Pejuang Era Penjajahan Gowa Rayakan HUT RI Lebih Awal

Kelompok pejuang era penjajahan di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan merayakan upacara peringatan HUT ke-75 RI lebih awal. Ini alasannya.
Upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-75 Republik Indonesia Gaukang Tu Bajeng di Gowa Sulawesi Selatan. (Foto: Tagar/ist).

Gowa - Salah satu kelompok pejuang era penjajahan di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan merayakan upacara peringatan HUT ke-75 RI lebih awal. Kelompok itu diberi nama Keluarga Tu Bajeng. Dimana setiap tahun memperingati HUT RI Gaukang Tu Bajeng setiap tanggal 14 Agustus 2020.

Peringatan HUT RI ditandai dengan upacara pengibaran bendera merah putih di halaman Balla Lompoa Bajeng, Rabu 14 Agustus 2020. Sangsaka merah putih dikibarkan bersamaan dengan bendera Jole-jolea, sebuah bendera yang menyimbolkan peperangan terhadap penjajah.

Ketika itu kabar kekalahan Jepang dari tentara sekutu telah diketahui oleh masyarakat setempat di Bajeng.

Perayaan HUT RI Gaukang Tu Bajeng memang dilakukan lebih awal dengan alasan, Tu Bajeng pada masa penjajahan belanda telah menerima informasi pada 14 Agustus, bahwa penjajah Jepang telah kalah.

Baca Juga: 12 Tokoh Proklamasi di Hari Kemerdekaan Indonesia

Hal itu dikisahkan oleh anggota Keluarga Besar Tu Bajeng, Ahmad Pidris Zain. Menurutnya, masyarakat setempat memang selalu memperingati tanggal 14 Agustus sebagai hari bersejarah. Hal itu bermula pada tanggal yang sama, tahun 1945 silam.

"Ketika itu kabar kekalahan Jepang dari tentara sekutu telah diketahui oleh masyarakat setempat di Bajeng. Kabar itu disampaikan oleh seorang tentara perwira pendudukan Jepang bernama Fukushima kepada masyarakat adat di Bajeng. Fukushima memprakarsai ke pemuda, bahwa kibarkan bendara merah putih, karena Jepang kalah," kata Pidris, Minggu 16 Agustus 2020.

Meski warga di Bajeng telah mengibarkan sangsaka merah putih, tapi reaksi Tu Bajeng langsung siap siaga terhadap peperangan setelah menerima informasi kekalahan Belanda.

Hal itu dilakuan lantaran khawatir tentara sekutu Belanda berniat kembali untuk masuk dan menjajah Indonesia, termasuk Bajeng.

"Saat itu, para pemuda Bajeng menanggapinya dengan kesiap siagaan perang, yang ditandai dengan pengibaran bendera Jole-jolea," ungkapnya.

Laskar Lipan Bajeng melebur dengan LAPRIS pada Desember 1945. Organisasi ini dikenal sebagai kelompok pemuda yang mempertahankan kemerdekaan pasca Proklamasi.

Pidris melanjutkan, kehadiran tentara Pendudukan Jepang jauh berbeda dengan Belanda. Jepang dinilai kooperatif dan tidak berseteru dengan masyarakat Bajeng. Jepang menggantikan kedudukan Belanda di tanah air sejak tahun 1942. Atau tiga tahun sebelum kemerdekaan Indonesia.

"Jepang itu kooperatif, dia tidak berseteru dengan pemuda di Bajeng," katanya.

Baca juga: Rakyat Indonesia Wajib Rasakan Nikmat Kemerdekaan

Diapun menceritakan bahwa nama Tu Bajeng adalah kelompok pejuang era penjajahan yang namanya telah beberapa kali berubah. Pidris menceritakan, masyarakat Bajeng memiliki semangat perjuanganan.

Mereka menolak tunduk kepada penjajah. Spirit perjuangan itu diawali ketika kelompok Muhammadiyah masuk ke Bajeng pada tahun 1930.

Kelompok itu dipimpin tiga pemuda yang kemudian menggagas kelompok perjuangan. Namanya "Pemuda Muhammadiyah Bajeng". Kelompok ini bergerak apabila Belanda mencoba masuk ke Bajeng.

Satu dari tiga pemuda yang mengagas organisasi ini adalah Muhammad Zain Daeng Beta yang tak lain adalah ayah kandung Pidris (1909-1997).

Namun pada proses perjuangan, pada tahun 1936, Daeng Beta mengusulkan perubahan nama menjadi "Gerakan Muda Bajeng". Tugasnya masih sama yakni organisasi ini bergerak masih dalam pemberontakan kepada penjajah Belanda.

"Jadi peran organisasi ini menghadang dan bergerilya dengan Belanda, melalui operasi senyap. Pada tahun 1938, jumlah anggota kelompok ini kian bertambah yang ditandai bergabungnya pemuda Takalar dan Bantaeng," ungkap Pidris.

Menurutnya, ada puluhan pemuda ketika itu yang dipimpin oleh tujuh pemuda. Kelompok ini kemudian berubah nama menjadi "Laskar Lipan Bajeng". Laskar ini melakukan perlawan kepada Belanda sampai masuk Jepang, atau pada tahun 1938 hingga 1942.

"Hingga akhirnya, ketika Jepang menyerah kepada sekutu, masyarakat Tu Bajeng memprakarsai peperangan. Laskar Lipan Bajeng bersiap siaga apabila Belanda mencoba masuk kembali ke Bajeng. Laskar Lipan Bajeng ini hanya memakai peralatan perang tradisional, yakni Badik, tombak, dan parang," kisah Pidris.

Baca juga: Perubahan Upacara HUT Kemerdekaan RI di Bantaeng

Sejumlah pemuda juga disebutkan memiliki beberapa senjata api hasil rampasan dari tentara Belanda ketika itu. Meski demikian, kata Pidris, Laskar Lipan Bajeng tetap berani tak gentar melawan penjajah. Ketika hendak pergi ke medan perang, mereka terlebih dahulu mandi.

"Mereka mandi pada sebuah sumur di Bajeng. Sumur itu dinamakan Bungung Barania, yakni sumur para pemberani. Masyarakat meyakini, mandi di sumur itu akan memberikan keberanian dan kekebalan," tandasnya.

Dalam pergerakan mempertahankan kemerdekaan usai Proklamasi, Laskar Lipang Bajeng bergabung pasa organisasi yang dipimpin oleh Ranggong Daeng Romo. Namanya Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS).

"Laskar Lipan Bajeng melebur dengan LAPRIS pada Desember 1945. Organisasi ini dikenal sebagai kelompok pemuda yang mempertahankan kemerdekaan pasca Proklamasi," katanya. []

Berita terkait
Ruben Onsu Gelar Sendiri Lomba HUT RI di Rumah
Artis Ruben Onsu mengaku bakal menggelar sendiri ajang lomba untuk anak-anaknya di rumah demi memeriahkan perayaan HUT ke 75 Republik Indonesia.
Naskah Asli Proklamasi Ditampilkan saat HUT ke-75 RI
Naskah asli Proklamasi akan ditampilkan di mimbar kehormatan saat upacara kemerdekaan di halaman Istana Merdeka, pada 17 Agustus 2020.
HUT ke-75 RI, Momen Bangkitkan Korporasi Tanaman Pangan
Peringatan HUT ke-75 RI merupakan momentum untuk membangkitkan sektor pertanian sebagai garda terdepan pertahanan negara.
0
David Beckham Refleksikan Perjalanannya Jadi Pahlawan untuk Inggris
David Beckham juga punya tips untuk pesepakbola muda, mengajak mereka untuk menikmati momen sebelum berlalu