Oleh: Agung SS Raharjo*
TAGAR.id, Jakarta - Dalam pembicaraan mengenai pelayanan publik atau beragam implementasi kebijakan pemerintah, pengukuran tentang kepercayaan cenderung searah yaitu publik terhadap pemerintah. Kepercayaan publik (public trust) menjadi bagian penting bagi terwujudnya praktik good governance pada suatu pemerintahan. Tinggginya nilai kepercayaan menjadi indikator bagi pemerintah bahwa telah mampu bekerja sesuai dengan tujuan dan harapan yang dicita-cita untuk kesejahteraan publik. Begitupun sebaliknya.
Public trust menjadi modal bagi beragam transformasi pelayanan publik yang terus berorientasi pada kebutuhan, keterbukaan dan keinginan publik. Tidak sebatas itu, menguatnya kepercayaan publik terhadap pemerintah adalah jalan “nyaman” bagi pelaksanaan pemerintahan untuk terus beradaptasi dengan perubahan lingkungan strategis baik dipengaruhi faktor internal maupun eksternal.
Dengan kondisi tersebut, sebenarnya kita bisa menarik satu sudut pandang terhadap sebuah konteks pelayanan publik yaitu bahwa pemaknaan tentang kontrol kinerja pelayanan selalu diletakkan pada sudut public trust. Publik menjadi subjek penilai atau pemberi justufikasi tentang baik buruknya sebuah kinerja pemerintah. Dan selama ini penetapan sudut pandang ini selalu menjadi begitu urgen dan serasa tidak bisa diabaikan.
Lalu bagaimana kemudian dengan pemerintah? Masih memungkinkah jika kita coba mengajukan sebuah perspektif lain tentang sebuah penilaian kinerja pelayanan itu didasarkan pada “government trust in citizen”. Dan menurut hemat penulis kepercayaan yang dibangun dalam konteks ini merupakan satu sisi mata uang, dari sebuah “koin” kepercayaan, yang selama ini mungkin sering dilupakan atau dianggap hal yang tidak biasa untuk dibicarakan. Menurut hemat penulis, “public trust” dan “government trust” ada dua sisi yang tidak bisa diabaikan.
Dua Sisi Kepercayaan
Jika nilai “public trust” diperkuat dengan upaya akuntabilitas, transparansi, dan efektifitas maka nilai “government trust” ini dapat ditingkat melalui keberdayaan, kesadaran, partisipasi, dan kemandirian dengan subjek pelakunya tidak lain adalah masyarakat itu sendiri. Sehingga segala macam bentuk implementasi pelayanan atau kebijakan pemerintah akan berjalan dalam koridor tata laksana yang baik dan saling menguatkan.
Dalam konteks kebijakan publik, perspektif tentang “government trust” ini kita letakkan kedalam upaya perwujudan good governance tadi. Sekiranya hal tersebut bukan sebuah hal yang “nyleneh”, karena bagaimanapun juga implementasi kebijakan (baik berupa pelayanan) adalah sebuah bangunan relasi-relasi sosial ekonomi dan juga politik.
Misal terkait persiapan implementasi kegiatan bantuan pemerintah untuk petani, bahwasannya pelaksanaan identifikasi calon penerima dan calon lokasi (CPCL) yang dilakukan pemerintah merupakan salah satu wujud kecil yang dapat menjadi sebuah simbol keseriusan untuk men-justifikasi tingkat “government trust”.
Artinya bahwa pelaksanaan CPCL yang baik, sebagai sebuah langkah awal penentuan tingkat kelayakan, akan memberikan data dan informasi akurat bagi internal pembuat program untuk kemudian dijadikan sebagai bahan pertimbangan lebih mendalam. Data dan Informasi yang dihimpun menumbuhkan dan mengakumulasi kepercayaan (trust) pemerintah terhadap calon objeknya.
Trust menjadi kontrol dan juga trigger bagi pemerintah untuk membuat keputusan untuk melibatkan mereka atau tidak. Dalam konteks ini, karena mendeskripsikan pada cakupan sebuah program, munculnya ketidakpercayaan pemerintah kepada masyarakat akan berdampak pada penghapusan peluang keikutsertaan program. Ini hanya contoh kecil dari subtantif pentingnya “government trust”.
Jauh lebih penting dari upaya-upaya tersebut adalah niatan dan bukti pelaksanaan bahwa pemerintah tidak sedang bermain-main dan membutuhkan sebuah iklim partisipasi untuk mencapai suatu target besar. Karena pada titik itulah kepercayaan pemerintah terhadap warganya akan mendorong sinergi dan kolaborasi serta mengakumulasi tingkat kepercayaan yang lebih baik untuk agenda-agenda kebijakan lainnya.
Mendasarkan pada aspek pentingnya kepercayaan tersebut, hal yang perlu ditilik dan perlu mendapat perhatian yang cukup serius yaitu jika ditemui ketiadaan bangunan kepercayaan pemerintah terhadap rakyatnya.
Hal ini kemudian dapat menjadi pertanda adanya sebuah mata rantai yang sebenarnya telah telah hilang (a missing link) dalam mendorong partisipasi rakyat pada setiap implementasi kebijakan. Atau bahkan selama proses perencanaan dan pemanfaatan kebijakan.
Sikap “government trust” terhadap publik adalah sisi lain yang bersifat melengkapi dari sebuah sikap resiprositas kepercayaan antara pemerintah dan publik. Keduanya merupakan koin dengan dua sisi kepercayaan yang selalu dibutuhkan bagi penyelenggaraan kebijakan publik. Dalam prakteknya keduanya mesti di”jahit” bersamaan dalam sebuah proses dan implementasi kebijakan publik.
Kebijakan Deliberatif
Apa sebenarnya konsekwensi ketika kepercayaan pemerintah terhadap rakyat itu rendah. Dalam studi yang dilakukan oleh Kaifeng Yang (2005), pada 320 administrator publik, menemukan bahwa kepercayaan administrator publik terhadap warga negara merupakan konstruksi yang relevan dan valid serta menjadi instrument predictor yang mendorong keterlibatan warga negara yang proaktif. Artinya jika nilai kepercayaan pemerintah terhadap masyarakat sipil rendah akan berdampak pada minimnya sikap proaktif dan pelibatan secara partisipatif.
Pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kualitas kebijakan yang dibuat. Babolghani et al (2019) telah melakukan sebuah kajian yang berlokasi di Provinsi Markazi, salah satu provinsi di Negara Iran, hasil studinya menerangkan bahwa kepercayaan administrator public/pemerintah terhadap warga negara akan meningkatkan kerjasama antara pemerintah dan warga negara.
Pemerintahan parsitipatif tidak akan terwujud tanpa kepercayaan terhadap warga negara. Dampak konstrutif dari kepercayaan adalah meningkatkan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat sipil.
Lalu apa yang semestinya dilakukan untuk menghadirkan “government trust in citizen” yang tinggi. Tentunya sikap-sikap yang diambil sangat bergantung dengan perspektif kenegaraan/pemerintahan yang dianut.
Sebagai negara berdasarkan Pancasila dan negara demokratis tentunya penyikapan yang paling pas adalah membangun serangkaian kebijakan deliberatif yang akan merubah tingkat kepercayaan pemerintah.
Kemudian mendorong pemerintah untuk selalu menghadirkan mereka dalam serangkaian penjaringan isu kebijakan. Bukan dengan cara-cara yang otoriter/pemaksaan yang mensimbolkan pemerintah sebagai penguasa ber-“tangan besi”. Karena jelas hal itu sangat bertentangan dengan nilai-nilai demokratif. Pendekatan pemerintahan yang deliberatif adalah kunci bagi berjalannya negara demokrasi.
Masyarakat tetap berdaulat, tentunya tidak menutup beragam cara untuk menguatkan kedaulatan tersebut dari sisi perspektif “government trust”. Bahkan hal tersebut sekiranya bisa menjadi instrument kontrol dalam pengambilan kebijakan yang berorientasi publik.
Membangun kepercayaan pemerintah terhadap warga negara, mempercayai pengetahuan dan keterampilan praktis mereka, mendengarkan tuntutan serta berbagai peran bersama mereka merupakan simbol hadirnya kepercayaan dan rasa hormat terhadap proses pemerintahan yang berperspektif partisipatif kolaboratif.
Hal ini akan melatih dan melibatkan mereka dalam serangkaian proses kebijakan dari mulai proses penjaringan isu, perumusan, implementasi hingga evaluasi kebijakan. Sehingga menghadirkan cita-cita pembangunan yang diimpikan bersama menuju kesejahteraan warga yang didambakan.
*ASN Kementerian Pertanian Analis Kebijakan