Pemilu 2024 Gelanggang Adu Ide dan Gagasan, Bukan Hoaks dan Ujaran Kebencian Lagi

Pemilu 2024 menjadi gelanggang pertarungan ide dan gagasan bukan lagi hoaks dan ujaran kebencian karena SARA.
Diskusi mengenai Pemilu 2024.

TAGAR.id, Jakarta - Direktur eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR), Hari Purwanto menilai Pemilu 2024 menjadi gelanggang pertarungan ide dan gagasan bukan lagi hoaks dan ujaran kebencian karena SARA.

"Di medsos atau media saya kira sudah bukan soal hoaks tapi case capras cawapres, lalu soal visi misi dan program," kata Hari dalam diskusi publik 'Ancaman Polarisasi dan Ujaran Kebencian: Bermuatan SARA di ruang digital di tahun politik' yang diselenggarakan di Omah Kopi 45, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa, 31 Oktober 2023.

Hal ini karena terpengaruh oleh kondisi pemilih saat ini yang didominasi oleh generasi milenial dan GEN Z. Sebab mereka lebih suka berpolitik secara riang gembira, bukan lagi romantisme isu suku, ras, agama dan antar golongan.

"Itu adalah pintu awal bagaimana Gen Z dan milenial bisa melihat capres cawapres untuk memperlihatkan programnya ke depan," ujarnya.

Menurutnya, situasi itu membuat demokrasi di Indonesia cenderung semakin positif, sebab persaingan benar-benar dilakukan dengan sehat karena mengedepankan program kerja, ide, gagasan dan visi misi jelas.

"Inilah kedewasaan demokrasi. Jadi demokrasi memang harus lebih positif bukan negatif, dimana persaingan politik soal gagasan dan ide," tegasnya.

Ketum Forum Masyarakat Cinta Bangsa (FMCB), Sayuti menyampaikan yang paling utama dari Pemilu 2024 sejatinya bukan soal siapa Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih, akan tetapi bagaimana memastikan perbedaan pilihan politik tidak membuat masyarakat Indonesia terpecah-belah.

"Makanya kita dari kelompok masyarakat menjaga bangsa ini, siapapun Presidennya, bodo amat. Tapi bagaimana persatuan dan kesatuan itu yang utama," kata Suyuti.

Berdasarkan pengalaman di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu, serta Pilpres 2019, polarisasi antar masyarakat telah membuat ekosistem berbangsa dan bernegara rusak parah.

Sebab, di dua momentum pemilu itu, pertarungan SARA lebih dominan ketimbang ide gagasan maupun visi misi. "Karena efek dari SARA ini susah kita bereskan," tegasnya.

Ditegaskannya, perbedaan politik di pemilu sebelumnya sampai ada yang membuat suami istri bercerah dan antar keluarga saling bermusuhan. Fanatisme politik yang dicampur-adukkan dengan isu SARA membuat banyak orang sulit berpikir dewasa.

"Politik pakai isu SARA dan identitas itu merusak tatanan keluarga, tetangga. Bahkan di Pilkada 2017 ada yang cerai lho di DKI. Makanya kita buat gerakan yang tujuannya untuk siapapun presidennya, maka kita harus pastikan persatuan dan kesatuan bangsa tetap terjaga," ujarnya.

Oleh sebab itu, kata dia, kedewasaan dalam berpolitik sangat penting dilakukan di Pemilu 2024 nanti. Politik harus dilakukan secara elegan dengan mengedepankan ide dan gagasan, bukan lagi sentimen rasial yang berpotensi besar merusak tatanan sosial.

Ketua Umum Relawan PRABU, Arvindo Noviar, mengatakan polarisasi terhadap Pemilu 2024 kurang efektif. Sebab, pemilih sekarang lebih didominasi oleh kalangan generasi milenial dan generasi Z yang cenderung lebih rasional dan suka dengan politik riang gembira.

"Polarisasi sudah berkurang, grass root sudah mulai gembira karena ruang publik sudah diisi oleh anak-anak muda. Akses semua sudah semakin luas dan tidak terlalu konservatif, karena pemuda lebih suka berpolitik riang gembira ketimbang senior-senior itu," kata Arvindo.

Meski begitu, pertarungan ide dan gagasan jelas akan tetap terjadi, sebab walaupun politik riang gembira, anak-anak muda Indonesia masih tetap suka dengan dialektika yang keras.

"Terjadi benturan pemikiran, diskusi yang keras nggak apa-apa, itu kan keniscayaan dalam ruang demokrasi. Tapi, akses pengetahuan yang terdigitalisasi, orang-orang terdewasakan secara alamiah, karena informasi semakin luas dan mudah didapat, bukan dari elite saja," ujarnya.

Dirinya merasa bersyukur dalam Pilpres 2024 terdapat 3 (tiga) pasangan calon, yakni Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Rasyid Baswedan. Sehingga polarisasi itu cenderung bisa tereduksi.

"Semesta mendukung membuat pemilu Indonesia menjadi 3 pasang, rasa-rasanya kok posisi diametralnya tidak terlalu ketat, ada ruang elaborasi," ujarnya.

Ditambah lagi, jika dilirik dari isu rasial pun tampaknya tak cukup kuat, sebab nyaris ketiga paslon memiliki latar belakang yang hampir sama, baik dari suku maupun agama. Sehingga ia yakin pertarungan tinggal berada pada gagasan saja.

"Capresnya kan sama-sama dari Jawa, agamanya Islam, tapi kalau untuk isu SARA didramatisasi, buat kalangan gen Z dan milenial nggak laku. Anak muda itu seneng bicara hilirisasi, digitalisasi dan sebagainya," pungkasnya.[]

Berita terkait
Hoaks Invasi WN China Ikutan Pemilu Bisa Rusak Proses Demokrasi Pilpres 2024
Informasi hoaks ini menciptakan disinformasi yang dapat merusak persatuan bangsa di tahun politik.
Pemilu 2024 dan Peran Media Sosial dalam Kampanye Politik
Pemilihan umum merupakan inti demokrasi, dan dengan munculnya era digital, peran media sosial dalam kampanye politik semakin signifikan.
Gerindra Ungkap PSI Akan Deklarasi Prabowo sebagai Bakal Capres di Pemilu 2024
Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menyebut, Partai Solidaritas Indonesia atau PSI akan melakukan deklarasi dukungan ke Prabowo.
0
Pemilu 2024 Gelanggang Adu Ide dan Gagasan, Bukan Hoaks dan Ujaran Kebencian Lagi
Pemilu 2024 menjadi gelanggang pertarungan ide dan gagasan bukan lagi hoaks dan ujaran kebencian karena SARA.