Menunggu Sepak Bola Nasional Jadi Tontonan Keluarga

Ketika keluarga dengan aman dan nyaman menyaksikan pertandingan sepak bola di stadion di Eropa yang terjadi di negeri ini justru horor
Keluarga menonton bola di tribun stadion di Eropa (Foto: premierleague.com)

Oleh: Syaiful W. Harahap

TAGAR.id - Ketika di akhir tahun 1980-an sebuah stasiun televisi swasta nasional, RCTI, menyiarkan pertandingan sepak bola antar klub Italia penggemar sepak bola di Indonesia sangat gembira. Tentu saja gembira karena bisa menonton siaran langsung liga Italia yang ketika itu jadi salah satu klub raksasa di Eropa. 

Siaran langsung di malam hari jadi tontonan bagi penggemar bola di Tanah Air di tengah-tengah kondisi persepakbolaan nasional yang terpuruk.

Tahun-tahun berikutnya beberapa stasiun TV swasta lain juga menyiarkan siaran langsung sepak bola dari negara lain, seperti Inggris, Jerman, Belanda, dan Spanyol.

Menonton siaran langsung sepak bola jadi hiburan bagi keluarga di rumah. Banyak yang memilih menonton siaran sepak bola daripada keluar rumah hanya untuk sekadar jalan-jalan ke pertokoan, belakangan muncul mal. Iklan kopi dan kacang pun jadi primadona bagi stasiun televisi karena disebut sebagai ‘teman nonton bola’.

Memang, bagi sebagian orang pertandingan sepak bola jadi ajang taruhan. Dikabarkan judi bola termasuk salah satu bentuk perjudian terbesar. Juventus, klub Seri A Liga Italia, misalnya, turun kasta karena terlibat judi bola. Pengurus PSSI pun sudah ada yang masuk bui karena terlibat judi bola.

Terlepas dari judi, sepak bola Eropa memang jadi tontonan yang humanis. Pemainnya campur aduk dari segi ras dan agama. Ada pemain dai Eropa, Afrika, Jepang, Korea dan tentu saja paling banyak dari Amerika Latin, terutama Brasil dan Argentina. 

Ada pemain yang sujud syukur di rumput setelah menjaringkan bola ke gawang lawan, ada pula yang memberikan gambar salib di dada sambil melihat ke angkasa ketika berhasil menendang bola ke gawang lawan.

Permainan pun dengan teknik yang tinggi dengan menghindarkan permainan kasar. Maklum, kalau pemain kena kartu kuning atau kartu merah harus membayar denda yang tidak sedikit. Selain itu catatan buruk pemain pun akan mempengaruhi ‘harga’ mereka ketika ada bursa transfer pemain.

Kondisi itu bertolak belakang dengan persepakbolaan nasional. Di tengah lapangan hijau pemain mengejar-ngejar wasit, meludahi wasit, saling baku hantam, dst. Bahkan ada pemain yang menunjukan kemaluannya kepada wasit.

Di tribun penonton lebih horor lagi. Suporter masing-masing kesebelasan saling berkelahi, lembar-lemparan dan bakar-bakaran. Di luar stadion samimawon. Perkelahian antar suporter dan warga sering terjadi. Bahkan, menelan korban jiwa.

Rasanya iri melihat keluarga yang terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak atau pasangan yang pacaran dengan riang gembira menyaksikan pertandingan sepak bola di tribun stadion di Eropa. Begitu juga dengan remaja putri riang gembira mendukung klub kesayangannya dari tribun. Menonton langsung pertandingan sepak bola jadi hiburan bagi keluarga. Bahkan, di Inggris ada perusahaan yang memberikan tiket gratis ke karyawan untuk menonton sepak bola.

Itu artinya sepak bola sudah jadi bagian dari kehidupan bagi masyarakat di Eropa dan 'industri' bagi klub-klub sepak bola. Mereka menjadikan pertandingan sepak bola sebagai salah satu tujuan ‘liburan’ keluarga di akhir pekan. Hal ini secara ekonomis mendukung pemasukan klub karena kian banyak penonton semakin banyak karcis yang terjual yang pada akhirnya menambah pundi-pundi klub.

“Aduh, jangankan bahwa keluarga sendirian saja rasanya seperti di neraka,” kata seorang penggemar bola tentang suasana di tibun di dalam stadion ketika menonton laga sepak bola antar klub nasional.

Suporter bola di Indonesia menyebut diri dengan identitas dan seragam tertentu. The Jakmania sebagai julukan suporter Persija Jakarta. Ada lagi Bobotoh, Viking (Persib Bandung), Bonex (Persebaya Surabaya), The Macs Man (PSM Makassar), dll.

Celakanya, identitas suporter itu jadi semacam kekuatan untuk melakukan tindakan-tindakan anarkistis. Memang, seperti dikatakan oleh Bang Hotman (Prof Dr Hotman M Siahaan, sosiolgo di Unair Surabaya), penggunaan seragam dan julukan khusus bisa buruk karena mereka memanfaatkannya sebagai kekuatan seperti militer. Celakanya, mereka menerapkan ideologi militer dengan seragam tanpa kode etik. Sedangkan di militer ada aturan dan kode etik yang baku dalam melakukan berbagai hal yang berisiko sehingga tidak ada korban (jiwa).

Sudah saatnya PSSI meningkatkan sosialisasi dan edukasi kepada pemasin sepak bola dan suporter bola agar lebih beradab sehingga pertandingan sepak bola jadi tontonan keluarga bukan lagi sebagai arena horor. (Artikel ini pertama kali ditayangkan di Tagar.id, 2 Oktober 2019) []

* Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
Klub Sepak Bola Indonesia Bisa Seperti Eropa, Begini Caranya
'Semoga semua itu bisa terjadi di Indonesia. Ya mungkin saja, saat saya nanti menginjak usia 75 tahun.'
Mantan Pemain Eropa Kecewa, 13 Klub Tiongkok Telat Bayar Gaji
Sejumlah mantan pemain yang berlaga di liga Eropa yang kini merumput di Tiongkok kecewa berat lantaran gajinya yang disebut-sebut besar itu telat dibayarkan.
Asosiasi Klub Eropa Tak Terima 48 Negara di Piala Dunia
Asosiasi Klub Eropa (ECA) menyatakan keputusan Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) menggelar Piala Dunia 2026 dengan 48 negara tidak bisa diterima.
0
Menunggu Sepak Bola Nasional Jadi Tontonan Keluarga
Ketika keluarga dengan aman dan nyaman menyaksikan pertandingan sepak bola di stadion di Eropa yang terjadi di negeri ini justru horor