Pemerintah Tak Becus Mengurus Konflik Pertambangan di Konawe

Pemicu aksi rusuh pekerja pertambangan di Konawe, Sulteng, pemerintah gagal mengelola relasi antara pihak dengan baik.
Aksi demonstrasi disertai pembakaran oleh buruh PT Virtue Dragon Nickel Industry di Morosi, Konawe, Sulteng. Puluhan kendaraan dump truk dan alat berat ikut terbakar, 14 Desember 2020. (Foto: Dok.telisik.id)

Jakarta - Peristiwa aksi unjuk rasa rusuh oleh serikat pekerja ke perusahaan milik PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, yang menuntut pengangkatan karyawan mendapat perhatian dari pengamat pertambangan dan lingkungan, Dr Jannus TH Siahaan.

Diketahui, aksi massa yang merupakan pekerja smelter sampai melakukan pembakaran fasilitas milik perusahaan. Kepolisian setempat mengakui adanya aksi berujung rusuh tersebut.

Menurut Jannus, pemerintah sangat perlu memberikan atensi pada peristiwa ini. Karena ternyata masih ada persoalan krusial yang belum selesai di dalam Omnibus Law yang bisa berujung buruk pada prospek investasi pertambangan di Sulawesi khususnya, dan di Indonesia pada umumnya.

Dia menyarankan, perlu tim khusus yang bertugas mengevaluasi persoalan relasi perusahaan tambang dengan para pekerja secara langsung ke lapangan.

Selain untuk merumuskan pendekatan baru yang lebih diterima oleh semua pihak, tim juga bisa sekaligus bertugas untuk segera membangun rekonsiliasi antara manajemen perusahaan, investor, pekerja, dan masyarakat setempat.

"Tentu jika ada pelanggaran hukum dan tindakan kriminal di balik peristiwa tersebut harus diusut tuntas," kata Jannus dalam keterangan tertulis diterima Tagar, Jumat, 18 Desember 2020.

Hanya saja, kata Jannus, perkaranya bukan semata itu, tetapi lebih kepada konstruksi relasi antara para pihak yang belum saling menguntungkan. 

Tidak berarti jika Jakarta sudah oke maka urusan beres dan investor bisa seenaknya di daerah.

Semua pihak harus diajak duduk bersama, dijabarkan konsesi-konsesi yang pantas untuk semua pihak yang berkepentingan, terutama teehadap pekerja.

"Jangan sampai setelah pengesahan UU Omnibus Law hubungan industrial dimaknai oleh para investor hanya sebatas hubungan dengan Jakarta," katanya mengingatkan.

Dikatakannya, peristiwa di PT VDNI bukan kejadian pertama. Peristiwa serupa sering di kawasan industri tambang di Sulawesi. 

Kesannya negara tidak hadir di unit bisnis tersebut sehingga kejadian berulang.

"Jadi pemerintah memang sangat perlu duduk bersama dengan semua pihak. Apalagi, nikel adalah salah satu komoditas andalan masa depan Indonesia yang memiliki nilai ekonomi dan nilai geopolitik," ujarnya.

Jannus menegaskan, pemerintah harus benar-benar jelas soal pertambangan nikel. 

Sejauh ini, negara tidak pernah serius dan kritis dalam berpikir untuk memitigasi persoalan di sektor pertambangan khususnya terkait isu lingkungan dan isu sosial

Tidak hanya mengundang sebanyak-banyaknya investor, lalu membiarkan mereka berjibaku dengan segala urusan yang muncul di lapangan.

Posisi pemerintah kata dia, harus jelas. Jika ingin memberi prioritas pada sektor pertambangan nikel ini, maka urusan investasi di komoditas nikel harus clear dari hulu sampai hilir, jika tidak, hal yang sama akan terus terulang.

Pria yang juga pernah berkecimpung lama di industri pertambangan ini menyebut, 5-10 tahun terakhir elite memang terlihat semakin menyadari bahwa isu pertambangan bukan sebatas terkait resource nikel cukup tersedia atau tidak.

"Tapi juga ada isu lain, yakni isu lingkungan dan sosial," tukasnya.

Hal positif dengan telah munculnya kesadaran pemerintah terkait isu sosial dan lingkungan, namun tentang bagaimana pemerintah mengelola industri pertambangan sepertinya belum memiliki desain yang bener dan aplikatif di lapangan.

Yang dilakukan pemerintah selama ini, menurut dia, hanya sebatas profiling tambang nikel dari sisi wilayah SDA-nya, ada tidaknya lembaga pendidikan yang bisa menyuplai SDM di sektor pertambangan, dan perkiraan jumlah cadangan SDA.

"Dalam pandangan saya, semua isu itu sudah diketahui sejak lama oleh investor. Dan saat ini yang semakin menguat justru kepedulian pasar terhadap isu lingkungan dan sosial terkait produk industri ekstraktif," ungkapnya.

Sayangnya, sambung Jannus, negara justru masih belum sukses hadir terkait kedua isu tersebut. 

Negara terkesan justru lepas tangan, dibiarkan saja jika ada konflik menyangkut isu lingkungan dan sosial dibenturkan antara korporasi dengan masyarakat.

Padahal jika terjadi bakar-bakaran seperti kerusuhan di PT VDNI Konawe, sumber soalnya adalah isu sosial yang notabene tak diurus negara.

"Sejauh ini, negara tidak pernah serius dan kritis dalam berpikir untuk memitigasi persoalan di sektor pertambangan khususnya terkait isu lingkungan dan isu sosial. Belum lagi fakta lainnya, yaitu ketat saat memberikan izin namun justru longgar bahkan tidak mengawasi implementasi izin yang telah dikeluarkan. Isu yang menjadi konsumsi publik, izin setelah didapat perusahaan menjadi ruang negosiasi informal yang ilegal," tandasnya.[]

Berita terkait
Pemprov Aceh Diminta Tutup Pertambangan Emas Ilegal
Pemerintah diminta segera untuk menutup pertambangan emas ilegal di Kabupaten Aceh Barat.
Bos Pertambangan Rio Tinto Mundur Gegara Isu Aborigin
Bos perusahaan pertambangan, Rio Tinto, Jean Sebastien Jacques menyatakan mundur menyusul kritik atas penghancuran situs suci Aborigin.
Politisi PKS Soroti Soal Pertambangan di RUU Omnibus Law
Politisi PKS, Saadiah Uluputty menyoroti pembahasan RUU Omnibu Law Cipta Kerja yang dinilai kontroversi.
0
5 Hal yang Perlu Diperhatikan Sebelum Membeli Hunian di Sentul
Selain Bekasi dan Tangerang Selatan, Bogor menjadi kota incaran para pemburu hunian di sekitar Jakarta. Simak 5 hal ini yang perlu diperhatikan.