Menyelisik Paham dan Mimpi Kaum Ahmadiyah Bogor

Pengikut Ahmadiyah di Bogor tetap menjalankan keyakinannya meski pernah mengalami hal tak menyenangkan di masa lalu. Seperti apa?
Jemaah Ahmadiyah Kota Bogor foto bersama setelah berdiskusi dengan Tagar dan perwakilan HMI Institut Tazkia, di Masjid Al-Fadhl, Kota Bogor, Sabtu 8 Februari 2020. (Foto: Tagar/Javier M Zuhrijadi)

Bogor - Paham Ahmadiyah jadi perhatian publik Tanah Air, khususnya dari kalangan Islam, beberapa waktu lalu. Karena dianggap tak sesuai dengan paham yang diyakini umat muslim arus utama. Kaum Ahmadiyah jadi bulan-bulanan, tempat ibadah dibakar, bahkan banyak pengikutnya yang diburu hendak dibunuh. 

Faktanya, Ahmadiyah masih bertahan. Jemaahnya tetap eksis dan siap membuka diri dengan siapapun untuk berdiskusi. Tagar penasaran dan mencoba bertemu dengan para Ahmadi, sebutan penganut Ahmadiyah. Salah satunya dengan pengurus Ahmadiyah di wilayah Bogor, Jawa Barat. 

Sampai dua putaran berkeliling mencari sebuah masjid di kawasan Jalan Perintis Merdeka, Kecamatan Bogor Tengah. Sulit menemukan lokasi yang tepat dalam Google Maps, kendati sistem pemosisi global telah memastikan titik kordinat lokasi secara akurat. Hingga akhirnya menyadari, masjid mirip rumah itu merupakan tempat yang Tagar cari.

Sebuah masjid yang dikelilingi pagar tembok warna putih dengan pagar utama di bagian depan berwarna hitam. Dan masjid ini punya jejak histori, sekaligus saksi bisu perlakuan masyarakat setempat terhadap para Ahmadi di masa lalu. 

Wajah yang Tagar kenal dari profil Whatsapp menyambut hangat , seperti saudara yang lama tak bersua. Pemuda itu bernama Dika Sutman, Ketua Pemuda Ahmadiyah Kota Bogor. 

Karena jika ingin menanyakan informasi yang valid tentang Ahmadiyah, ya tanyakan saja langsung ke orangnya, sumbernya.

Ia mempersilahkan kami untuk masuk sembari kawan-kawan Ahmadiyah lainnya terus menyapa ramah. Beberapa dari mereka mengenakan peci hitam serta seragam Pemuda Ahmadiyah, ditambah atribut syal bercorak hitam putih. 

Tagar berkesempatan mengunjungi markas Ahmadiyah Kota Bogor di hari Sabtu jelang senja pada 8 Februari 2020. Niatnya hanya ingin mengobrol ringan. Ternyata lewat pesan singkat, Dika menjanjikan sambutan hangat nan ramai. Maka redaksi pun mengajak kawan-kawan Himpunan Mahasiswa Islam atau HMI dari Institut Tazkia untuk ikut di kunjungan diskusi itu.

Kami dibawa menuju lantai dua masjid, yakni ruang rapat organisasi. Sebelum naik tangga, terlihat beberapa pria paruh baya tengah mengaji dan taklim Alquran. Sebuah pemandangan yang bertentangan jika menilik informasi yang beredar di masyarakat mengenai Ahmadiyah.

Markas Ahmadiyah di masjid itu dapat dikatakan sebagai gedung serba guna. Sebab hampir seluruh fasilitas tersedia di sana, mulai dari tempat ibadah, toilet, ruang rapat, ruang khusus untuk ibu, hingga dapur masak. “Silakan masuk Kang, ini ruang rapat kami. Kami biasa mengobrol di sini,” ujar Dika.

Ada tujuh kawan Ahmadiyah yang nimbrung di ruang rapat. Cukup mengejutkan lantaran yang gabung tidak hanya dari pengurus Pemuda Ahmadiyah Bogor. Ada pula perwakilan Ahmadiyah Jawa Barat dan Pengurus Besar Pemuda Ahmadiyah.

”Pertama-tama kami sangat senang atas kehadiran kawan-kawan karena sudah berkunjung langsung ke Ahmadiyah. Karena jika ingin menanyakan informasi yang valid tentang Ahmadiyah, ya tanyakan saja langsung ke orangnya, sumbernya” sambut seorang Ahmadi perwakilan PB Ahmadiyah.

Ahmadiyah2Kehangatan diskusi dengan jemaah Ahmadiyah Kota Bogor di Masjid Al-Fadhl, Kota Bogor. (Foto: Tagar/Javier M Zuhrijadi)

Diskusi Teologis

Begitu masuk dalam forum diskusi, kami menanyakan beberapa hal yang dianggap menjadi pemicu perdebatan keras di tengah masyarakat. Perihal kenabian Mirza Gulam Ahmad, yang dalam nomenklatur agama Islam dinyatakan Muhammad SAW sebagai khataman nabiy alias nabi penutup. Lalu materi seputar kitab suci yang bernama tadzkirah, dan beberapa hal kontroversial lainnya.

“Sebelumnya perlu diketahui, bahwa jemaah Ahmadiyah hanya patuh dan tunduk pada rukun Islam, rukun iman, serta Alquran dan hadis. Jadi secara akidah sama sekali tidak berbeda dengan Islam pada umumnya. Ahmadiyah sama sekali tidak membawa agama dan syariat baru," terang dia. 

Perbedaan Ahmadiyah hanya pada figur Mirza Gulam Ahmad. "Kami mempercayai Hazrat Mirza Gulam Ahmad sebagai Imam Mahdi dan Al Masih yang dijanjikan dalam hadis. Dimana kebanyakan umat Islam yang lain meyakini bahwa Imam Mahdi masih coming soon, tapi kami sudah ada,” lanjutnya. 

“Pun juga katanya kami memiliki kitab suci tadzkirah, itu tidak benar. Kitab kami hanya Alquran, tadzkirah merupakan tulisan harian Mirza Gulam Ahmad. Itu pun baru dibukukan beberapa tahun setelah beliau wafat. Bahkan banyak dari kami yang belum baca tadzkirah.” 

Mengetahui bahwa Mirza Gulam Ahmad merupakan Imam Mahdi yang diramalkan, kami iseng bertanya, jika Imam Mahdi sudah turun apakah Dajjal, musuh utama umat Islam di akhir zaman, sudah muncul pula? 

Kita tahu sendiri kan, siapa yang membuat kekisruhan di dunia internasional, yang mengadu domba negara-negara muslim. Itu lah Dajjal.

Menanggapi hal tersebut, Dika menjelaskan, “Iya itu sudah ada. Kami memahami bahwa Dajjal itu adalah mereka yang menganggap bahwa Tuhan itu beranak, dan itu dijelaskan di surat Al Kahfi. Kami menganggap yang disebut Dajjal adalah mereka yang membuat makar di dunia internasional, bikin kekisruhan." 

Sosok Dajjalnya diyakini para Ahmadi juga bukan berupa sosok monster, raksasa, bermata satu. Mereka menggangap hal itu tak lebih sebuah kiasan. Bermata satu artinya tidak bisa melihat keadilan, hanya melihat satu sisi. Lalu kakinya sedalam lautan, artinya Dajjal itu yang menciptakan teknologi yang bisa menyelam ke laut seperti kapal selam. 

"Kita tahu sendiri kan, siapa yang membuat kekisruhan di dunia internasional, yang mengadu domba negara-negara muslim. Itu lah Dajjal,” ucap dia.

Terkait kekhilafahan Ahmadiyah yang berpusat di London, Dika menyebut jemaah Ahmadiyah saat ini tersebar di lebih dari 200 negara dan memiliki sekitar 10 juta pengikut. 

"Kami memiliki satu khalifah, yang merupakan khalifah kelima Ahmadiyah. Jadi sistem khilafah ini bukan sistem politik, namun lebih pada rohani, kami tunduk dan patuh hanya pada satu khalifah. Kami tetap cinta NKRI, karena perintah khalifah adalah patuh pada pemerintah setempat yang legal,” urainya. 

Ahmadiyah3Masjid Al-Fadhl, pusat kegiatan Ahmadiyah Kota Bogor (Foto: Isa Mujahid Islam)

Nasib Ahmadiyah Setelah SKB

Pembahasan berlanjut seputar kondisi terkini Ahmadiyah pascamaklumat surat keputusan bersama tiga menteri tahun 2008. SKB itu berisi enam poin tentang pembatasan gerak Ahmadiyah. 

Dika bercerita bahwa masa itu merupakan masa paling sulit dalam tubuh Ahmadiyah se-Indonesia. Para Ahmadi diusir dan dipersekusi, banyak masjid Ahmadiyah dibakar oleh masyarakat. 

Bahkan di masa itu, masjid yang tengah kami tempati untuk diskusi, pernah menjadi sasaran amukan warga sekitar. Hampir tiap minggu terjadi demonstrasi di depan markas Ahmadiyah Kota Bogor. Kendati mendapati perlakuan tak manusiawi, para Ahmadi justru makin mantap dengan imannya. 

Salah seorang Ahmadi bercerita,“Saya pribadi, ketika SKB itu muncul masih remaja. Tapi tak ada kekhawatiran. Kenapa? Karena keyakinan kami ini berdasar dari Allah SWT. Dulu memang perasaan kami takut, gelisah, bercampur-aduk, dipersekusi, masjid-masjid kami dibakar. Tapi karena kami punya khalifah, dan instruksinya adalah tetap bertahan dan jangan melawan, jadi taat saja dengan khalifah.”

Bagi Ahmadi itu, berbagai persekusi yang diterima tidak dapat melunturkan keimanan. Justru pengikut Ahmadiyah merasa ikut merasakan apa yang dialami Rasulullah ketika pertama kali mensyiarkan Islam. "Dan persekusi-persekusi itu makin meyakinkan keimanan kami,” ucap dia. 

Intinya Kang, moto kami adalah love for all, hatred for none.

Mengenai anggapan kaum Ahmadiyah kalangan eksklusif, Dika menampiknya. Ahmadiyah dari dulu sampai sekarang membuka diri dengan siapapun, meski sekadar hanya ingin berkenalan. 

“Orang bilang kami tertutup, eksklusif. Padahal kami justru dieksklusifkan oleh masyarakat. Kami dari dulu mau membaur dan terbuka. Orang mau tanya tentang Ahmadiyah silakan, tapi justru mereka yang tidak mau datang," katanya. 

Kegiatan rutin yang dilakukan Ahmadiyah juga tidak pernah mengindikasikan membatasi diri dengan elemen masyarakat lain. "Kami juga punya beberapa kegiatan sosial bahkan hingga skala internasional seperti donor darah, donor mata, clean the city, dan lain-lain."

Sembari bercanda, Ahmadi lain berujar ada persepsi beda yang sengaja dibentuk untuk membenturkan Ahmadiyah dengan umat Islam lain. “Mungkin mereka mikirnya, begitu ngobrol langsung kami tangkap. Kami kunci pintunya terus dipaksa untuk baiat. Padahal sama sekali enggak kok. Buktinya Akang-akang enggak diapa-apain kan?,” celetuknya diiringi senyum peserta diskusi. 

Mendengar mereka bercerita, Tagar mendapati kenyataan beberapa dari mereka telah menjadi Ahmadi sejak lahir karena orang tuanya, dan sebagian lagi dibaiat ketika remaja.

Seorang Ahmadi mengaku dahulu ayahnya sempat ingin dibunuh oleh kakeknya sendiri setelah dibaiat menjadi Ahmadi. Tak lain, karena keluarga besarnya merupakan keluarga besar salah satu organisasi keagamaan yang mendominasi muslim Tanah Air. 

Waktu Maghrib telah tiba, tak terasa kami sudah berbincang sekitar dua jam. Dika mengajak kami untuk rehat sejenak sembari melaksanakan kewajiban salat.

“Kang, mau salat bareng kami? Kalau takut ada yang aneh-aneh enggak apa-apa Kang. Salatnya misah aja di lantai dua,” ujar Dika bergurau pada kami.

Karena penasaran, kami memutuskan untuk salat berjamaah dengan penganut Ahmadiyah. Dan faktanya, mulai azan, salat sunah, hingga pelaksanaan salat wajib tiga rakaat pun sama sekali tak berbeda. Sang imam juga melantunkan ayat suci Alquran dengan begitu merdunya.

Setelah salat kami diajak untuk makan bersama, disediakan oleh mereka. Juga minuman serta kudapan. Kami melanjutkan beberapa topik menarik terkait gerakan Ahmadiyah dan fenomena kontemporer dari Islam saat ini. 

Dan membicarakan Ahmadiyah dari kacamata demokrasi, bagian dari hak warga negara, ternyata lebih menyenangkan ketimbang mendiskusikan dari sudut pandang agama. Sebuah mimpi yang menjadi moto Ahmadiyah akhirnya terkuak di penghujung pembicaraan. 

“Intinya Kang, moto kami adalah love for all, hatred for none,” ujar Dika. []

Baca juga: 

Lihat video: 

Berita terkait
Pembangunan Masjid Ahmadiyah di Jerman Diteror Bangkai Babi
Sebuah lokasi pembangunan masjid Ahmadiyah di Kota Erfurt, Thuringia, Jerman, diteror dengan bangkai babi yang membusuk.
Siapa itu Imam Mahdi?
Siapa itu Imam Mahdi atau Al-Mahdi? Dalam bahasa Arab, Al-Mahdi artinya ialah orang yang ditunggu.
Lima Fakta Pria Mengaku Imam Mahdi
Jagat maya dibuat gempar oleh seorang pria asal Depok yang mengaku sebagai 'Sang Pembaharu' alias Imam Mahdi. Berikut lima faktanya.
0
SDR: Kenapa KPK Tak Kunjung Panggil Gubernur DKI, Dispora, Bank DKI & FEO
Sementara dalam kepentingan penanganan kasus dugaan korupsi, baik Mabes Polri dan KPK tentunya akan merujuk pada hasil pemeriksaan BPK.