Untuk Indonesia

Opini: Di Balik Radikalisme dan Terorisme di MUI

Dua gembong Jamaah Islamiyah lainnya yang diciduk Densus 88 adalah Farid Okbah, tokoh Wahabi alumnu LIPIA dan Anung Al-Hammad, tokoh Persis.
Ilustrasi - Terorisme. (Foto: Tagar/Ist)

Syaefudin Simon*


MUI kelojotan jutaan netizens menuntut pembubaran “LSM” keagamaan yang sudah terlanjur besar itu. Pasalnya, salah seorang elit MUI Pusat di Komisi Fatwa Ahmad Zain An-Najah dicokok Densus 88. Ahmad Zain tersangka gembong Jamaah Islamiyah ini adalah kader Muhammadiyah. 

Dilacak jajak kariernya, Ahmad Zaina adalah alumnus Ponpes Ngruki, pimpinan Abu Bakar Ba’asyir, alumnus Universtas Al Azhar, Mesir, Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah, Cairo, dosen Uhamka dan Universitas Muhammadiyah Surakarta. 

Dua gembong Jamaah Islamiyah lainnya yang diciduk Densus 88 adalah Farid Okbah, tokoh Wahabi alumnu LIPIA dan Anung Al-Hammad, tokoh Persis. Ketiga tokoh Islam ini, bisa dilacak jejak “provokasi”nya yang menyebarkan radikalisme dan terorisme di Google.

Tapi aneh. Meski sudah sekian lama ketiganya malang melintang di dunia dakwah Islam radikal, mereka aman-aman saja. Entah karena organisasi induknya sengaja melindungi, diam, atau tidak tahu akan jejak dan kiprah mereka di dunia dakwah Islam. 

Baru setelah mereka ditangkap, organisasi induknya cuci tangan. Sebuah cara klasik untuk memutus rantai keterlibatan organisasi dengan tokoh-tokohnya yang terstigma buruk di mata publik.

Pertanyaannya: Kenapa Islam tampak “kedodoran” bila menghadapi kasus radikalisme dan terorisme? Ingat, ketika Osma Bi Ladin terbunuh di Abbottabad, Pakistan (2 Mei 2011), ribuan orang simpatisan Osama berkumpul di sejumlah kota mendoakan dan bersaksi atas kebaikan Osama. 

Ingat ketika Abu Bakar Ba’syir, ideolog teroris, bebas dari penjara Gunung Sindur, Bogor, 8 Januari 2021, setelah mendekan 15 tahun, kedatangannya di Solo disambut bak pahlawan. Saat pembebasannya, Ba’asyir yang tak pernah mengakui Pancasila sebagai ideologi negara itu, mendapat ucapan selamat dan hormat dari wakil ketua MPR Hidayat Nurwahid.

Sepertinya radikalisme dan terorisme dalam Islam sulit dipisahkan. Setidaknya telah membuat umat bingung apakah terorisme dan radikalisme itu bagian dari Islam. Atau Islam punya sejarah yang tak terpisahkan dengan radikalism dan terorisme? Di bawah ini, saya nukilkan kembali tulisan saya yang pernah dimuat di Geotimes, 9 April 2021.

Rabu, 4 Zulhijjah, tahun 23 Hijriyah. Fajar baru saja menyingsing ketika Khalifah Umar Ibn Khatab datang ke masjid hendak mengimami salat Subuh. Sebelum salat, Umar menunjuk beberapa orang di masjid agar meluruskan saf. 

Setelah semua saf sudah lurus dan teratur, Salat pun siap dilaksanakan. Tapi baru saja Umar mulai niat salat, tiba-tiba muncul seorang laki-laki di saf pertama, di belakang Umar. Sang lelaki itu, langsung menikam Umar dengan pedangnya berkali-kali. Umar pun roboh. Beberapa jam kemudian Umar tewas akibat luka-lukanya yang parah di perutnya.

Siapa pembunuh kejam itu? Abu Lu’lu’ah Fairuz! Ia seorang budak milik Al-Mugirah bin Syu’bah, berasal dari Persia. Kedatangannya ke Masjid itu sengaja hendak membunuh Umar di pagi buta tersebut. Fairuz dendam kepada Umar - Khalifah Islam yang telah mengalahkan Kerajaan Persia, negara yang dibanggakannya.

Fairuz, seorang radikal. Ia memendam kebencian terhadap Umar yang menghancurkan negeri nenek moyangnya. Ia pun nekad membunuh Umar, melampiaskan dendamnya. Redemption pinjam istilah pengamat terorisme Nurhuda Ismail menjadikan Fairuz nekad untuk menebus dosanya akibat tak mampu memberikan sumbangan kepada negeri yang dicintainya ketika dihancurkan Umar.

Dua belas tahun kemudian, hari Jumat 18 Dzulhijjah, tahun 35 Hijriyah, Khalifah Ustman tewas. Setelah mengepung 40 hari, para pemberontak berhasil memasuki kediaman Khalifah. Ustman pun dibunuh ketika sedang membaca Alqur’an. 

Para pemberontak tersebut, lagi lagi berasal dari kelompok radikal yang tidak menyukai Khalifah Ustman. Ustman dianggap lembek dan nepotis; tak bisa menjadi khalifah yang baik dan adil.

Lima tahun setelah wafatnya Ustman, Khalifah Ali bin Abi Thalib juga tewas mengenaskan di tangan muslim radikak. Pembunuhnya Abdurrahman ibnu Muljam. 

Ibnu Muljam seorang ahlussunnah, fasih membaca Alquran, dan hafiz (penghafal Alquran) yang disegani karena kesalihannya. Ia pernah diutus oleh Khalifah Umar bin Khatab pergi ke Mesir untuk mengajar Alqur’an di Negeri Fir’aun itu.

Ibnu Muljam membunuh Ali karena pengaruh paham radikal Khawarij. Bagi Ibnu Muljam - Khalifah Ali dalam menjalankan pemerintahan tidak berhukum pada Alqur’an. Bayangkan, tiga khlaifah generasi utama, ketiganya sahabat terbaik Rasulullah, dalam kurun 40 tahun setelah Hijrah, tewas dibunuh secara mengenaskan.

Tragisnya, para pembunuhnya juga orang-orang Islam. Mereka ekstrim dan radikal. Dari keempat khalifah utama tersebut, hanya Abu Bakar As-Shiddiq yang meninggal wajar tanpa dibunuh. Itulah awal perjalanan sejarah Islam.

Dari gambaran di atas, salahkah jika orang menyatakan Islam itu radikal dan ekstrim? Jika ada orang menuduh Islam seperti itu, jangan marah dulu. Juga tak perlu apriori. Sejarah memang membuktikannya. Radikalisme diakui atau tidak, memang sudah tercatat di awal perkembang sejarah Islam.

Tiga orang khalifah al rasyidin, yang juga sahabat-sahabat Rasul terdekat - Umar bin Khatab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib - meninggal karena radikalisme. Terlebih lagi setelah perang Siffin, antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah, radikalisme Islam makin menjadi-jadi. 

Setelah itu, kekhalifahan-kekhalifahan Islam bermunculan silih bergant - baik dari dinasti Umayyah maupun Abbasiyah - dengan pemerintahan despot dan berlumur darah. Hampir setiap pergantian khlalifah berlangsung dengan cara yang tidak wajar. Dendam, pengkhianatan dan pembunuhan.

Lahirnya kelompok Khawarij yang mengusung doktrin “la hukma illallah” pada masa itu yang mengkafirkan siapa saja yang berbeda paham dengannya, menjadikan ‘orang luar’ melihat Islam sebagai agama teror. 

Pasang surut paham dan gerakan radikal ini tercatat dalam perjalanan sejarah Dunia Islam. Meski agama Islam secara esensial dihadirkan Allah melalui Nabi Muhammad sebagai agama damai, tapi paham radikal tersebut tak pernah benar-benar lenyap. Bahkan ketika kelompok Khawarij secara historis telah hilang, paham dan ideologi radikal tetap hidup. Ideologi radikalisme tak pernah mati sepanjang sejarah Islam.

Di zaman modern, ideologi Islam radikal makin menakutkan. Peristiwa 11/9/01 yang menghancurkan World Trade Center, New York, menjadi isu radikalisme agama terpenting di abad 21. Kehadiran Negara Islam Irak dan Siria (ISIS) menambah ketakutan dunia terhadap Islam. Sejak ISIS mendeklarasikan diri sebagai Kekhalifahan Islam, 2004, ratusan ribu orang dibunuh di Irak, Suria, dan wilayah wilayah yang dikuasainya.

ISIS makin menakutkan setelah organisasi radikal Islam yang lain seperti Boko Haram di Nigeria, Thaliban di Afghanistan, dan Abu Sayaf di Filipina berbai’at kepada Abu Bakar Al Baghdadi, Khalifah ISIS. Kehadiran ISIS makin menguatkan keyakinan masyarakat internasional bahwa ideologi Islam radikal tak akan pernah mati.

Saat ini, fenomena radikalisme di dunia internasional makin mencekam karena gerakan-gerakan ideologi radikal dan ekstrimtersebut. Negara-negara Islam dan Timur Tengah menjadi panggung pertunjukan kekejamannya. 

Dunia kini menyaksikan jutaan pengungsi dari Timur Tengah dan negara-negara Islam lain menyerbu Eropa, Amerika, Kanada, dan Australia. Mereka ketakutan, lari dari negaranya yang terus berperang.

Kini, Suriah, Palestina, Irak, Yaman, Pakistan, Afghanistan, Filipina, Indonesia, Mesir, Libya, Ethiopia, dan Nigeria, – semuanya negara Islam atau mayoritas penduduknya beragama Islam – menjadi tempat yang yang dianggap berbahaya, karena banyaknya aksi-aksi terorisme yang mengancam kemanusiaan.

Lalu, bagaimana Indonesia – negara dengan jumlah penduduk Islam terbesar di dunia? Akankah digerogoti ideologi Islam radikal yang membahayakan itu? Dunia tak akan pernah melupakan ledakan dahsyat bom Bali satu dan dua. Setelah itu, puluhan bahkan ratusan kasus terorisme menggetarkan Indonesia. 

Kelompok-kelompok intoleran dan radikal pun tumbuh di mana mana. Bahkan kelompok intoleran ini kadang mendapat dukungan sebagian tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh politik, bahkan pegawai negeri.

Setara Institute, misalnya, dalam risetnya menemukan banyak perguruan tinggi negeri ternama yang sudah terpapar virus intoleransi dan radikalisme. 

Kita masih ingat, bagaimana seorang dosen salah satu perguruan tinggi negeri ternama menjadi “dalang” pemboman di Jakarta. Di pihak lain, banyak organisasi berlabel Islam yang aksi-aksinya mengindikasikan penyebaran intoleransi dan radikalisme.

Gambaran tersebut, jelas sangat mencemaskan masa depan Indonesia yang negaranya berdasarkan Pancasila. Kenapa? Intoleransi dan radikalisme adalah benih-benih terorisme. Orang menjadi teroris awalnya intoleran dulu. Lalu radikal. Kemudian menjadi teroris.

Jadi, jangan anggap remeh meruyaknya intoleransi di sekitar kita. Di tahap ini, sebagian umat beragama masih melindungi intoleransi dengan alasan “keyakinan agama” yang harus dipelihara. Dari intoleransi, tumbuh radikalisme. 

Pada tahap ini pun, tak sedikit umat mendukungnya atas nama fanatisme dan pemurnian ajaran agama. Ketika aksi terorisme meledak, para pendukung intoleransi dan radikalisme cuci tangan, dengan menyatakan tak ada terorisme dalam agama. (Kasus “terciduknya” elit Jamaah Islamiyah di MUI adalah contoh, betapa lembaga keagamaan sering menjadi tempat berkembangbiaknya paham radikalisme dan terorisme).

Sayyidina Ali ketika menyaksikan kaum radikal membentangkan bendera bertuliskan kalimat dua syahadat di hadapannya, menyatakan: Mereka sesungguhnya kaum kafir dan munafik yang menunggangi Islam untuk memuaskan hawa nafsunya. Mereka adalah musuh-musuh Allah dan Rasulnya.

Apa yang dinyatakan Ali, menantu Rasulullah, kini terbukti. Agama telah ditunggangi kaum radikal dan teroris untuk menghancurkan kemanusiaan atas nama Tuhan. Jauh sekali dengan tujuan Allah menghadirkan Nabi Muhammad di muka bumi: Untuk memperbaiki akhlak manusia dan rahmat bagi alam semesta. 

*Wartawan Senior

Berita terkait
PBB Minta Israel Cabut Tuduhan Terorisme pada Kelompok HAM Palestina
Penunjukan Israel atas kelompok masyarakat sipil Palestina sebagai organisasi teroris adalah serangan yang tidak dapat dibenarkan
Jumlah Kasus Terorisme Domestik di AS Melonjak
Banyak dari teroris itu bertindak sendiri dan didorong permusuhan rasial atau ideologi anti pemerintah
Iran Ingin Afghanistan Bebas dari Perang dan Terorisme
Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian dalam percakapan telepon dengan mantan Presiden Afghanistan Hamid Karzai hari Selasa, 7 September
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.