Medan - Pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kota Medan yang akan berlangsung pada 9 Desember 2020, dinilai sebuah gambaran defisit demokrasi. Karena hanya terbentur pada dua nama kandidat saja, yakni menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution menantang Akhyar Nasution di kubu petahana.
Pengamat politik dan pemerintahan di Kota Medan, Shohibul Anshor Siregar mengakui, ada beberapa alasan bahwa Pilkada Kota Medan 2020 kurang dapat dinikmati.
Pertama, katanya, kota besar sekelas Medan, suka atau tidak, rupanya hanya terbentur pada dua nama saja. Faktanya, keduanya sama-sama bermarga Nasution. Selain itu, keduanya pun sama-sama berasal dari satu partai, yakni PDIP.
"Faktanya memang Akhyar Nasution adalah kader yang dibesarkan oleh PDI Perjuangan dan ikut membesarkan partai itu. Meski belakangan diberitakan bahwa Akhyar Nasution sudah berpindah partai, hal itu tidak dapat mengubah fakta bahwa ia adalah kader PDI Perjuangan. Juga adalah fakta bahwa untuk proses pencalonan Pilkada Kota Medan 2020 ini, Bobby Nasution pun diberitakan oleh media sudah mendaftar menjadi anggota PDI Perjuangan," katanya.
Hal tersebut, kata dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) ini, jelas tidak menggambarkan kesehatan proses politik. Secara demografis dan sejarah politik, Kota Medan adalah miniatur Indonesia. Tetapi demokrasi seakan sudah berhenti di sini. Mandek, dan gagal mengembangkan diri menjadi proses pembelajaran.
"Mereka yang keberatan dengan pendapat saya, tentu akan memberi tahu sesuatu yang sudah saya ketahui lama bahwa, sesungguhnya tidak ada regulasi yang memantangkan perebutan kekuasaan melalui pilkada di antara dua atau lebih dari maga yang sama (Nasution) dan dari satu partai (PDI Perjuangan) saja," ujarnya.
Pemilihan langsung juga sangat mudah terjebak dengan populisme tak berperspektif
Ke dua, kata dia, jika Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat tidak membentuk sebuah koalisi yang menjagokan Akhyar Nasution di dalamnya, diperkirakan Pilkada Kota Medan 2020 akan mempertandingkan keperkasaan satu pasangan usungan PDIP dengan kotak kosong.
Tentu orang di luar sana juga akan ada yang berkata bahwa semua biasa saja dan tidak ada ketentuan yang dilanggar, karena kontestasi satu pasangan dengan kotak kosong dalam pilkada adalah konstitusional.
"Namun, yang namanya pilkada adalah sebuah proses seleksi. Hakekat seleksi itu sesungguhnya hak, kesempatan dan peluang untuk menentukan yang terbaik berdasarkan perbandingan di antara sejumlah pilihan. Jadi dengan terbentuknya koalisi PKS dan PD yang berencana mengusung Akhyar Nasution, wajah demokrasi di Kota Medan sedikit banyaknya sudah terselamatkan juga," jelasnya.
Akar Masalah
Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif dan Swadaya (nBASIS) ini juga menyinggung legal framework (kerangka hukum) pilkada yang buruk. Karena itu regulasi mengenai hal ini paling banyak mengalami revisi. Sayangnya revisi demi revisi kebanyakan hanya berkisar pada perubahan-perubahan semantik yang tidak substantif.
Cara mengukur buruknya legal framework pilkada, tambah Shohibul, antara lain dengan mengajukan pertanyaan di daerah mana rakyat beroleh kepuasan atas kinerja wali kota, bupati, dan gubernur.
Hingga sejauh ini, menurut Shohibul, kebudayaan politik nasional yang terbentuk melalui pilkada adalah mekanisme politik yang bercirikan transaksi secara berjenjang dan bertahap. Kerawanan money bombing tak sekadar membuka jalan lebar bagi penguasa modal untuk menguasai pemerintahan dan sistem sumber daya, tetapi juga sekaligus menjauhkan rakyat dari proses politik yang elegan.
"Resep money bombing umumnya, terbukti sangat efektif di tengah rakyat yang ditimpa oleh kemiskinan struktural dan tingkat kesenjangan ekonomi yang parah. Pemilihan langsung juga sangat mudah terjebak dengan populisme tak berperspektif. Hal itu bisa terjadi karena kadar literasi rata-rata pemilih yang masih rendah sehingga tak menolong terhadap peningkatan kualitas pilihan," tuturnya. []