Pak Tua Penjual Peci yang Gagap Teknologi di Bekasi

Seorang pedagang peci di Bekasi mengaku telah puluhan tahun merantau. Pandemi membuat omzet dagangannya merosot drastis.
Oman, 62 tahun, duduk di teras Masjid Adz Dzikra, Bekasi, untuk menjual peci dan buku-buku islami. (Foto: Tagar/Faza Nidwana Ribhan)

Bekasi - Memasuki waktu Asar hari itu, Sabtu, 6 Februari 2021, awan berwarna kelabu membentang rata di langit. Genangan air bekas hujan beberapa waktu lalu masih membasahi jalan raya di sepanjang Jalan Galaxy, Bekasi Selatan.

Galaxy terkenal dengan tempat nongkrong anak muda. Gerai kopi tak terhitung jumlahnya. Berbagai jenis makanan terjual di daerah ini.

Meski matahari tak bersinar cerah, hari ini lokasi di sekitar tempat itu lebih ramai dari biasanya. Toko-toko membuka gerainya sambil menyambut pelanggan yang datang. Senyum ramah menghiasi wajah para penjaga toko.

Tidak jauh dari pertokoan, Masjid Adz-Dzikra berdiri megah. Masjid Adz Dzikra adalah salah satu masjid besar yang ada di Galaxy. Posisinya tepat di depan Mall Grand Galaxy Park. Suasana masjid yang hening berbanding terbalik dengan kesibukan yang terlihat di seberangnya.

Seorang juru parkir di sekitar lokasi mengatakan bahwa masjid tersebut sering digunakan sebagai tempat pengunjung mal menunaikan salat. Tapi, tak jarang mereka mendatangi masjid hanya untuk memarkir kendaraan yang digunakannya. Sebab biaya parkir di masjid lebih murah jika dibandingkan dengan biaya parkir di kawasan mal.

Pria Tua Penjual Peci

Di teras masjid terlihat seorang pria tua. Sebagian rambutnya sudah memutih. Peci bermotif loreng menutupi sebagian rambut Oman, nama pria tua itu. Kemejanya sudah lusuh. Masker wajahnya sudah melorot hingga ke dagu, sehingga sebagian giginya yang ompong terlihat jelas ketika ia berbicara. Tetapi semangat tetap terlihat pada wajahnya.

Oman duduk sambil meluruskan kakinya. Ia duduk tanpa alas, kain celana yang dikenakannya bersentuhan langsung dengan dinginnya ubin masjid. Wajah itu terlipat menunduk, membaca setiap kalimat di buku dengan sampul berwarna merah tersebut.

Sebenarnya, Oman itu sudah hafal tiap katanya. Mengetahui dengan betul isi dari bab selanjutnya. Namun, ia terus mengulang buku itu demi mengikis waktu.

Di hadapan Oman tergeletak sejumlah peci beraneka warna dan ukuran. Model pecinya pun ada beberapa jenis.

Oman adalah penjual peci yang menggelar dagangannya di kawasan Masjid Adz Dzikra. Dia menunggu para jemaah atau orang-orang yang singgah di masjid untuk membeli peci dagangannya. Tapi kini , sejak pandemi Covid-19, pembeli peci jualannya bisa dihitung dengan jari. Dalam sehari dia hanya bisa menjual beberapa peci.

Cerita Penjual Peci 2Oman, 62 tahun, duduk di teras Masjid Adz Dzikra, Bekasi, untuk menjual peci dan buku-buku islami. (Foto: Tagar/Faza Nidwana Ribhan)

Dalam sehari, ia hanya mendapatkan paling banyak dua pembeli. Tak jarang ia pulang dengan jumlah peci yang sama seperti saat berangkat berjualan. Sepinya jalan dan pemberlakuan PSBB di Bekasi membuat dagangan Oman semakin sepi pembeli. Awal pandemi lalu, Oman kembali ke kampung halamannya di Garut, Jawa Barat selama 4 bulan dan tidak berdagang.

Sehari paling banyak dua (pembeli), sering juga gak ada sama sekali.

Peci-peci yang dijualnya dibelinya di Pasar Tanah Abang. Peci-peci tersebut dijualnya dengan harga yang berbeda untuk tiap jenis dan ukurannya. Untuk peci tipis berbahan rajut yang kebanyakan berwarna putih, dijualnya dengan harga Rp 15.000, sementara jenis peci tebal berbahan beludru halus dengan jahitan motif berwarna merah atau biru dibanderol dengan harga Rp 75.000.

Selain peci, Oman juga menjual buku-buku bertema Islam, seperti bacaan doa, gerakan salat, iqra, dan berbagai macam buku lainnya yang biasanya dibaca oleh anak-anak. Buku yang sempat ia baca sebelumnya adalah buku jualannya. Selama membaca, ia terlihat sangat hati-hati saat membuka setiap halaman, agar buku itu tidak rusak dan masih bisa terjual.

Namun, ia hanya membawa sedikit buku bacaan untuk dijual, karena kaki dan bahunya tidak cukup kuat untuk membawa buku terlalu banyak dengan berjalan kaki.

Oman biasa berjualan sejak azan Zuhur hingga seusai waktu Isya. Setiap azan berkumandang, dia bergegas mengambil air wudhu untuk melaksanakan ibadah salat. Dia meninggalkan dagangannya begitu saja di teras masjid. Ia tidak pernah takut dan khawatir kehilangan barang dagangannya.

Pria berusia 62 tahun ini mengaku harus mencari nafkah untuk keluarganya yang terdiri dari seorang istri dan enam anak. Kata Oman, keenam anaknya tidak menempuh pendidikan yang layak. Dari keenam anaknya, hanya satu orang yang bersekolah hingga jenjang SMK, dan menjadi jenjang tertinggi dari pendidikan seluruh saudaranya.

Keterbatasan ekonomi yang membuat Oman tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang kuliah.

Dari keenam anaknya tersebut, tiga di antaranya sudah berkeluarga, sedangkan tiga lainnya masih lajang dan belum memiliki pekerjaan. Sehingga Oman harus tetap bekerja menjual peci dan buku-buku islami serta perlengkapan lain untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

46 Tahun Merantau

Oman meninggalkan kampung halamannya di Kabupaten Garut, Jawa Barat sejak tahun 1975. Awalnya dia merantau ke Jakarta, tepatnya di kawasan Tanah Abang. Tapi setelah 25 tahun berada di Jakarta Oman pindah ke Bekasi dan tetap melanjutkan pekerjaannya sebagai penjual peci serta buku-buku agama.

Sebelum berjualan secara menetap di Masjid Adz-Dzikra, Oman seringkali berpindah masjid untuk menjual barang dagangannya. Namun, kakinya sudah tidak sanggup melangkah lebih jauh dan akhirnya menetap untuk menjual di satu masjid.

“Kaki udah sakit, udah gak kuat kalau harus jalan jauh,” ucapnya sambil sedikit tertawa.

Selain menjual peci dan buku-buku, untuk menambah penghasilannya, Oman juga menjual kalender setiap kali pergantian tahun tiba. Dia menjual dagangannya dengan berjalan kaki, berkeliling menyusuri perumahan-perumahan maupun jalan raya dan gang-gang kecil.

Biasanya dia membutuhkan waktu selama dua bulan hingga kalendernya habis terjual. Setelah kalendernya habis, ia kembali lagi ke Masjid Adz-Dzikra untuk berjualan peci.

“Baru dua hari jualan peci lagi karena kalendernya baru habis. Kemarin belum ada yang beli (peci), hari ini baru satu,” ucap Oman lagi

Hari itu Oman juga membawa selembar kalender yang digulung rapi. Beberapa hari sebelumnya, salah satu pembelinya mengembalikan kalender dari Oman karena penempatan bulan yang tidak benar dan salah cetak. Oman membawa kalender baru dengan cetakan yang benar untuk diberikan kepada pembelinya tersebut. Namun sudah dua hari pembelinya tidak datang untuk mengambil kalender tersebut.

Saat Oman sedang asyik menceritakan perjalanan hidupnya, seorang anak kecil datang dan ingin menukar pecinya yang kekecilan. Oman menghentikan sejenak ceritanya, lalu dengan sigap mencari penggantinya. Beberapa hari lalu, Oman memberikan peci tersebut secara cuma-cuma kepada anak kecil yang merupakan seorang pedagang cemilan di sekitar Galaxy. Meski sedang sepi pembeli, Oman tidak ragu memberikan peci secara gratis kepada Anak tersebut.

Sebenarnya saat membawa peci itu untuk ditukar, anak tersebut khawatir Oman enggan menerimanya kembali, karena peci tersebut sudah dikenakannya beberapa kali. Ia takut peci itu sudah kotor dan tidak bisa Oman jual lagi.

“Nggak apa-apa, Nak. Nanti bisa dicuci sedikit,” ujar Oman menenangkan sambil memberikan peci baru yang ukurannya lebih besar.

Sambil mencoba peci barunya, anak tersebut menyarankan Oman untuk menjual peci-peci tersebut secara dalam jaringan (daring) atau online. Menurutnya, dengan menjual secara online, peci-peci tersebut akan lebih cepat laku.

Tapi, Oman mengaku sama sekali tidak memahami teknologi. Sebab telepon seluler pun Oman tidak punya. []

(Faza Nidwana Ribhan)

Berita terkait
Geliat Bisnis Barang Bekas dan Antik di Sleman
Bisnis jual beli barang bekas di Sleman tidak terlalu banyak terpengaruh oleh pandemi, hanya saja daya beli masyarakat menurun.
Selimut Ketakutan Warga India di Ladang Ranjau Perbatasan
Cerita warga yang tinggal di sepanjang Garis Kontrol (LoC), di perbatasan yang memisahkan wilayah Kashmir yang dipimpin India dan Pakistan.
Tirai dan Kerajinan Bambu Tak Lekang oleh Zaman di Sleman
Kawasan Cebongan merupakan sentra kerajinan bambu di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ini cerita proses pembuatan kerajinan di sana.
0
Serangan ke Suharso Monoarfa Upaya Politik Lemahkan PPP
Ahmad Rijal Ilyas menyebut munculnya serangan yang ditujukan kepada Suharso Manoarfa merupakan upaya politik untuk melemahkan PPP.