Payokumbuah Botuang Festival 2017 Bangkitkan Warga Berkebudayaan

Payokumbuah Botuang Festival 2017 bangkitkan warga berkebudayaan dengan melibatkan masyarakat sebagai peserta aktif pada 26 November hingga 2 Desember 2017.
PAYAKUMBUH BOTUANG FESTIVAL: Pemerintah Provinsi Sumatera Barat siap menggelar “Payakumbuh Botuang Festival”. yang dijadwalkan akan berlangsung pada 26 November hingga 2 Desember 2017. Menurut salah seorang penggagas, Iyut Fitra, “Payakumbuh Botuang Festival” dibagi dalam dua rangkaian acara. Pertama, Payakumbuh Street Pada 26-28 November, kedua pertunjukan kontemporer pada 1-2 Desember. (Gambar: Ist)

Payakumbuh, (Tagar 10/11/2017) - Kegiatan budaya bertajuk "Payokumbuah Botuang Festival (PBF) 2017" digagas sejumlah seniman asal Kota Payakumbuh, Sumatera Barat (Sumbar) dengan melibatkan masyarakat sebagai peserta aktif pada 26 November hingga 2 Desember 2017.

Dr Yusril salah seorang kurator festival mengatakan, dalam kegiatan ini masyarakat tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga sebagai peserta, terutama mereka yang setiap hari dalam kehidupannya bersinggungan dengan bambu, baik sebagai seniman maupun pengrajin.

Ia mengatakan, Masyarakat Payakumbuh secara budaya sudah akrab dengan bambu. Sebagian besar kesenian dari daerah ini seperti saluang, sampelong, sirompak juga terbuat dari bambu, bahkan ada talempong (alat musik khas Minangkabau yang biasanya berbahan logam) yang dibuat dari bambu.

“Bambu sangat akrab dalam kehidupan mereka, sampai-sampai sejumlah nama daerah di Kota itu juga menggunakan nama bambu seperti Parak Botuang, Subarang Botuang, dan Aua (jenis bambu) Kuniang,” jelasnya.

Sekitar 40 persen masyarakat Nagari Aur Kuning berprofesi sebagai pengrajin bambu. Tetapi anehnya saat ini, tanaman bambu mulai sulit didapatkan di daerah itu dan bahan baku harus dibeli dari daerah lain.

"Keunikan ini membuat panitia memutuskan mengambil bambu dengan dialek lokal, Botuang sebagai judul kegiatan, karena benar-benar memiliki kedekatan secara emosional dengan masyarakat," kata Yusril didampingi kurator lainnya, S Metron, Kepala UPTD Taman Budaya Dinas Kebudayaan Sumbar, Muasri, dan perwakilan Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kota Payakumbuh, AR Rahman.

Tak hanya sebagai nama, tapi seluruh kegiatan yang digelar dalam festival itu hampir semuanya bersinggungan dengan bambu.

Secara umum PBF 2017 dibagi tiga bagian, pertama berkaitan dengan kuliner yang menyajikan banyak masakan berbahan bambu seperti rebung. Kedua, street festival yang memberi ruang dan mengakomodasi seniman untuk mempertunjukkan pembacaannya tentang seni dan budaya, tidak terkecuali budaya urban, dan ketiga berkaitan dengan bambu seperti pameran instalasi dari bambu dan work shop.

Tempat pelaksanaan juga dibagi dua, pertama di Ampangan, sekitar Nagari Aur Kuning yang menyajikan pemandangan alam yang luar biasa. Kemudian di Jembatan Ratapan Ibu, salah satu tempat bersejarah di Payakumbuh.

Sekitar 11 kelompok kesenian dari berbagai daerah seperti Riau, Bandung, Bali, dan Yogyakarta telah menyatakan hadir dalam acara tersebut. Termasuk sejumlah peninjau dari luar negeri.

Sejumlah ahli di bidang bambu, seperti Doktor bidang arsitektur bambu dari ITB dinantikan kehadirannya dalam kegiatan tersebut.

Kurator PBF 2017 S Metron mengatakan, peninjau yang sudah menyatakan hadir tidak saja dari provinsi dari luar Sumbar, tetapi juga dari luar negeri seperti Thailand, New Zealand, dan Australia.

Jumlah peninjau tersebut kemungkinan bisa terus bertambah hingga hari pelaksanaan. Namun panitia berkomitmen melakukan verifikasi yang ketat terhadap pihak-pihak yang mengajukan diri sebagai peninjau.

Menurut Metron, kehadiran para peninjau menjadi salah satu faktor terpenting dalam festival budaya seperti PBF 2017. Tidak saja untuk menyebarluaskan kekuatan dan keunikan serta kelayakan festival yang digelar, tetapi juga penting untuk mengangkat nama dan pamor seniman yang tampil, karena lewat merekalah nanti PBF akan dikenal dunia, selain liputan media.

Penyelenggara berharap mereka merespon positif PBF 2017 yang baru pertama digelar ini agar pelaksanaannya bisa terus berkelanjutan sebagai agenda budaya tahunan masyarakat.

Festival budaya itu diarahkan bukan sebagai milik pemerintah, tetapi benar-benar mengakar dalam masyarakat.

Setelah budaya itu benar-benar hidup dan dirasakan manfaatnya, seniman dan budayawan pelopor, bisa menyerahkan pelaksanaannya nanti pada masyarakar Aur Kuning dan Payakumbuh secara umum.

Festival itu nantinya adalah dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat itu sendiri.

Sementara sinkronisasinya dengan paradigma parawisata yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke Sumbar, Metron mengatakan, itu adalah target jangka panjang, setelah festival yang digelar itu benar-benar "matang".

Kematangan itu, menurut dia, hanya bisa didapatkan dari proses panjang yang berkelanjutan, bukan secara instan.

Karena itu untuk jangka pendek, Payokumbuh Botuang Festival 2017 sepenuhnya diarahkan untuk menghidupkan budaya "Botuang" di tengah-tengah masyarakat Payakumbuh, tanpa memikirkan apakah itu akan menarik minat wisatawan atau tidak.

Namun, nanti setelah festival budaya itu "matang, diyakini ajang tersebut akan menjadi magnet luar biasa bagi wisatawan untuk datang ke Sumbar.

Merangsang Daerah

Kepala UPTD Taman Budaya Dinas Kebudayaan Sumbar Muasri mengatakan, PBF secara administrasi merupakan kegiatan provinsi, tetapi secara teknis dilaksanakan semua oleh seniman dan masyarakat Payakumbuh.

Gagasan dari seniman Payakumbuh itu semula dibawa oleh Anggota DPRD Sumbar, Supardi ke Dinas Kebudayaan dan mendapatkan tanggapan positif.

Panitia mengaku tidak ingin festival ini dicap sebagai festival plat merah, karena itu pelaksanaan dan konsepnya benar-benar diserahkan pada seniman, budayawan dan masyarakat setempat. Sementara pemerintah hanya sebagai fasilitator.

PBF 2017 akan merangsang daerah lain di Sumbar untuk menghidupkan budaya yang berasal dari kearifan lokal dalam bentuk festival atau kegiatan lain yang digarap secara profesional.

Pelaksanaan acara kebudayaan diharapkan tidak terjebak pada situasi menjadi "festival saremonial" belaka sehingga Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid mengingatkan agar semua kegiatan kebudayaan yang dilaksanakan pemerintah harus melibatkan secara aktif budayawan, seniman, dan masyarakat.

Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri sebagai penyelenggara festival karena hasilnya tidak akan maksimal dan tidak mengakar di tengah masyarakat.

Campur tangan pemerintah yang terlalu jauh dalam melaksanakan kegiatan kebudayaan seringkali membuat kegiatan itu dicap sebagai acara "plat merah" yang tidak memberikan keuntungan apa-apa bagi masyarakat.

Menyitir ucapan Dirjen Kebudayaan, kegiatan seperti itu biasanya kering ide dan terkesan hanya saremonial untuk menghabiskan anggaran yang tersedia, suatu kesan yang harus dihindari dalam kegiatan di Sumbar. (ant/yps)

Berita terkait
0
David Beckham Refleksikan Perjalanannya Jadi Pahlawan untuk Inggris
David Beckham juga punya tips untuk pesepakbola muda, mengajak mereka untuk menikmati momen sebelum berlalu