Oleh: Bagas Pujilaksono, Akademisi Universitas Gadjah Mada
Saya sengaja membahas Hari Lahir Pancasila, 1 Juni, terlambat. Karena saya tidak mau menjadi bagian dari kelompok pembeo, yang latah ngobral Pancasila, yang sebenarnya tidak paham soal Pancasila.
Beberapa waktu yang lalu, saya melihat di TikTok, Presiden Jokowi merespons maraknya larangan/pembatasan kebebasan beragama dan beribadah kelompok nonmuslim. Presiden Jokowi mengingatkan, bahwa kebebasan beragama dan beribadah sesuai keyakinan, dijamin konstitusi yaitu UUD 1945. Jadi mustinya, tidak ada larangan beribadah dan mendirikan rumah ibadah di bumi Nusantara.
Kalau bicara atas nama konsitusi, mustinya bukan lagi mengingatkan atau imbauan, namun tindakan tegas atas nama konstitusi, wujud kehadiran negara.
Saya ketawa sambil cengar-cengir melihat pidato Presiden Jokowi, karena pidato itu tidak penting bagi saya. Yang paling penting, kehadiran negara melindungi warganya bebas beribadah dan mendirikan rumah ibadah. Kalau muslim bebas sebebas-bebasnya mendirikan rumah ibadah, mengapa yang nonmuslim penuh keterbatasan dan dibatasi? Ini pertanyaan mendasar yang harus dijawab Presiden Jokowi.
Kalau bicara atas nama konsitusi, mustinya bukan lagi mengingatkan atau imbauan, namun tindakan tegas atas nama konstitusi, wujud kehadiran negara.
Maraknya kelompok anak bangsa yang men-challenge Pancasila dengan ideologi sesat, menurut saya, ini bukan bagian dari demokrasi dan kebebasan. Mereka membenturkan Pancasila dengan agama, Pancasila buatan manusia, sedang ideologi mereka buatan Tuhan. Ini omongan sampah yang meracuni anak bangsa.
Tanggal 1 Juni adalah tanggal di mana Bung Karno pidato resmi di depan BPUPKI soal dasar negara bagi calon NKRI. Dinamika politik yang berkembang saat itu, sangat demokratis. Kata-kata yang bernuansa memecah-belah bangsa, dihapus, demi utuhnya persatuan dan kesatuan bangsa, yang pernah senasib dan sepenanggungan di bawah kolonial Belanda.
Pendiri Bangsa sangat menjunjung nilai etika, moral, demokrasi, keadilan dan persatuan dan kesatuan bangsa. Demokrasi yang bermartabat, musyawarah untuk mufakat atau musyawarah untuk sepakat.
Informasi tentang dinamika politik menjelang lahirnya Pancasila, sebagai sebuah fakta sejarah, perlu dibukukan dan diajarkan di sekolah-sekolah. Arsip notulen rapat BPUPKI dan PPKI, jangan hanya disimpan di Museum Nasional di Jakarta. Jadikan sebagai literatur penulisan Buku Putih Lahirnya Pancasila. Saya siap menulis Buku Putih Lahirnya Pancasila dengan gaya tulisan akademik yang elegan. Generasi muda Indonesia harus mengetahui dan paham soal sejarah lahirnya Pancasila.
Hari ginian masih ada pidato-pidato yang normatif tanpa makna yang berkesan klise. Do something! []