Geliat Bisnis Barang Bekas dan Antik di Sleman

Bisnis jual beli barang bekas di Sleman tidak terlalu banyak terpengaruh oleh pandemi, hanya saja daya beli masyarakat menurun.
Sejumlah barang bekas yang dijual oleh Kris Harling, 50 tahun, di rumahnya, Munggur, Sidoarum, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Sleman – Seorang pemuda terlihat serius mengecat semacam buffet berwarna putih. Tangannya lincah namun tetap berhati-hati menggerakkan kuas ke atas dan ke bawah. Sesekali dia menghentikan kegiatannya, lalu memperhatikan dengan saksama hasil pengecatan, dan melanjutkan kembali aktivitasnya.

Berbagai jenis barang terlihat ditata tidak terlalu rapi di halaman rumah tersebut, di Munggur, Sidoarum, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Sebagian besar barang-barang di tempat iru adalah furniture dan perabot rumah tangga, mulai dari meja, kursi, wastafel, hingga springbed.

Kris Harling, 50 tahun, pemilik usaha jual beli barang bekas tersebut baru saja selesai mandi setelah usai membersihkan dan mengirim beberapa barang pesanan pelanggannya. Dia menyapa ramah dan mempersilakan duduk.

Sambil menyulut sebatang rokok kretek, Kris memulai suka dukanya menjadi pengusaha jual beli barang bekas yang sudah digelutinya selama kurang lebih enam tahun.

“Kalau barkas (barang bekas) ini sebetulnya kita belum lama, sekitar enam tahunanlah. Sebelumnya justru saya bergerak di bidang jual beli barang antik, tapi kan memang barang antik itu pangsa pasarnya lebih terbatas dan cenderung menengah ke atas,” ucap Kris saat ditemui di antara barang-barang bekas di rumahnya, Jumat, 5 Februari 2021.

Cerita Barang Bekas 2Kris Harling, 50 tahun, seorang pengusaha jual beli barang bekas dan barang antik saat ditemui di rumahnya, di Munggur, Sidoarum, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Jumat sore, 5 Februari 2021. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Sebelum menggeluti bisnis barang bekas, Kris adalah seorang pedagang barang antik. Setelah beberapa rekannya menyarankan untuk menggeluti usaha jual beli barang bekas, dia pun mulai mencoba peruntungan di situ, walaupun awalnya dia mengaku enggan.

Awalnya saya juga ditawarin barang-barang bekas tapi nggak saya beli karena saya cuma bergerak di barang antik.

Kata Kris, orang-orang yang berminat membeli barang-barang antik hanya orang yang mempunyai uang lebih.

Akhirnya setelah melihat pasar, Kris mencoba menawarkan barang bekas pada rekan-rekannya. Respons mereka ternyata cukup bagus.

“Akhirnya kita mulai coba jual beli barang bekas, tapi lebih banyak ke meubel. Barkas kan macam-macam, mulai dari botol bekas, besi, dll, tapi saya spesifik ke furniture, etalase, springbed. Intinya barang-barang rumah tangga,” tuturnya.

Pangsa pasar penjualan barang bekas umumnya masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, mulai dari anak kos, pemilik tempat kos, atau keluarga yang penghasilannya menegah ke bawah.

Harga jual barang-barang bekas, lanjutnya, cukup murah dan selisihnya dengan harga baru cukup jauh. Dia mencontohkan harga springbed. Harga baru springbed biasanya di atas Rp 2 juta, tapi dia menjual springbed dengan merek dan jenis yang sama di kisaran harga Rp 600 ribu.

“Kondisinya layak pakai. Kita juga tawarkan mau dibeli kondisi apa adanya atau rekondisi. Kebanyakan kalau springbed biasanya didesinfektan, dibersihkan dan bisa langsung dipakai. Harga bekas itu antar 20 persen, paling mahal 40 persen dari harga baru. Intinya terjangkaulah untuk orang yang penghasilannya pas-pasan.”

Saat ditanya mengenai pengaruh pandemi Covid-19 terhadap usahanya, Kris mengaku kondisi saat ini tidak terlalu banyak memengaruhi penjualan barang-barang bekas. Jaringan yang dimilikinya, lanjut Kris, cukup membantu usaha jual beli yang digelutinya.

Cerita Barang Bekas 3Sejumlah barang bekas yang dijual oleh Kris Harling, 50 tahun, di rumahnya, di Munggur, Sidoarum, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. (Foto: Tagar.Kurniawan Eka Mulyana)

Alhamdulillah saya kan sudah punya link jadi pengaruhnya nggak banyak. Mungkin cuma di masalah harga. Jadi dulunya misalnya kita bisa beli Rp 1 juta dan kita bisa jual dengan harga Rp 1,2 juta.”

Kris mengakui, pandemi memengaruhi daya beli masyarakat. Mereka yang dulunya mampu membeli barang dengan harga Rp 1,2 juta misalnya, kini hanya berani membeli barang yang sama dengan harga lebih rendah, misalnya Rp 800 ribu hingga Rp 900 ribu.

“Otomatis kita juga beli harganya menurun. Kita akan beli di bawah harga jual, misalnya Rp 600 ribu. Justru pandemi ini kita banyak ditawarin barang macam-macam. Nggak cuma orang biasa Mas, mantan penggede pun ada yang jual barang. Jadi kita borong satu rumah, begitu,” tuturnya.

Mengenai cara pemasaran, Kris menuturkan, awalnya dia sering memasang iklan di internet, melalui media sosial dan segala macam. Tetapi setelah memiliki jaringan relasi yang cukup banyak, pemasarannya pun melebar melalui komunitas-komunitas.

Selain itu, lokasi rumahnya yang berada di pinggir jalan diakuinya cukup membantu pemasaran. Sebab tak jarang orang yang pernah melintas tiba-tiba datang dan menawarkan barang bekas untuk dijual.

“Kita nggak cuma ambil barang rumah tangga tapi juga ambil dari barang bekas kantor”.

Sebetulnya, lanjut dia dengan kondisi sosial media yang seperti sekarang ini, menjual atau memasarkan barang merupakan hal yang mudah, yang penting harganya terjangkau, apalagi di masa pandemi seperti ini.

“Banyak teman barkas yang masih pakai standar yang dulu, susah Mas. Kadang seminggu dua minggu nggak ada penjualan. Kalau saya tiap hari alhamdulillah keluar-masuk, keluar masuk. Untung sedikit nggak papa, yang penting perputarannya cepat,” dia menuturkan.

Kriteria Barang Antik

Meski saat ini penjualan barang bekas lebih mendominasi usahanya, Kris mengaku masih tetap menjalankan bisnis barang antiknya. Dia menjalankan bisnis barang antiknya bersamaan dengan barang bekas.

“Misalnya saya ditawarin barang bekas orang pindahan dll, saya lihat di rumahnya, kalau ada barang antik, kalau dijual semua kita beli. Misalnya ada lemari-lemari kuno, kita beli,” ucapnya menambahkan.

Cerita Barang Bekas 4Lampu taman bekas yang dijual oleh Kris Harling, 50 tahun, di rumahnya, di Munggur, Sidoarum, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Barang-barang antik yang dimilikinya saat ini pun cukup beragam, mulai dari furniture, lampu-lampu kuno, serta sejumlah barang-barang kecil seperti aksesoris dan lain-lain. “Saya juga main perhiasan-perhiasan kuno yang dari emas, dari perak, jam-jam kuno, mulai jam dinding, jam tangan, jam lemari.”

Barang antik, lanjut Kris, bukan sekadar dilihat dari usianya yang tua. Ada kriteria tertentu suatu barang agar bisa dikategorikan sebagai barang antik, misalnya barang itu diproduksi dalam jumlah terbatas, atau pernah digunakan oleh pejabat tertentu, seperti raja zaman dulu.

Barang-barang yang merupakan hadiah dari pembesar zaman dulu dan memiliki nilai sejarah pun menjadi salah satu kriteria barang antik.

“Atau misalnya sudah berusia ratusan tahun, dinasti paling mudalah, Dinasti Cing misalnya. Itu kan sistemnya masih barter, ambil rempah dari Indonesia ditukar sama piring-piring lama, itu makanya barang-barang begituan banyak di Indonesia. Demang ke atas juga diberi hadiah khusus yang desainnya eksklusif, bukan untuk rakyat kebanyakan. Kadang kita dapat barang seperti itu.”

Dia memisalkan satu unit piring yang diproduksi pada periode yang sama tetapi yang satu dipakai oleh raja dan satunya dipakai oleh rakyat biasa, harganya akan berbeda.

“Barang antik itu walaupun usianya baru 10 ahun tapi kalau dibuatnya terbatas dan memang dipersembahkan untuk pembesar bisa masuk kriteria antik. Yang bikin harganya tinggi kan karena barangnya sedikit dan peminatnya banyak.”

Untuk pemasaran barang-barang antik, Kris juga bergabung dalam komunitas barang antik. Biasanya dia menawarkan barang antik miliknya di komunitas itu, termasuk melalui media sosial.

Tak jarang barang-barang itu ditawar oleh sesama pedagang barang antik. Hal yang paling disukai adalah jika penawarnya merupakan kolektor.

“Syukur kalau yang membeli adalah kolektor. Terutama kita menjual ke orang yang mengerti, itu akan lebih menghargai. Bukan sekadar barang lama, terutama yang punya histori atau sejarah,” Kris menambahkan.

Cerita Barang Bekas 5Lemari dan furniture yang dijual oleh Kris Harling, 50 tahun, di rumahnya, di Munggur, Sidoarum, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Sementara, seorang peminat barang antik, Roni, 47 tahun, yang dihubungi terpisah, mengatakan hal yang sama dengan penjelasan Kris. Menurutnya, tidak jarang dia berburu barang antik yang memiliki nilai histori. Harganya pun jauh lebih tinggi daripada barang sejenis dengan usia yang sama.

“Misalnya keris. Kalau keris itu punya nilai histori, pernah dipakai oleh salah satu tokoh, harganya pasti akan berbeda dengan keris sejenis dengan usia pembuatan di era yang sama,” ucapnya.

Roni menambahkan, sebelum pandemi dirinya sering berburu barang antik hingga ke pelosok-pelosok desa di beberapa daerah, seperti Demak, Kudus, Cirebon, dan sejumlah daerah lain. Tapi sejak pandemi, dia hanya berburu di sekitar Yogyakarta. “Paling jauh sampai ke Kulon Progo atau Gunungkidul.” []

Berita terkait
Selimut Ketakutan Warga India di Ladang Ranjau Perbatasan
Cerita warga yang tinggal di sepanjang Garis Kontrol (LoC), di perbatasan yang memisahkan wilayah Kashmir yang dipimpin India dan Pakistan.
Tirai dan Kerajinan Bambu Tak Lekang oleh Zaman di Sleman
Kawasan Cebongan merupakan sentra kerajinan bambu di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ini cerita proses pembuatan kerajinan di sana.
Tumbal Penguat Tanggul dan Cerita Mistis Situ Cikaret Bogor
Situ Cikaret di Cibinong, Bogor merupakan salah satu tempat berekreasi yang populer, namun ternyata ada cerita mistis di baliknya.