Oleh: Sukron Makmun*
Konflik Palestina-Israel yang kembali terjadi pada tahun ini (Ramadan 1442 H), tentunya menimbulkan simpati dari negara-negara lain di dunia, tak terkecuali Indonesia. Saya jadi bertanya-tanya, tentang akar konflik itu sendiri, apakah konflik di sana itu akan terus berulang, tidak ada solusinya? Apakah perang akan menyengsarakan kedua belah pihak? Atau justru menguntungkan pihak-pihak tertentu?
Perdamaian haruslah diutamakan. Karena perang tidak akan membuat Israel menjadi lebih maju atau tambah kuat. Justru peranglah yang mengubah nasib Palestina dari buruk menjadi lebih buruk lagi. Rakyat menderita.
Hanya sedikit kelompok kecil yang dapat keuntungan dari perang tersebut. Di luar para pihak yang bertikai (Palestina-Israel), yang paling diuntungkan adalah para pemasok senjata, bisnis adalah bisnis, tidak memiliki kebangsaan dan tidak peduli dengan kemanusiaan. Semuanya hampir sama!
Sementara, ada pihak lain baik di internal pihak yang bertikai, maupun di luar itu, ada juga yang mengambil keuntungan. Pertama, penerima atau penggalang donasi, yang kedua adalah para politikus yang rajin memainkan simbol-simbol agama. Yang terakhir, berlomba-lomba menggunakan isu-isu untuk meningkatkan popularitasnya ataupun punya tujuan lain, yaitu mengumpulkan pundi-pundi aset atau uang.
Pihak Israel, misalnya, ada partai Likud yang disinyalir telah sengaja merawat konflik ini, agar mereka bisa menarik simpati maupun donasi dari komunitas Yahudi di seluruh dunia. Mereka tahu, bahwa sekitar 2/3 aset dunia ini dikuasai Yahudi.
Kalau mereka menyumbangkan 2,5 persen saja dari aset mereka, sudah tampak berapa dana yang bisa terkumpul. Sementara di pihak Palestina, ada Hamas yang menjelaskan cara-cara Likud.
Kelompok ini tidak mau bersatu dengan Fatah, yang setuju menerima Oslo (20 Agustus 1993), mendukung solusi dua negara yang digagas oleh negara-negara Islam pada KTT Liga Arab (2002) dan KTT OKI (2016).
Hamas tidak mau kalah dengan Likud, mereka terus membangun narasi “Jihad Merebut Kota Suci”. Keduanya (Hamas dan Likud) sama-sama membangun narasi yang sama, dan terus saling mengklaim bahwa Yerussalem adalah kota suci mereka.
Mengajak kelompok yang simpati untuk berperang atas nama Tuhan.
Mirip konflik pada saat perang Salib (Kristen) dan perang Sabil (Islam) dulu. Bisnis yang dibungkus politik identitas terbukti efektif sekali. Apalagi jika melayani negara yang belum melek literasi. Narasi merebut kota suci digunakan untuk mengemas kepentingan politik dan ekonomi.
Orang-orang kaya baik yang ada di negara-negara Arab maupun negara muslim lainnya, gampang sekali disentuh emosinya untuk membantu perjuangan “suci” itu. Di Indonesia banyak yang terpanggil karena ikatan emosional keagamaan.
Jika per kepala berdonasi 10 ribu rupiah saja, seandainya dikalikan 100 juta orang, maka sudah 1 triliun rupiah. Bombastis dan menggiurkan bukan? Tapi, motif kompleksitas politik dan ekonomi yang disebut tadi, tidak perlu mengurangi niatan siapa pun untuk membantu mereka atas dasar kemanusiaan. Yang penting bantuan tersalurkan dengan baik dan tepat.
Padahal, berdasar survei yang dirilis Pusat Penelitian Perdamaian Tami Steinmetz di Universtitas Tel Aviv dari 3 opsi yang ditawarkan, ternyata 43 % rakyat kedua belah pihak lebih memilih “dua negara berdampingan secara damai”.
Artinya saling mengakui kedaulatan Palestina dan Israel. Dalam hukum internasional, sebuah negara yang sudah berdiri secara hukum tidak bisa dihapuskan secara sepihak.
Apalagi Israel merupakan pemenang perang 6 hari dengan koalisi negara-negara Arab (1967), perang Yom Kippur, koalisi Mesir-Suriah (1973) dan perang-perang berikutnya Israel-Palestina. Israel secara resmi berdiri sejak tahun 1947 atas restu Amerika Serikat. Kemudian oleh Palestina melalui Perjanjian Oslo (1993).
Sementara, Palestina diakui kemerdekaannya pada 15 November 1988 dengan Partition Plan yang diusulkan PBB (1947) sebagai basis legal. Baru kemudian diakui kemerdekaannya oleh 139 negara di dunia, di mana benderanya boleh berkibar di markas PBB di New York tahun 2015.
Ditilik dari tinjauan agama dan politik, Palestina-Israel memang mewarisi sejarah konflik yang panjang. Dengan lebih mendukung HAMAS ketimbang Fatah, artinya rakyat Palestina masih ingin meneruskan konflik panjang itu.
Atas nama kemanusiaan, saya tidak ingin melihat Israel meluluhlantakkan Gaza, tapi saya juga tidak sepakat ketika melihat para petinggi Hamas lebih mengedepankan ambisi politiknya, ketimbang melihat fakta akan lebih banyaknya korban yang jatuh berguguran di pihak Palestina.
Mereka harusnya tidak menutup mata, korban lebih banyak masyarakat sipil ketimbang para milisi Hamas.
- Baca Juga : Siapa yang Bisa Pimpin Mediasi Konflik Israel dan palestina
- Baca Juga :Sikap Tokoh Lintas Agama Dalam Krisis Kemanusia Palestina
Saya hanya prihatin dengan korban yang jatuh dari kedua belah pihak, Palestina maupun Israel. Tapi mau bagaimana lagi, ketika pemerintah Indonesia, atas nama konstitusi, secara resmi menyatakan Israel sebagai negara berdaulat.
Kendati, pada saat yang sama RI mendukung tawaran two states solution (solusi dua negara) PBB untuk Palestina-Israel. Paradoks dan gaya ambigu.
Mungkin banyak yang apriori dengan konflik ini. Seolah-olah konflik ini memang sengaja dipelihara oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan tertentu.
*Intelektual Muda Nahdlatul Ulama