Penusukan Syekh Ali Jaber Pembunuhan Berencana

Kriminolog Reza Indragiri Amriel menilai pelaku penusukkan Syekh Ali Jaber layak dijerat pasal pembunuhan berencana.
Pendakwah Syekh Ali Jaber tidak terima pelaku penikamnya dianggap gila. (foto: sulawesion.com).

Jakarta - Aksi penusukkan yang dialami Syekh Ali Jaber saat berceramah di salah satu masjid di Kota Bandar Lampung, Minggu, 13 September 2020, bisa diarahkan kepada pembunuhan berencana.

etap tidak memuaskan bahwa klaim atau dalih si pelaku mengidap gangguan jiwa selama 4 tahun. Bagi saya tetap tidak bisa ditelan secara bulat-bulat.

Hal itu dinyatakan kriminolog Reza Indragiri Amriel ketika diwawancarai Tagar TV, Selasa, 15 September 2020. "Tepat (pembunuhan berencana). Jika seorang pelaku pembunuhan sudah membawa senjata, artinya dia tidak hanya sekedar menggunakan instrumen yang ditemukan begitu saja di TKP, maka ada alasan penegak hukum untuk merekonstruksi pasal-pasal yang memaksimalkan hukuman terhadap pelaku, termasuk dengan pasal percobaan pembunuhan berencana," katanya.

Menurutnya, pasal pembunuhan berencana bisa dijeratkan kepada pelaku. Sebab, jika tusukan itu mengenai organ vital Syekh Ali Jaber, bisa jadi pendakwah itu kehilangan nyawanya.

"Jika pun pelaku mengalami gangguan jiwa seperti yang diklaim pihak keluarga, gangguan jiwa yang mana? Dalam kombinasi psikologi, psikiatri, ada sebuah primbon, ada buku pintar yang memuat ratusan hingga ribuan jenis gangguan manusia secara spesifik," katanya.

Reza menegaskan, jika pelaku penusuk Syekh Ali Jaber disebut mengalami gangguan jiwa, harus dituntaskan jawaban pastinya. Sebab, tidak semua gangguan jiwa membuat pelaku kejahatan lolos dari jeratan hukum.

"Tetap tidak memuaskan bahwa klaim atau dalih si pelaku mengidap gangguan jiwa selama 4 tahun. Bagi saya tetap tidak bisa ditelan secara bulat-bulat," katanya.

Jika pemeriksaan semakin komprehensif dilakukan, semakin banyak irisannya dan tentu semakin banyak keterlibatan ahli dalam penanganan kasus tersebut. Sehingga, akan menghasilkan kesimpulan gangguan jiwa yang lebih akurat.

Menurut Reza, para ahli yang bisa dilibatkan mulai dari psikologi, psikiatri. Kemudian ahli saraf untuk mengetahui bagaimana proses kerja otak manusia. Paling tidak, kehadiran ahli ini dapat menyimpulkan kepastian kondisi diri si pelaku sebenarnya.

"Kalau membawa unsur motif, maka satu-satunya asumsi yang bisa kita bangun adalah pelaku sebenarnya waras. Tidak relevan kita bicara motif jika pelaku itu tidak waras," katanya. Jadi non-sense bicara motif kalau pelaku masih kita asumsikan sebagai orang yang memiliki gangguan kejiwaan," katanya.

Dia mengatakan, seluruh spekulasi sudah sesak terkait kasus penusukkan tersebut. Dia menduga, spekulasi hadir atas bentuk ketidakpuasan publik terhadap kinerja aparat penegak hukum di Indonesia.

Apalagi selama ini, nyaris seluruh proses hukum terhadap kasus penganiayaan terhadap ulama berhenti di titik hulu. Kondisi ini membuat masyarakat terluka dan seolah-olah tuntutan tidak terpenuhi terhadap aparat.

Kondisi ini mengganggu kredibilitas aparat penegak hukum. Bahkan, menciptakan ruang-ruang munculnya spekulasi, konspirasi dan sebagainya.

Atas dasar itu, dia meminta agar lembaga penegak hukum, terutama sekali kepolisian untuk merealisasikan dua pasal dalam KUHP. Sebab selama ini, setiap kali bicara pelaku kejahatan yang terindikasi mengalami gangguan kejiwaan, penegak hukum selalu berkutat pada pasal 44 KUHP bahwa seseorang yang terganggu kejiwaannya lolos dari jeratan hukum.

"Kita melupakan pasal-pasal lain. Misalnya di dalam KUHP ada pasal yang kurang lebih menyatakan seorang hakim bisa memerintahkan kepada yang bersangkutan (pelaku) untuk menjalani perawatan atau pengobatan di rumah sakit. Pasal ini jelas, kalau kita tafsirkan perintah hakim hanya akan ada kalau ada proses persidangan," katanya.

Implikasinya, pelaku kejahatan yang diduga mengidap gangguan jiwa sekali pun proses hukumnya mesti berlanjut sampai ke persidangan. Sebab saat itulah terbuka kesempatan hakim untuk memerintahkan pelaku menjalani pengobatan atau perawatan di rumah sakit.

Pasal berikutnya di KUHP juga mengatakan bahwa seseorang yang mempunyai tanggungjawab untuk menjaga pengidap gangguan jiwa, tapi orang tersebut melakukan kelalaian sehingga si pengidap gangguan jiwa melakukan perbuatan yang membahayakan orang lain, maka orang yang bertanggungjawab itu sesungguhnya bisa dipidana.

"Ada sekian banyak kasus penganiayaan terhadap ulama, seluruh pelakunya (anggaplah) memiliki gangguan jiwa, tapi semestinya proses hukum tidak berhenti. Polisi seharusnya mencari tahu, siapa sesungguhnya manusia atau institusi yang bertanggungjawab untuk menjaga si pengidap gangguan jiwa yang sudah melakukan kejahatan ini," katanya.

Jika telah ditemukan siapa yang bertanggung jawab, maka proses hukum juga harus dijalankan demi kebutuhan masyarakat terhadap keadilan.

"Kalau criminal profiling ulama kebanyakan adalah pengidap gangguan jiwa, maka pastikan bahwa upaya penjagaan, upaya pemeliharaan, upaya pengobatan terhadap para gangguan jiwa," tuturnya. []

Tonton wawancara lengkap Kriminolog, Reza Indragiri Amriel, bersama Tagar TV tentang polemik penusukan Syekh Ali Jaber:



Berita terkait
Polisi Usut Motif dan Dalang Penusuk Syekh Ali Jaber
Anggota Komisi VIII DPR, KH Maman Imanulhaq, yang dikenal sebagai Kiai Maman, mengutuk keras aksi penusukan terhadap Syekh Ali Jabar
Syekh Ali Jaber, MUI Jatim: Perlu Pengawalan Ulama
MUI dan PWNU Jatim menilai kasus penusukan dialami Syekh Ali Jaber harus dijadikan pelajaran agar ulama dan kiai tidak mendapatkan kekerasan.
Syekh Ali Jaber Ditusuk, PKS: Jangan Anggap Enteng
Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Aboe Bakar Alhabsyi meminta polisi mengusut motif penusukan terhadap Syekh Ali Jaber.
0
Parlemen Eropa Kabulkan Status Kandidat Anggota UE kepada Ukraina
Dalam pemungutan suara Parlemen Eropa memberikan suara yang melimpah untuk mengabulkan status kandidat anggota Uni Eropa kepada Ukraina