Jakarta - Politisi Kapitra Ampera menilai sosok Ketua DPR RI Puan Maharani sudah terkenal sampai ke pelosok Indonesia sehingga tak perlu menggunakan baliho. Maraknya baliho Puan adalah aspirasi dari para kadeo PDI Perjuangan.
"Itu inisiatif dari kader, dari bawah, bottom up, kan ibu Puan juga udah dikenal kok di seluruh Indonesia ini. Gak perlu pakai baliho juga dikenal," kata Kapitra Ampera di kanal Youtube tvOneNews, Rabu, 11 Agustus 2021.
"Tapi (pemasangan ini) inisiatif, bahasa-bahasa di baliho itu kan bahasa-bahasa yang sangat harmonis," ujarnya.
Kapitra Ampera mengatakan bahwa inisiatif seperti pemasangan baliho tidak dibuat untuk melanggar konstitusi partai, sehingga tidak menjadi suatu masalah.
"Ini namanya inisiatif, dan inisiatif yang dibuat itu bukan melanggar konstitusi partai. Jadi gak ada yang salah, yang salah itu adalah orang yang menilainya dengan kacamata subjektif, dengan kedangkalan berpikir," ujarnya.
"Sekarang begini, apakah dengan ada pandemi itu, semua hak-hak politik manusia dirampas? Pandemi itu sudah diatasi oleh eksekutif, dan legislatif kerja mengawasi eksekutif, bagaimana pandemi ini diatasi," katanya.
Kapitra Ampera menambahkan bahwa meski berada di dalam penanganan pandemi Covid-19, hak politik seseorang secara personal tidak boleh dirampas.
Cuma karena kita melihat dalam aspek banality of political, kedangkalan berpolitik, semua itu dianggap suatu permasalahan yang dipertentangkan menjadi suatu konflik dan polemik.
"Tapi ada hak-hak personal yang melekat ya, yang juga tidak boleh dirampas," ucapnya.
Selain itu, Kapitra Ampera menekankan bahwa pemasangan baliho tersebut justru membuka lapangan kerja baru di tengah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) saat ini.
Sehingga, pemasangan baliho, termasuk baliho Puan Maharani pun dinilai memberikan manfaat kepada orang lain.
"Kedua, kalau baliho itu dibuat, itu kan ada lapangan kerja baru dalam masa PPKM ini ya, itu UKM kan hidup jadinya. Jadi ada cross-job namanya ya, sehingga semua itu punya kemanfaatan," tutur Kapitra Ampera.
Akan tetapi, sebagian masyarakat hanya melihat dalam aspek kedangkalan politik, sehingga semua itu dianggap sebagai permasalahan.
"Cuma karena kita melihat dalam aspek banality of political, kedangkalan berpolitik, semua itu dianggap suatu permasalahan yang dipertentangkan menjadi suatu konflik dan polemik," ujar Kapitra Ampera. []
Baca Juga: Puan: Kita Rayakan dengan Penuh Rasa Syukur dengan Hijrah