Untuk Indonesia

Mengukur Tingkat Kediktatoran Antara Soeharto dengan SBY

Zaman akan segera berubah, kesadaran rakyat akan menjadi badai yang akan menghempaskannya dari peta politik Indonesia modern seperti Soeharto.
Saiful Huda Ems (Foto: Tagar/Twitter @SaifulEms)

Saiful Huda Ems*

Setau saya yang pernah lama mencermati karakter kepemimpinan Soeharto dari luar dan dalam negeri, hingga kemudian turun di jalanan antara akhir tahun 1995 hingga 1998 bersama teman-teman partai dan teman-teman aktivis Mahasiswa untuk menjungkalkannya dari tampuk kekuasaan, Soeharto itu dulu memang diktator yang ditandai dengan karakter kepemimpinannya yang sentralistik, militeristik dan otoriter. 

Namun sediktator-diktatornya Soeharto, beliau masih memperhatikan norma-norma hukum maupun politik, meski di balik itu semua Soeharto tetap saja otoriter dengan caranya yang khas.

Soeharto meskipun 32 tahun menjadi Presiden RI, namun Soeharto tidak pernah menjadi Ketua Umum Partai, tidak juga memaksakan anak-anaknya menjadi Ketua 

Umum ataupun Sekjen partai, meskipun semua orang yang faham politik saat itu telah mengerti, jangankan Golkar, PPP dan PDI pun dapat dikendalikannya dengan mudah, hingga di menjelang masa akhir masa pemerintahannya PDI melakukan pembangkangan terhadap Soeharto, yang kemudian meletuslah peristiwa Kedeta atau Kerusuhan 27 Juli (Kudatuli).

Peristiwa Kudatuli atau Peristiwa Sabtu Kelabu, karena pada hari Sabtu 27 Juli 1996 itu Kantor DPP PDI di Jl. Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai oleh para pendukung Megawati Soekarnoputri, hendak direbut dan diambil alih secara paksa oleh massa pendukung Soerjadi yang didukung rezim Soeharto, hingga meletuslah kerusuhan di Jakarta. 

Di detik-detik menjelang kerusuhan itu saya sempat melihat dan mendengar orasi-orasi dari para tokoh politisi PDI, sebelum akhirnya saya pergi ke Kantor YLBHI untuk berkumpul dengan teman-teman sesama aktivis Pro Demokrasi (ProDem) di Jakarta sana.

Soeharto memang diktator dan gemar memonopoli berbagai kebijakan pemerintahannya di sektor perekonomian dan proyek infra struktur melalui keterlibatan anak-anaknya, tetapi satu hal yang saya catat dan pastinya teman-teman sesama Aktivis 98 akan selalu ingat, Soeharto melakukan semua itu dengan rapi, ditopang oleh Peraturan Perundang-Undangan dan tidak norak seperti halnya dengan kediktatoran yang dilakukan oleh SBY di masa SBY jadi Presiden dua periode, maupun saat SBY menjadi Ketua Umum Partai dan Ketua Majelis Tinggi Partai.

Untuk membuat UU yang mengamankan kepentingan pribadi dan kelompoknya sendiri misalnya, Soeharto tidak perlu memaksakan anaknya jadi Ketua DPR atau Ketua Fraksi di DPR RI, namun Soeharto mempersilahkan orang lain untuk menjadi Ketua DPR RI dan menjadi Ketua-Ketua Fraksi di DPR RI, meski semuanya dapat Soeharto kendalikan dari jauh. 

Demikian pula untuk menjadi Presiden dari periode ke periode, Soeharto tidak memaksakan dirinya untuk jadi Ketum dan anak-anaknya menjadi Waketum atau Sekjen GOLKAR, tapi Soeharto cukup menjadi Ketua Dewan Pembina GOLKAR dan dengan mudah dapat mengendalikan GOLKAR untuk terus mendukung dirinya, bahkan tak jarang PPP dan PDI pun selalu mendukungnya, sebelum GOLKAR sendiri mendeklarasikan dukungannya untuk Soeharto.

Terlepas dari berguna atau tidak bergunanya bagi kepentingan rakyat, apa yang dilakukan oleh Soeharto dulu itu merupakan langkah-langkah taktis dan strategis seorang politisi ulung, yang lihai membaca suara-suara rakyat yang terkatakan ataupun tak terkatakan, hingga rakyat sendiri baru sadar dan bangkit gelora perlawanan serentaknya di 32 tahun kemudian, yang membuat Soeharto terjungkal dari kursi kekuasaannya. Semua ini sangat berbeda jauh dengan berbagai tindakan yang dilakukan oleh SBY, yang apapun dilakukannya membuat rakyat tertawa geli dan spontan ingin membullynya habis-habisan.


SBY bikin album lagu, dinyanyikannya sendiri dan dinikmati diri dan keluarganya sendiri. SBY bikin lukisan dan dipuja-puja oleh keluarga dan bawahan-bawahannya sendiri.


SBY merancang memberi anugerah penghargaan partai untuk dirinya sendiri, diserahkan oleh anaknya sendiri dan ditepuki tangan oleh anak-anaknya sendiri. SBY menurunkan Ketua Umum partai, lalu menggantinya dengan dirinya sendiri. SBY memaksakan anaknya sendiri menjadi Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum Partai dan mengangkat dirinya sendiri menjadi Ketua Majelis Tinggi Partai. 

SBY mempersilahkan anaknya sendiri menjadi formatur tunggal dan menyusun kepengurusan partai berdasarkan kemauan SBY sendiri. SBY menghilangkan semua nama pendiri partai dan menyisahkan darinya satu orang ditambah satu orang, yakni dirinya sendiri. 

SBY mendaftarkan partai ke Dirjen Hak Kekayaan Intelektual, dan menyebut dirinya sendiri sebagai pemilik partai. SBY membuat Musium Galeri namun hanya untuk memajang berbagai aneka koleksi yang menyanjung-nyanjung dirinya dan keluarganya sendiri. 

SBY bikin album lagu, dinyanyikannya sendiri dan dinikmati diri dan keluarganya sendiri. SBY bikin lukisan dan dipuja-puja oleh keluarga dan bawahan-bawahannya sendiri.

Prilaku politik SBY tidaklah mencerminkan prilaku politisi ulung yang demokratis dan berjiwa negarawan, melainkan prilaku politisi kacangan, norak dan arogan. SBY mungkin ingin meniru gaya kediktatoran Soeharto yang bisa berkuasa sangat lama berkat keterampilan seni politiknya meskipun merugikan rakyatnya, namun yang nampak dari prilaku politik SBY malah seperti para politisi amatiran yang tidak faham bagaimana cara menghormati dan menghargai orang-orang yang pernah membesarkan namanya dan menyukseskan karier politiknya hingga SBY pernah menjadi Presiden RI dua periode.

SBY pengikut jalan otoriterianisme Soeharto namun sayangnya SBY malah tersesat lebih jauh hingga menjadikan SBY populer sebagai Bapak Mangkrak yang terang-terangan membunuh Demokrasi di masa tuanya. SBY terkenal sebagai Bapak Baper yang semakin gila kuasa di masa senjanya. 

SBY Bapak Kemaruk yang terus menerus meminta setoran mulai dari anggota Fraksinya di DPR RI, DPRD Provinsi hingga DPRD Kabupaten dan Kota, serta meminta setoran dari para semua calon Kepala Daerah yang ingin diusung dari partainya. Semua uang memang masuk melalui Bendahara Umum DPP partainya, namun pernahkah SBY dan AHY anaknya secara terbuka mempertanggung jawabkannya? 

SBY tak lebih baik dari Soeharto bahkan sangat mungkin jauh lebih buruk dari Soeharto. Zaman akan segera berubah, kesadaran rakyat akan menjadi badai yang akan menghempaskannya dari peta politik Indonesia modern seperti Soeharto pendahulunya.


*Lawyer dan Pemerhati Politik

Demokrat Anugrahkan Award ke 35 Senior Partai

Presiden Jokowi Apresiasi Kinerja Partai Demokrat

Demokrat Waspadai Putar Balik Fakta Hukum Moeldoko Cs

Demokrat Ajak Publik Soroti Bukti dan Saksi KLB Ilegal di Pengadilan

Berita terkait
Darmizal: Demokrat Kubu AHY Harus Jalankan Demokrasi Sehat, Jangan Membabi Buta!
DPP Partai Demokrat KLB Deli Serdang HM Darmizal MS mengatakan Demokrat kubu AHY harus menjalankan demokrasi sehat tidak membabi buta seperti ini.
Kader Bubarkan HUT Demokrat, Iti Jayabaya: Ini Banten, Bung! Jangan Main-main
Sebelum acara HUT Partai Demokrat digelar, sejumlah kader di bawah komando Iti Jayabaya membubarkan acara yang dianggap abal-abal tersebut.
Pengamat: Loyalis AHY Tidak Menghargai Pendiri Demokrat
Direktur Rumah Politik Indonesia Fernando Emas menyayangkan pengerahan massa yang diduga dilakukan oleh Partai Demokrat kubu AHY.