Pakar Desak MK Tinjau Ulang Presidential Threshold

"Masak 186 juta pemilih hanya disodori dua nama pasang calon pemimpinnya," kata Feri Amsari.
Mahasiswa yang tergabung dalam BEM KM Unand berorasi saat unjuk rasa di depan gedung DPRD Sumatera Barat, di Padang, Kamis (9/8/2018). Mereka menolak ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) karena dinilai menutup peluang anak bangsa untuk menjadi presiden. (Foto: Ant/Iggoy el Fitra)

Jakarta, (Tagar 20/9/2018) – Lantaran dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 45, sejumlah pakar hukum mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) untuk tetap meninjau kembali ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold (PT) 20 persen seperti yang berlaku saat ini.

Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Adat Indonesia (APHA) Doktor Laksanto Utomo mengingatkan MK bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi berhak menentukan orang-orang yang dianggap sebagai bakal calon presiden dan wakil presiden. Hak-hak dasar rakyat itu telah ditegaskan dan dijamin oleh UUD 1945.

Dalam diskusi yang membahas presidential threshold yang dihadiri beberapa pakar hukum dan pakar politik, Laksanto Utomo mengingatkan, di berbagai negara yang disebut-sebut sebagai jagoan atau kampiun demokrasi, tidak ada ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.

"Mengapa justru di Indonesia yang akan melakukan pemilu serentak justru dibuat aturan atau kerangka acuan yang baru?" kata Laksanto Utomo di Jakarta, Kamis (20/9).

Sementara itu, seorang peneliti dari Perludem yang merupakan lembaga pengkajian di bidang pemilihan umum, Fadli Ramadhamil juga melontarkan keheranannya bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden pada tanggal 17 April 2019 hanya menghasilkan dua bakal calon presiden dan wakil presiden yaitu Joko Widodo-Ma'ruf Amien serta Prabowo Subianto-Sandaiaga Salahuddin Uno.

"Kok ada pembatasan akibat adanya presidential threshold," kata Fadli sambil mengingatkan bahwa di Tanah Air terdapat sekitar 186 juta calon pemilih pada tahun depan itu.

Dia curiga bahwa penetapan ambang batas kepresidenan itu antara lain disebabkan adanya keinginan beberapa partai politik besar yang ingin tetap saja mempertahankan kekuasaan mereka yang lebih dikenal istilah oligarki politik.

"Terlihat ada parpol-parpol yang mendukung ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden itu," kata Fadli.

Seperti diliris Antaranews, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Jakarta, Profesor Zaenal Arifin Hosein juga menegaskan bahwa UUD 1945 sama sekali tidak mengenal pembatasan seperti yang diatur dalam ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden itu.

"Putusan tentang presidential threshold itu tidak sejalan dengan UUD 45, sehingga Mahkamah Konstitusi harus meninjaunya kembali," kata profesor bidang hukum itu.

Para pakar itu pada dasarnya sepakat bahwa ketentuan tentang ambang batas pemilihan presiden itu dibuat dengan tujuan untuk memperkuat posisi politik beberapa partai besar yang mereka sepakati dengan istilah oligarki politik.

Seorang pakar dari Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Feri Amsari merasa aneh bahwa 186 juta calon pemilih di Tanah Air hanya bisa memilih satu di antara dua calon pemilih.

"Masak 186 juta pemilih hanya disodori dua nama pasang calon pemimpinnya," kata Feri Amsari sambil menyindir, "Pelit amat bangsa Indonesia ini".

Para pakar ini sangat mengharapkan agar Mahkamah Konstitusi betul-betul memikirkan aspirasi politik jutaan pemilih, terutama pada pilpres tahun 2024 sehingga tidak hanya memikirkan aspek hukum saja. []

Berita terkait
0
David Beckham Refleksikan Perjalanannya Jadi Pahlawan untuk Inggris
David Beckham juga punya tips untuk pesepakbola muda, mengajak mereka untuk menikmati momen sebelum berlalu