Motif Pembakaran Bendera PDI Perjuangan

Pertanyaannya, kenapa sih mereka membakar bendera PDI Perjuangan? Begini, kita tahu PDIP itu partai pemenang pemilu, pendukungnya banyak banget.
Ilustrasi - Orang-orang mengibarkan bendera PDI Perjuangan. (Foto: Media Indonesia/Andri Widiyanto)

Demo pembakaran bendera PDIP kayaknya berbuntut panjang. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, juga Ketua Umum PDIP Bu Mega, sampai membuat seruan agar kader-kadernya menahan diri dan para pengurus teras ini mendorong masalah ini dibawa ke jalur hukum.

Kalau kita lihat gerombolan pendemo kayaknya ngeles. Mereka bilang, yang membakar bendera PDIP adalah penyusup. Kalau saya sih enggak percaya omongan gitu. Anda lihat saja, pembakaran bendera itu dilakukan di tengah-tengah demonstran. Kalau mau dibakar kan berarti benderanya sudah disiapkan dari awal. Saat dibakar, enggak ada satu orang pun yang mencegahnya.

Bahkan dalam video yang beredar, orator di atas panggung ikut memanasi, saat berlangsungnya pembakaran bendera tersebut. Terus pertanyaannya, kenapa sih mereka membakar bendera PDIP? Begini, kita kan tahu nih, PDIP itu partai pemenang pemilu. Pendukungnya banyak banget. Nah, gerombolan yang membakar bendera itu sudah menghitung kalau ada simbol-simbol partai yang dinistakan, pasti reaksi dari kader-kader PDIP akan sangat keras.

Pembakaran bendera ini adalah langkah untuk memercik emosi, targetnya apa? Ya biar terjadi konflik sosial. Tujuannya mengadu kaum nasionalis yang memang banyak di Indonesia dan kaum agama. Nah ini yang paling repot. Kalau kita perhatikan mereka ini memang selalu berusaha membenturkan Islam dan nasionalisme.

Gerombolan palsu pembela Pancasila ini tujuannya semata-mata kekuasaan. Mereka mau menegakkan khilafah di Indonesia atau menegakkan negara berdasarkan agama tertentu. Tapi masalahnya gerombolan ini enggak akan pernah dapat peluang kalau demokrasi di Indonesia jalannya mulus, pergantian kekuasaan berlangsung konstitusional, lewat pemilu misalnya.

Kalau diibaratkan di Indonesia, mereka itu kayak slilit yang nempel di sela-sela gigi gitu. Bentuknya kecil, cuma secuil, tapi bikin ribet. Enggak enak. Anda mesti congkel-congkel gitu. Nah, bagaimana mereka mau berkuasa? Caranya dengan membuat konflik besar, dengan membikin masyarakat chaos. Nah, itulah satu-satunya peluang mereka merebut kekuasaan.

Makanya yang diciptakan selalu konflik. Mengadu antarkekuatan masyarakat agar terjadi benturan. Coba Anda perhatikan ulah para pengasong khilafah ini. Justru di wilayah-wilayah yang komposisi penduduk muslim dan nonmuslimnya berimbang, mereka selalu berusaha mencetuskan gesekan-gesekan. Sebab konflik besar hanya bisa terjadi kalau ada dua kekuatan seimbang.

Pembakaran bendera ini adalah langkah untuk memercik emosi, targetnya apa? Ya biar terjadi konflik sosial. Tujuannya mengadu kaum nasionalis yang memang banyak di Indonesia dan kaum agama.

Misalnya kekuatan muslim di satu masyarakat, muslim dan kristennya berimbang, nah itu peluang konfliknya tinggi. Tapi kalau misalnya masyarakat muslimnya mayoritas, yang kristennya sedikit atau hindunya sedikit enggak jadi konflik, yang ada cuma penindasan.

Anda ingat enggak saat kampanye presiden 2019 yang dihadiri capres Prabowo Subianto. Waktu itu di Manado, justru ketika di Manado dikibarkan bendera HTI. Anda bayangkan Manado, Anda tahu dong komposisi masyarakatnya kayak apa.

Belum lama ini ada suami istri ditangkap di NTT, karena menyebarkan brosur khilafah. Anda mengerti dong NTT itu komposisi masyarakatnya kayak apa? Bahkan menurut data, perkembangan HTI itu paling pesat di Papua. Dan kita juga sudah mengerti, Papua masyarakatnya kayak apa komposisinya.

Demikian juga mereka membangun basis di Poso yang pernah konflik berdasarkan agama di sana. Mereka selalu berusaha membuat gesekan yang ujungnya tercetus konflik.

Kita sudah punya pengalaman, Ambon, Poso, dan beberapa di tempat yang lain. Di tengah konflik itulah mereka jualan khilafah. Seolah-olah khilafah yang menjadi penjawab masalah.

Demikian juga dengan isu Pancasila kayak ini. Mereka seolah berdiri paling depan membela Pancasila. Padahal boro-boro mengakui Pancasila. Yang paling simpel enggak usah HTI, FPI saja misalnya, enggak ada satu pun kata Pancasila tercantum dalam AD/ART-nya. Enggak ada.

Sebetulnya menurut saya sih ya, debat ideologi di zaman kayak gini, itu kayak kita meributkan pepesan kosong. Mestinya sudah selesai. Kita sudah sepakat membangun Indonesia berdasarkan Pancasila, ideologi kita. Jadi enggak perlu lagilah ada debat-debat yang ideologikal kayak begitu. Sudah final. Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, UUD 45 itu sebagai dasar negara kita.

Justru yang dibutuhkan sekarang ini adalah menerjemahkan nilai-nilai filosofis itu ke dalam kubangan zaman, ke dalam bentuk kegiatan masyarakat. Agar ideologi yang kita yakini sebagai pemersatu bangsa bisa terus relevan dengan kemajuan zaman.

Menurut saya ideologi itu harus punya daya gerak yang menghela perjalanan Indonesia menjawab kebutuhan zaman. Ini yang dibutuhkan Indonesia sekarang. Jadi bukan soal debat yang ngawang-awang terus. Ini membentur-benturkan antara nasionalisme dan Islam.

Membenturkan antara Pancasila sesuai dengan Islam apa enggak, itu sudah enggak laku. Pengasong khilafah memang selalu enggak pernah naik kelas debatnya. Berputar-putar di situ saja. Yang komunisme lah, PKI-lah, liberallah, yang negara thogutlah, yang hormat bendera haram lah, tawaran hijrah, melulu di situ-situ saja. Sekalinya debat yang agak praktis, paling pelatihan poligami. Enggak ada tuh yang lebih praktis yang lain, yang secara relevan bermanfaat buat kehidupan.

Sekarang ini cuma gerombolan khilafah yang selalu mempersoalkan atau mendebatkan problem-problem langit itu.

Bagi kita Pancasila sebagai ideologi itu memang perlu penerjmahan konsep operasionalnya. Perlu diadaptasi dengan perkembangan zaman. Itu yang mestinya penting sekarang. Saya misalnya suka sama gerakan yang diinisiasi Mas Budiman Sudjatmiko. Misalnya dia mendorong konsep keadilan sosial sebagai poin penting dari Pancasila, dengan usahanya memperjuangkan UU Desa.

Menurut saya itu sangat menarik. Terus dia juga mencoba mengoperasionalkan ideologi bangsa dengan sebuah konsep besar. Misalnya dia mendorong kelompok innovator 4.0, sebuah proyek kesetaraan digital yang menurut saya keren. Informasi dan pengetahuan dari putra-putra Indonesia dengan berbagai keahlian dari seluruh dunia dikumpulkan lalu didistribusikan kepada seluruh segmen masyarakat, gunanya untuk menstimuli lahirnya gagasan-gagasan baru yang lebih operasional.

Bukan debat ngawang-awang enggak jelas seperti gerombolan HTI itu.

Atau ada lagi, kita juga mengenal Azmi Abubakar. Dia seorang putra Aceh, berdarah Aceh, yang kita kenal selalu mengingatkan kita terhadap peran sejarah kaum Tionghoa yang tidak sedikit jasanya bagi Indonesia. Politikus PSI ini menggagas museum peranakan Tionghoa.

Bagi Azmi, keberadaan Suku Tionghoa di Indonesia sama penting dengan suku lainnya. Pun sumbangannya juga sama pentingnya dengan suku-suku lainnya. Menurut saya, Azmi terus bergelut untuk mengoperasionalkan makna Bhineka Tunggal Ika dalam kegiatan hari-harinya.

Yang lain misalnya di masa pandemi ini, kita kenal Dr. dr. Theresia Monica. Perempuan ini gigih mengkampanyekan langkah terapi plasma konvalesan untuk penyembuhan pasien Covid-19. Bersama beberapa rekan dia menyusun buku panduan untuk terapi murah meriah, yang hasilnya sangat positif dan membantu pasien Covid-19.

Saya ingin bilang begini, sebagai ideologi, Pancasila sudah final. Yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah usaha menerjemahkan nilai-nilai Pancasila sesuai kebutuhan zaman. Agar ideologi kita ini tidak menjadi barang kaku yang cuma ada di rak buku. Ideologi perlu kaki untuk berjalan, bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat. Bergelut dengan segala kepentingan kehidupan.

Sementara debat-debat soa langit atau konsep-konsep langit, seperti apakah Pancasila sudah sesuai dengan agama, sudah selesai. Para pendiri bangsa kita dari awal sudah berdebat itu dan sudah punya solusi. Kita tinggal meneruskan, kenapa bolak-balik ke sana lagi. Sekarang ini cuma gerombolan khilafah yang selalu mempersoalkan atau mendebatkan problem-problem langit itu, yang sebetulnya perdebatannya sudah kelewatan beberapa puluh tahun yang lalu.

Saya cuma mau bilang begini, bahwa kita tidak perlu lagi masuk ke dalam perdebatan bahwa ini Pancasila sesuai syariat atau enggak? Agama dibenturkan sama negara, agama dibenturkan sama nasionalisme, itu sudah selesai. Yang dibutuhkan sekarang adalah penerjemahan ide-ide besar itu ke dalam kerja yang konkret seperti yang tadi saya contohkan beberapa orang, yang menurut saya punya sumbangsih luar biasa bagi penerjemahan Pancasila.

Saya cuma mengajak Anda berpikir. Kesimpulannya terserah Anda. 

*Pegiat media sosial

Berita terkait
Bendera PDIP Dibakar, Ruhut : Menunggu Kematiannya
Ruhut meminta pihak-pihak yang melakukan pembakaran itu untuk bersiap-siap menerima konsekuensi hukum atas pembakaran bendera PDIP.
PDIP Anggap Pembakar Bendera Ibarat Virus Corona
DPC PDIP Kota Yogyakarta menganggap pembakar bendera partai ibarta virus Corona. Kenapa?
Kronologi Pembakaran Bendera PDI Perjuangan
PDIP menempuh jalur hukum terkait pembakaran bendera partainya oleh demonstran di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Rabu, 24 Juni 2020.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.