Lingkungan Vihara Dharma Bakti Jakarta
18 tahun bekerja di rumah ibadah yang tidak dianutnya.
Harapan Jokowi dan Fachrul Razi pada Hari Waisak
Presiden Joko Widodo dan Menteri Agama Fachrul Razi mengungkapkan harapannya pada hari raya trisuci Waisak yang dirayakan umat Buddha.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.