Pengamat Setarakan Omnibus Law dengan RUU KPK

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin membandingkan RUU Cipta Kerja Omnibus Law tak ayal seperti RUU KPK.
(Foto: Facebook/Omnibus Law).

Jakarta - Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin menyebut wajar saja apabila Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law yang direkomendasikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada DPR mendapat banyak penolakan dari banyak pihak. 

Menurutnya, sejumlah aturan dalam RUU tersebut dinilai hanya menguntungkan para taipan. 

"Karena RUU tersebut dianggap menguntungkan pengusaha dan merugikan buruh. Buruh hidupnya akan makin susah lagi," kata Ujang kepada Tagar, Selasa, 10 Maret 2020.

Seperti itulah. Sama dengan RUU yang lain. RUU KPK yang pengesahannya dipaksakan.

Selain itu, kata dia, melalui Omnibus Law pemerintah pusat ingin kembali mengulang era orde baru yang bersifat sentralistik. Hal itu dapat dilihat dari sejumlah kewenangan izin daerah yang bisa diambil alih oleh pusat.

Baca juga: Pemerintah Diminta Sosialisasikan Omnibus Law

"(Aturan) itu juga ada di RUU Omnibus Law. Pemerintah ingin mengambil kewenangan pemerintah daerah. Pemerintah ingin berkuasa penuh lagi," ujarnya.

Alih-alih ingin memperbaiki sistem perizinan usaha, justru yang terjadi adalah kembalinya sikap otoriter pemerintah yang mencederai cita-cita reformasi. Pemerintah di daerah nantinya hanya menjadi kepanjangtanganan pusat tanpa wewenang.

"Terkait perizinan usaha dan lain-lain, karena dianggap berbelit dan bobrok di pemerintah daerah, maka kewenangannya ingin diambil oleh pusat," kata Direktur Indonesia Political Review itu.

Ujang menilai Omnibus Law tak ubahnya sebagai RUU pesanan dari para pemodal politik yang cenderung memaksa. Dia mencontohkan dengan RUU lain, seperti revisi UU KPK yang seakan-akan dipaksakan untuk segera disahkan tanpa pengkajian materi secara mendalam.

"Seperti itulah. Sama dengan RUU yang lain. RUU KPK yang pengesahannya dipaksakan," tutur Ujang.

Lebih lanjut, Ujang menyinggung fenomena balas budi politik seperti yang sempat diungkapkan oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo (Bamsoet).

"Seperti apa yang pernah disampaikan oleh Bamsoet, untuk menghancurkan Indonesia, tinggal beli partainya," kata dia.

Baca juga: Mahfud Md dan Yasonna Laoly Respons Aksi Gejayan

Hal itu turut memancing reaksi pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati. Dia menilai adanya polemik RUU Cipta Kerja Omnibus Law, akibat kurangnya komunikasi dan sosialisasi pemerintah.

"Saya pikir demikian, karena pada dasarnya banyak persepsi publik yang tak tahu apa itu Omnibus Law. Selama ini pemerintah selalu menggunakan argumen populis untuk mereduksi penolakan soal Omnibus Law," ujar Wasisto kepada Tagar, Senin, 9 Maret 2020.

Wasisto menduga, pemerintah sengaja meminimalisir komunikasinya menyangkut Omnibus Law. Dengan begitu, kata dia, masyarakat hanya dapat menerima saja, tanpa memiliki kesempatan mengkritisi kebijakan tersebut.

"Omnibus Law sederhananya adalah RUU yang memuat undang-undang sebelumnya dengan tujuan mengurangi tumpah tindih aturan dengan aturan yang lebih simpel. Saya kira, Omnibus Law ini adalah cara mudah untuk mengurangi resistensi publik. Masyarakat sengaja tidak diberi ruang kritis untuk dialog," ucap Wasisto. []

Berita terkait
Jokowi Kaitkan Omnibus Law dengan Virus Corona
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaitkan kerugian ekonomi Indonesia, bisa tertutup apabila Omnibus Law sudah jadi.
Omnibus Law Cipta Kerja untuk 7 Juta Penganggur
Hiruk-pikuk terkait RUU Cipta Kerja yang lebih dikenal sebagai Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja mengabaikan hak 7 juta warga yang menganggur.
4 Fakta Omnibus Law Diperlukan di Indonesia
Mengapa Omnibus Law diperlukan di Indonesia? Ada beberapa fakta kenapa Omnibus Law ini sangat diperlukan.