Untuk Indonesia

Opini: Anak-anak (Haram) Revolusi

Ini bukan cerita tentang Ganjar Pranowo melawan Prabowo Subianto, juga bukan tentang Gerindra atau PDIP.
Mixil Mina Munir

Oleh: Mixil Mina Munir, Ketua DPP Banteng Muda Indonesia


TAGAR.id, Jakarta - ”Menurutmu, siapa yang menculik? Apa benar itu dari Tim Mawar Kopassus atas perintah Prabowo?”, tanya Budiman penasaran.

”Terus terang saja, aku tidak tahu persis, karena mataku terus ditutup selama dalam penyekapan. Tak pernah kulihat wajah mereka sama sekali. Tapi, seperti yang kita ketahui dari media, ya dari Tim Mawar Kopassus!”

Dialog Budiman Sudjatmiko dan Sekjend PRD Petrus Haryanto pada halaman 43 buku “Anak-anak Revolusi” karya Budiman Sudjatmiko.

Budiman sangat tahu orang yang menculik kawan-kawannya, Ia adalah Prabowo Subianto. Mantan Danjen Kopassus, ketua Tim Mawar, orang yang kini didukungnya untuk menjadi Presiden Republik Indonesia.

Budiman Sudjatmiko adalah sejarah tentang pemuda, tentang keberanian, perlawanan, cerita tentang runtuhnya rezim Orde Baru. Namun ditengah perjaIanan hidupnya, Budiman Sudjatmiko berubah menjadi cerita tentang pengkhianatan seorang pejuang.

Pengkhianatan Budiman bukan kepada PDI Perjuangan, juga bukan kepada Ganjar Pranowo. Jika membaca bukunya, Budiman sejatinya berkhianat kepada para mantan tahanan politik orde baru, korban-korban penculikan, kawan-kawannya yang sampai saat ini belum kembali, lebih lagi Budiman berkhianat pada demokrasi dan kemanusiaan, semuanya ditulis tuntas pada buku setebal 500 halaman.

Dalam bukunya Budiman cerita tentang kekejaman dan kediktatoran rezim orde baru secara gamblang dan lugas. Saat menjadi tahanan politik, dinamika menjadi aktivis, peristiwa 27 Juli 1996 serta sepak terjang PRD. Ia juga menulis tentang mimpi-mimpinya, cita-citanya untuk Indonesia yang harus bisa menuntaskan pelanggaran HAM.

Jum'at malam 18 Agustus 2023, Ia datang ke Marina Convention centre Semarang, menyerahkan lehernya pada sang pelaku. Jika Budiman berpikir ia didaulat menjadi ketua tim Relawan Prabu boleh-boleh saja. Namun bagi Prabowo bisa saja berpikir beda, kok ada musuh menyerahkan dirinya, tunduk dan patuh tanpa syarat.

Setelah memutuskan mendukung Prabowo Subianto, goresan tinta emas tentangnya hancur seketika, dihapus oleh keputusannya sendiri. Ia yang menjadi pimpinan pemuda yang berani melawan tirani orde baru, ia yang rela menjadi korban demi reformasi kini telah balik badan.

Peristiwa 27 Juli 1996 adalah awal cerita tentang Budiman Sudjatmiko dan PRD. Ia adalah symbol perlawanan kala itu. Keberanian dan heroisme yang harusnya Ia wariskan kepada para pemuda, tidak bisa ia ceritakan kembali. Menjadi tahanan politik dan penculikan yang jadi konsekwensi logis perjuangan tak bisa ia pertanggungjawabkan kepada kawan-kawannya, karena kini ia bergandengan tangan dengan sang pelaku.

Ini bukan cerita tentang Ganjar Pranowo melawan Prabowo Subianto, juga bukan tentang Gerindra atau PDIP. Tapi ini cerita tentang pengkhianatan aktivis dan rezim otoriter, juga tentang pelaku dan korban. Pelaku yang berhasil membujuk korban disatu sisi, serta korban yang berharap jabatan dari pelaku pada sisi lain.

Prabowo tahu bahwa Budiman adalah kunci. Kunci untuk penyucian dirinya, kunci untuk menghapus jejak darah ditangannya. Prabowo tahu bahwa Budiman bukan pemegang basis pemilih Ganjar di Jawa Tengah, ia tahu persis bahwa Budiman basa-basi dalam membuat relawan untuknya. 

Namun Prabowo butuh orang untuk kampanye bahwa Ia bukan mantan Jendral yang berlumuran darah. Prabowo butuh mulut Budiman untuk tampil di media massa, membuat opini dan posting-posting di media sosial.

Pada halaman 41 bukunya, Budiman pun menulis kekejaman Tim Mawar Kopassus kepada sahabatnya Faisol Reza.

” aku disetrum berkalikali. Sebelum disetrum, mereka ikatkan kedua tangan dan kakiku ke kursi. Itu berlangsung sampai malam, sambil aku terus berpikir melindungi jaringan kita yang masih di luar. Disetrum lagi, dipukuli lagi, digantung, badanku juga disulut api berkali-kali, disuntik entah pakai cairan apa, dan lainlain. Benar-benar gilalah, kupikir aku bakal mati malam itu. Aku mikir ’sialan, belum kawin sudah mati duluan!’”, lanjut Reza sambil mencoba melucu. Sayangnya dia gagal secara menyedihkan untuk membuat kami tertawa.[]

Berita terkait
Opini: WFH bukan Solusi atas Masalah Polusi di Jakarta
Catatan Timboel Siregar menanggapi Menteri Luhut Binsar Pandjaitan yang menginstruksikan PNS DKI Jakarta melakukan WFH untuk menurunkan polusi.
Opini: Penerapan Hukum Modern di Indonesia
Pembangunan hukum yang berkarakter modern didasarkan pada dinamika masyarakatnya, yaitu masyarakat yang berada dalam modernisasi.
Opini: Mekanisme Terbaru Pembiayaan Covid-19
Saya berharap Pemerintah Pusat dan Pemda tetap menjamin pembiayaan Covid-19 bagi masyarakat miskin dan tidak mampu yang JKN-nya dinonaktifkan.
0
Opini: Anak-anak (Haram) Revolusi
Ini bukan cerita tentang Ganjar Pranowo melawan Prabowo Subianto, juga bukan tentang Gerindra atau PDIP.