Mencegah Salah Paham Anggota Antar Instansi di Ranah Publik

Perlu ada kesepakatan terkait dengan tindakan hukum di ranah publik, seperti razia kendaraan bermotor
Ilustrasi – Polisi razia motor yang lewat jalan layan nontol Casablanca, Jakarta Selatan (Foto: pekanbaru.tribunnews.com/ WARTA KOTA/ANGGA BHAGYA NUGRAH).

Oleh: Syaiful W. Harahap*

Catatan: Artikel ini pertama kali ditayangkan di Tagar.id pada tanggal 29 April 2023. Redaksi. 

TAGAR.id – Sudah jamak terjadi salah paham antara anggota instansi, terutama di jajaran aparat keamanan, di ranah publik, misalnya di jalan raya, yang berakhir dengan tindakan yang tidak terpuji.

Terakhir di Sulawesi Selatan ketika oknum anggota aparat keamanan menyerbu Mapolres Jeneponto pada 27 April 2023 tengah malam yang disebut karena salah paham. Sebelumnya juga beberapa kali terjadi hal serupa di daerah yang berbeda di Tanah Air.

Salah satu faktor yang mendorong kondisi itu adalah sentimen korps yang sangat kuat pada kalangan atau kelompok yang memakai artibut tertentu. Hal ini dikatakan oleh Prof Dr Hotman M Siahaan, sosiolog di Unair Surabaya. Dalam kaitan dengan salah paham antar anggota instansi keamanan yang terjadi antara dua instansi dengan seragam di ranah publik (social settings).

Bahkan, pegawai negeri sipil (PNS) dengan seragamnyapun sering melakukan tindakan main hakim sendiri hanya karena masalah sepele, seperti senggolan di jalan raya atau bertengkar dengan tukang parkir. AKBP Achiruddin Hasibuan yang terlibat dengan kekerasan berupa penganiayaan yang dilakukan anaknya di Medan, Sumut, misalnya, dikabarkan pernah menganiaya tukang parkir di sebuah restoran, Najirman, Lansia berumur 64 tahun di tahun 2017 (kompas.com, 26/4-2013).

Kembali ke salah paham antara tentara dan polisi di jalan raya terkait dengan lalu lintas, TNI dan Polri bisa mencontoh kesepakatan antara Polda Metro Jaya (d/h Komdak) dengan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) terkait dengan tilang pelanggaran lalu lintas.

Disepakati jika ada razia, maka wartawan tidak perlu memberikan ‘perlawanan’ silakan saja ditilang atau kendaraan bermotornya ditahan. Setelah itu wartawan yang kena tilang dipersilakan datang ke Dispen Polda Metro Jaya (d/h Humas) karena sudah disepakati persoalan akan diselesaikan dengan cara yang terbaik. Ini untuk saling menghormati di ranah publik.

“Korban” pertama waktu itu Ketua PWI, Zulharmans, yang terpaksa memarkir mobilnya di Jalan Merdeka Barat karena harus segera ke Istana. Mobil diderek dan persoalan diselesaikan di Polda.

Ini contoh yang sangat arif dan bijaksan karena antar instansi dan institusi saling menghargai berdasarkan kepentingan masing-masing.

Polisi menjalankan tugas sesuai UU dan wartawan juga bertugas tapi menyalahi aturan. Tapi, dengan cara yang disepakati tidak terjadi friksi horizontal di ranah publik sehingga tidak ada yang dipermalukan dan dirugikan.

Celakanya, kesepakatan itu disalahgunakan segelintir ‘wartawan’ terkait dengan kenderaan bermotor yang tidak dipakai untuk tugas jurnalistik, seperti kendaraan keluarga dan kantor. Akhirnya, kesepakatan itu dicabut yang merugikan wartawan akibat ulah segelintir wartawan juga.

PWI juga pernah menjalin kerja sama dengan, waktu itu PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api, sekarang PT KAI (Persero), yaitu menyediakan jatah untuk wartawan yang mendapat penugasan baik terjadwal maupun mendadak. Maka, di Stasiun Gambir ketika itu ada loket khusus untuk Wartawan dengan catatan membawa surat tugas. Tapi, kesepatakan inipun buyar karena disalahgunakan segelintir wartawan.

Kembali ke salah paham antara polisi dan tentara di jalan raya terkait dengan pelanggaran lalu lintas TNI dan Polri sejatinya membuat kesepakatan bersama jika ada anggota TNI yang kena razia polisi menilang dengan cara-cara yang lebih arif dan anggota TNI juga tidak perlu memberikan ‘perlawanan’ karena semuanya diselesaikan di kantor polisi terdekat.

Maka, anggota polisi dan TNI (AD, AL dan AU) perlu diberikan penjelasan terkait dengan kesepakatan tersebut.

Di Jakarta, misalnya, masyarakat silau melihat moto dan mobil dinas instansi dan TNI serta Polri yang masuk jalur Transjakarta tapi lolos, sementara kendaraan umum ditilang. Maka, jika ada razia kendaraan dinas instansi dan TNI serta Polri yang masuk jalur Transjakarta dengan besar hari silakan ditilang  karena polisi menjalankan tugas sesuai UU yang sama sekali tidak memberikan pengecualian bagi anggota instansi dan aparat keamanan terkecuali mobil ambulans yang membawa orang sakit dan mobil pemadam kebakaran. 

Urusan selanjutnya di kantor polisi terdekat sehingga tidak memberikan contoh yang buruk tentang penegakan hukum di Tanah Air yang berasaskan negara hukum (rechtsstaat) bukan negara kekuasaan (machtsstaat) ini. []

* Syaiful W. Harahap adalah Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
Baku Hantam Brimob Vs Sabhara, Mabes Polri: Salah Paham Dikit
Karo Penmas Humas Polri Brigjen Awi Setyono menanggapi viralnya video baku hantam antara Brimob versus Sabhara dalam aksi demo Omnibus Law di Jambi