Untuk Indonesia

Opini: Hasil kerja Ombudsman tentang BPJS Ketenagakerjaan

Ombudsman RI yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, beberapa hari lalu merilis temuannya terkait pelayanan BPJS Ketenagakerjaan.
Opini: Hasil kerja Ombudsman tentang BPJS Ketenagakerjaan. (Foto:Tagar/YouTube BPJS Ketenagakerjaan)

Oleh: Timboel Siregar*

Ombudsman RI yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, beberapa hari lalu merilis temuannya terkait pelayanan dan kepesertaan program jaminan sosial ketenagakerjaan yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan.

Hasil kerja Ombudsman tentang BPJS Ketenagakerjaan merupakan bagian dari fungsi dan tugas serta wewenang Ombudsman seperti yang diamanatkan Pasal 6, 7 dan 8 UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.

Tentunya hasil kerja ini harus dilihat sebagai upaya untuk terus meningkatkan pelayanan BPJS Ketenagakerjaan kepada masyarakat secara umum dan kepada pekerja secara khusus.

Sebagai sebuah institusi pelayanan publik tentunya BPJS Ketenagakerjaan terus berusaha meningkatkan pelayanannya.

Namun dalam pelaksanaannya memang ada beberapa kasus yang terjadi karena dampak dari beberapa hal. Seperti meningkatnya klaim pada saat pandemi saat ini, adanya regulasi yang perlu diperjelas dalam implementasi, kesiapan SDM, dsb.

Terkait publikasi yang dirilis oleh Ombudsman, saya menilai hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan Ombudsman tersebut didasari temuan secara kasuistik di beberapa cabang, bukan sebagai suatu temuan yang terjadi secara massif dan sistemik.

Dan temuan masalah seperti ini pun menjadi bagian advokasi BPJS Watch, tapi itu terjadi secara kasuistik. Ketika BPJS Watch membantu mengadvokasi secara vertikal ke BPJS Ketenagakerjaan pusat dan membicarakannya, masalah kasuistik tersebut pun selesai.

Sebagai contoh, seminggu yang lalu ada laporan dari 10 pekerja di Sulawesi Utara yang ingin mencairkan JHT, namun belum bisa dicairkan karena status masih aktif yaitu iuran masih dibayarkan perusahaan.

Tetapi setelah ditelusuri, ternyata sudah ada putusan PHI yang mem-PHK para pekerja, dan sudah hampir dua tahun upah para pekerja tidak dibayarkan.

Dana JHT sangat dibutuhkan 10 orang pekerja untuk melanjutkan kehidupan mereka, namun tidak bisa dicairkan.

BPJS Watch menduga kuat pengusaha “menyandera” dana JHT pekerja dengan cara membayarkan iurannya, padahal sudah lama tidak membayar upah para pekerja tersebut.

BPJS Watch mengadvokasi kasus ini dan meyakinkan Kepala Cabang BPJS Ketenagakerjaan di sana bahwa ini upaya buruk pengusaha yang “menyandera” dana JHT.

Dengan fakta adanya putusan PHK dari PHI Manado, dan upah sudah tidak dibayar hampir dua tahun, pada akhirnya BPJS Ketenagakerjaan mencairkan dana JHT tersebut kepada 10 pekerja.


Dan memastikan seluruh rakyat Indonesia juga terlindungi oleh BPJS Ketenagakerjaan pada saat bekerja maupun paska bekerja.


Hal itu terkait dengan SDM dan kami mengapresiasi respons Kepala Cabang BPJS Ketenagakerjaan Manado.

BPJS Watch menilai hasil temuan Ombudsman secara kasuistik tersebut seharusnya dikonfirmasi terlebih dahulu ke BPJS Ketenagakerjaan, dan mencari tahu kenapa terjadi.

Mengacu pada Pasal 28 ayat (1b) UU Ombudsman seharusnya Ombudsman meminta penjelasan secara tertulis kepada Terlapor yaitu BPJS Ketenagakerjaan, tentang kasus-kasus tersebut.

Bila persoalan yang ada hanya karena meningkatnya kasus klaim, ada upaya penyenderaan, ada miskomunikasi, dsb, tentunya hal ini tidak bisa digeneralisir sebagai maladministrasi secara umum.

Terkait dengan kepesertaan yang belum optimal yang juga disorot oleh Ombudsman, seharusnya Ombudsman melihat persoalan kepesertaan ini dari seluruh aspek.

Bila Ombudsman membaca seluruh regulasi program jaminan sosial ketenagakerjaan khususnya terkait pengawasan dan penegakkan hukum dan pemberian sanksi tidak dapat layanan publik, maka tidak bisa BPJS Ketenagakerjaan menyelesaikan semua masalah kepesertaan ini.

Ada peran dan tugas pengawas ketenagakerjaan, kejaksaan dan kepolisian, dan Kementerian/Lembaga (K/L) yang menjalankan pelayanan publik, yang juga berperan dalam peningkatan kepesertaan ini.

Hal ini diperjelas dalam Inpres no. 2 Tahun 2021 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, yang menginstruksikan 26 K/L dan Pemda Tingkat I dan II.

Sebagai contoh, apakah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sudah melaksanakan Inpres ini dengan memastikan seluruh penerima KUR (Kredit Usaha Rakyat) menjadi peserta aktif dalam program Jaminan sosial ketenagakerjaan?

Apakah para Gubernur/Wallikota/Bupati sudah mendaftarkan seluruh pekerja non-ASN-nya menjadi peserta aktif dalam program Jaminan sosial ketenagakerjaan.

Apakah Menteri Luar Negeri sudah mendaftarkan pekerja pemerintah non-ASN yang bekerja di kedutaan dan kantor perwakilan menjadi peserta aktif dalam program Jaminan sosial ketenagakerjaan?

Apakah Menteri Perhubungan sudah memastikan seluruh pekerja transportasi dalam jaringan (online) menjadi peserta aktif dalam program Jaminan sosial ketenagakerjaan.

Dan apakah Menteri Perhubungan dan Menteri Ketenagakerjaan sudah melaksanakan Pasal 34 Peraturan Menteri ketenagakerjaan no. 5 tahun 2021 yang mewajibkan seluruh pekerja transportasi online menjadi peserta program JKK dan JKm di BPJS Ketenagakerjaan dengan memastikan perusahaan penyedia jasa layanan memfasilitasinya?

Demikian juga pertanyaan diajukan kepada K/L dan Lembaga lainnya yang disebut dalam inpres No. 2 Tahun 2021. Kami menilai Inpres No. 2 tahun 2021 belum dilaksanakan secara serius oleh K/L dan Pemda sehingga semua pertanyaan di atas dijawab dengan kata “Belum”.

Inpres no.2 tahun 2021, juga menginstruksikan beberapa Kementerian untuk memperbaiki regulasi guna meningkatkan pelayanan jaminan sosial ketenagakerjaan.

Aspek regulasi adalah kewenangan Kementerian yang akan dilaksanakan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Ini pun seharusnya dipertimbangkan oleh Ombudsman untuk menilai pelayanan yang dilaksanakan oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Belum maksimalnya kepesertaan di BPJS Ketenagakerjaan adalah tanggung jawab K/L dan Pemda.

Dan oleh karenanya, seharusnya Ombudsman juga mengevaluasi peran-peran K/L dan Pemda yang diinstruksikan Presiden untuk meningkatkan kepesertaan di seluruh program jaminan sosial ketenagakerjaan.

Mengingat pentingnya peningkatan kepesertaan di BPJS Ketenagakerjaan agar semakin banyak masyarakat yang terlindungi oleh BPJS Ketenagakerjaan maka sudah seharusnya Presiden mengevaluasi pelaksaan Inpres no. 2 Tahun 2021.

Termasuk Presiden memerintahkan agar program JKK dan JKm diimplementasikan untuk pekerja informal miskin dengan skema PBI (Penerima Bantuan Iuran), dengan segera menyelesaikan revisi PP No. 76 tahun 2015, agar pekerja informal miskin di tahun ini bisa dilindungi oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Semoga dengan hasil Ombudsman ini dan evaluasi pelaksanaan Inpres no. 2 Tahun 2021 oleh Presiden, pelayanan dan kepesertaan di program jaminan sosial ketenagakerjaan semakin membaik.

Dan memastikan seluruh rakyat Indonesia juga terlindungi oleh BPJS Ketenagakerjaan pada saat bekerja maupun paska bekerja.

*Koordinator BPJS Watch

Berita terkait
Cara Beli Rumah Pakai BPJS Ketenagakerjaan
Bank kerjasama akan melakukan verifikasi dan BI Checking. Pastikan Anda tidak masuk ke dalam blacklist BI agar permohonan kredit bisa disetujui,
Cara Tracking Klaim BPJS Ketenagakerjaan
Bagi peserta BPJS Ketenagakerjaan saat ini bisa mengakses secara daring.
Peserta BPJS Ketenagakerjaan Sudah Bisa Klaim JKP
Program JKP ini diperuntukkan bagi pekerja/buruh yang mengalami PHK dengan manfaat berupa uang tunai, informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja
0
Opini: Hasil kerja Ombudsman tentang BPJS Ketenagakerjaan
Ombudsman RI yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, beberapa hari lalu merilis temuannya terkait pelayanan BPJS Ketenagakerjaan.