Pelanggar Kebijakan Lockdown Bisa Diganjar Penjara

Apabila pemerintah pusat menerapkan kebijakan lockdown ada yang melanggarnya apakah bisa dijerat hukum dengan ancaman penjara?
Penyemprotan disinfektan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jakarta. (Foto: Antara/Nova Wahyudi)

Jakarta - Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar mengatakan pelanggar social distancing dalam upaya menekan penyebaran virus corona atau Covid-19 di Indonesia tidak dapat dijerat hukum dengan ancaman penjara. Namun, hal berbeda apabila pemerintah pusat menerapkan kebijakan lockdown.

Kalau social distancing itu sukarela, tidak ada ancaman hukumannya.

Fickar menjelaskan kebijakan social distancing hanya sebatas imbauan, sehingga pelanggarnya tidak dapat dipidanakan. Berbeda ketika pemerintah menerapkan lockdown yang menurutnya tertuang di Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

"Karantina itu persamaannya dengan lockdown. Kalau social distancing itu sukarela, tidak ada ancaman hukumannya. Social distancing itu imbauan tidak berkumpul, karena itu kerja di rumah, ibadah di rumah," ujar Fickar kepada Tagar, Jumat, 20 Maret 2020.

Baca juga: Bisakah Jenazah Positif Corona Menularkan Virus?

Dia menuturkan Pasal 1 Angka 10 UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan berarti pembatasan penduduk dalam suatu wilayah, termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.

"Ancaman pidana, Pasal 93: setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100 juta," ucap dia.

Fickar melanjutkan, apabila pemerintah telah menetapkan kebijakan lockdown di suatu daerah, maka harus ada pemasangan garis pembatas semacam police line untuk mengatur masyarakat agar tidak melanggar hukum.

"Itu ada di Pasal 54 Ayat (2) UU Karantina Kesehatan, wilayah yang dikarantina harus diberi garis karantina dan dijaga secara terus menerus oleh pejabat Karantina Kesehatan dan Kepolisian yang berada di luar wilayah karantina. Serta anggota masyarakat yang dikarantina tidak boleh keluar dari wilayah karantina," kata Fickar.

Diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah membuat kebijakan beraktivitas produktif di rumah guna menekan penyebaran virus corona. Hal itu disampaikannya dalam konferensi pers di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin, 16 Maret 2020 lalu.

"Kebijakan belajar dari rumah, bekerja dari rumah, dan ibadah di rumah perlu terus digencarkan untuk mengurangi pengurangan penyebaran Covid-19," ujar Jokowi.

Pemerintah juga telah menetapkan status bencana nasional non-alam terkait Covid-19. Terbaru, Jokowi menginstruksikan tim satuan gugus tugas Covid-19 melakukan tes massal atau rapid test virus corona di seluruh Indonesia.

"Segera lakukan rapid test dengan cakupan yang lebih besar agar deteksi dini kemungkinan indikasi awal seorang terpapar Covid-19 bisa kita lakukan," ujar Jokowi dalam rapat terbatas melalui telekonferensi video dari Istana Merdeka, Jakarta, Kamis, 19 Maret 2020. []

Berita terkait
Jokowi: Rapid Test Corona Sudah Dimulai Saat Ini
Presiden Jokowi mengatakan tes massal (rapid test) virus corona sudah dimulai sekarang, Jumat, 20 Maret 2020.
Demokrat Desak Jokowi Lockdown Kota Terdampak Corona
Partai Demokrat mendesak Pemerintah Jokowi menerapkan lockdown terhadap kota-kota yang terkena dampak virus corona paling tinggi di Indonesia.
Salat Jumat di Kantor Presiden Jokowi Ditiadakan
Lingkungan kantor Presiden Jokowi tidak menyelenggarakan salat Jumat pada hari ini.
0
LaNyalla Minta Pemerintah Serius Berantas Pungli
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, meminta pemerintah serius memberantas pungutan liar (pungli). Simak ulasannya berikut ini.