Merger dan Sejarah Lahirnya Bank Syariah di Indonesia

Kementerian BUMN menyiapkan skema penggabungan usaha atau merger tiga bank syariah BUMN, yakni Bank Syariah Mandiri, BRI Syariah, dan BNI Syariah.
Data Pembiayaan Perbankan Syariah (Foto: Tagar/OJK/Data Pembiayaan Syariah).

Jakarta - Kementerian Badan Usaha Milik Negara menyiapkan skema penggabungan usaha atau merger tiga bank syariah BUMN. Ketiga bank syariah itu yakni Bank Syariah Mandiri, Bank BNI Syariah dan Bank BRI Syariah.

Bila rencana ini terwujud, bank syariah hasil merger ini akan menjadi entitas dengan aset lebih dari Rp 200 triliun. Dengan aset sebesar itu, berpeluang menjadikan bank syariah baru ini menjadi salah satu dari 10 lembaga keuangan syariah teratas dunia.

Bank syariah memiliki sejarah dan latar belakang yang cuku panjang di Indonesia. Deregulasi perbankan dimulai sejak tahun 1983. Pada tahun tersebut, Bank Indonesia memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk menetapkan suku bunga.

Pemerintah berharap dengan kebijakan deregulasi perbankan maka akan tercipta kondisi dunia perbankan yang lebih efisien dan kuat dalam menopang perekonomian. Pada tahun 1983 tersebut pemerintah Indonesia pernah berencana menerapkan "sistem bagi hasil" dalam perkreditan yang merupakan konsep dari perbankan syariah.

Pada tahun 1988, pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88). Beleid ini membuka kesempatan seluas-luasnya kepada perbankan untuk menunjang pembangunan atau liberalisasi sistem perbankan. Perbankan konvensional bermunculan bak jamur di musim hujan. Beberapa usaha-usah perbankan yang bersifat daerah yang berasaskan syariah juga mulai bermunculan.

OJKGedung Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (Foto: ojk.go.id)

Inisiatif pendirian bank Islam Indoensia dimulai pada tahun 1980 melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti).

Muamalat Indonesi, Pioner Bank Syariah

Mengutip dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tahun 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia. Pada tanggal 18 – 20 Agustus 1990, MUI menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia.

Kelompok kerja yang disebut Tim Perbankan MUI mendapat tugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait. Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirilah bank syariah pertama di Indonesia yaitu PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-

Pada awal masa operasinya, keberadaan bank syariah belumlah memperolehperhatian yang optimal dalam tatanan sektor perbankan nasional. Landasanhukum operasi bank yang menggunakan sistem syariah, saat itu hanya diakomodir dalam salah satu ayat tentang "bank dengan sistem bagi hasil" pada UU No. 7 Tahun 1992 mengenai Perbankan, tanpa rincian landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan.

Pada tahun 1998, pemerintah dan DewanPerwakilan Rakyat (DPR) menyempurnakan UU No. 7/1992 tentang Perbankan menjadi UU No. 10 Tahun 1998. UU hasil revisi ini secara tegas menjelaskan bahwaterdapat dua sistem dalam perbankan di Tanah Air (dual banking system),yaitu sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan syariah.

Kebijakan ini mendapat respon positif di kalangan masyarakat perbankan. Saat itu berdiri beberapa bank Islam antara lain Bank IFI, Bank Syariah Mandiri, Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh, dan lainnya..

Pengesahan beberapa produk perundangan yang memberikan kepastian hukum dan meningkatkan aktivitas pasar keuangan syariah, seperti: UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, UU No.19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (sukuk), dan UU No. 42 tahun 2009 tentang Amandemen Ketiga UU No.8 tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa.

Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65 persen per tahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.

Lahirnya UU Perbankan Syariah mendorong peningkatan jumlah badan usaha syariah (BUS) dari semula 5 menjadi 11 BUS. Pencapaian itu hanya dalam kurun waktu kurang dari dua tahun (2009-2010).

Data DPK Perbankan Syariah

Data DPK Perbankan Syariah. (Foto: Tagar/OJK/Data Perbankan Syariah).

Sejak mulai dikembangkannya sistem perbankan syariah di Indonesia, dalam dua dekade pengembangan keuangan syariah nasional, sudah banyak pencapaian kemajuan, baik dari aspek lembagaan dan infrastruktur penunjang, perangkat regulasi dan sistem pengawasan, maupun awareness dan literasi masyarakat terhadap layanan jasa keuangan syariah. Sistem keuangan syariah Indonesia menjadi salah satu sistem terbaik dan terlengkap yang diakui secara internasional.

Perkembangan Perbankan Syariah

Per Juni 2015, industri perbankan syariah terdiri dari 12 Bank Umum Syariah, 22 Unit Usaha Syariah yang dimiliki oleh Bank Umum Konvensional dan 162 BPRS dengan total aset sebesar Rp 273,494 triliun dengan pangsa pasar 4,61 persen. Khusus untuk wilayah Provinsi DKI Jakarta, total aset gross, pembiayaan, dan dana pihak ketiga (BUS dan UUS) masing-masing sebesar Rp 201,397 triliun, Rp 85,410 triliun dan Rp 110,509 triliun

Pada akhir tahun 2013, fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan berpindah dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan. Maka pengawasan dan pengaturan perbankan syariah juga beralih ke OJK.

OJK selaku otoritas sektor jasa keuangan terus menyempurnakan visi dan strategi kebijakan pengembangan sektor keuangan syariah yang telah tertuang dalam Roadmap Perbankan Syariah Indonesia 2015-2019 yang dilaunching pada Pasar Rakyat Syariah 2014. Roadmap ini menjadi panduan arah pengembangan yang berisi insiatif-inisiatif strategis untuk mencapai sasaran pengembangan yang ditetapkan.

Perbankan syariah terus menunjukkan perkembangan yang positif. Berdasarkan data OJK Maret 2020, pangsa pasar perbankan syariah mencapai 5,99 persen. Dari pangsa pasar tersebut, mencakup bank umum syariah 65,22 persen, unit usaha syariah 32,17 persen dan bank pembiayaan rakyat syariah 2,62 persen.

Total aset dari 14 bank umum syariah mencapai Rp 349,95 triliun, dengan pembiayaan yang diberikan (PYD) dan dana pihak ketiga (DPK) masing-masing Rp 228,39 triliun dan Rp 289,36 triliun. Total aset 20 unit usaha syariah mencapai Rp 172,61 triliun, dengan PYD dan DPK masing-masing Rp 133,26 triliun dan Rp 125,10 triliun.

Sementara total aset bank pembiayaan rakyat syariah (163 unit) mencapai Rp 14,04 triliun. PYD dan DPK masing-masing tercatat Rp 10,68 triliun dan Rp 9,10 triliun. []


Berita terkait
Pasar Diprediksi Tak Berubah Pasca Merger Bank Syariah BUMN
Pengamat Ekonomi dan Pasar Modal, Siswa Rizali memprediksi dimergernya tiga bank syariah BUMN tidak akan mengubah pasar.
3 Bank Syariah BUMN Sepakat Merger, Pengamat: Bisa Naik Kelas
Pengamat Ekonomi dan Pasar Modal Siswa Rizali menilai rencana merger bank syariah BUMN menjadikan bank syariah naik kelas di perbankan Indonesia.
Merger Bank Syariah BUMN, Ini Kinerja BRI Syariah
Bank BRI Syariah menjadi salah satu bank syariah BUMN yang akan dimerger oleh Kementerian BUMN. Berikut catatan kinerja Bank BRI Syariah.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.