Menata Geosite Kaldera Toba Menjadi Destinasi Wisata

Paling tidak ada enam hal yang harus dibicarakan untuk pengembangan 16 geosite menjadi destinasi wisata di Kawasan Danau Toba.
Lokasi The Kaldera Toba di Kawasan Danau Toba, Sumut. (Foto: Tagar/Ist)

Pematangsiantar - Menyangkut pariwisata, paling tidak ada enam hal yang harus dibicarakan untuk pengembangan 16 geosite menjadi destinasi wisata di Kawasan Danau Toba, yakni, atraksi, aksesibilitas, amenitas, ancillary, safety, dan comfort.

Hal itu disampaikan Profesor Robert Sibarani dari Universitas Sumatera Utara (USU) saat menjadi narasumber dalam webinar tertajuk 'Pengembangan Geoturism di Kaldera Toba Berbasis Budaya' pada 26 Agustus 2020 lalu.

Robert yang juga Ketua Dewan Pakar Bidang Sosial Budaya Badan Pengelola Kaldera Toba, menyebut untuk atraksi boleh saja perfomansi, kegiatan budaya dan panorama. Daya tarik harus ada atraksi. Kalau dari budaya ada atraksi budaya.

Karena hidup kita, kata dia, baik yang berhubungan dengan siklus mata pencaharian maupun yang berhubungan dengan siklus kehidupan itu selalu ada upacaranya.

Mungkin ada ritualnya, dan ini bisa juga dimanfaatkan sebagai tradisi budaya, sebagai performansi tradisi budaya, tidak diubah tempat dan sifatnya.

Tetapi ketika mencipta atraksi yang baru menjadi pertunjukan, dari tradisi budaya itu bisa dibawa ke panggung, bisa dibawa ke Jakarta atau ke Medan.

"Maka menjadi dua, untuk destinasi dua-duanya bisa dinikmati, tetapi tradisi yang alamiah itu memang baku dia, tertentu tempatnya, tertentu pelaksanaannya, hanya komunitas lokal tersebut. Sedangkan atraksi budaya yang dicipta berdasarkan tradisi budaya itu, fleksibel. Bisa dibawa ke panggung di Jakarta atau Medan," terangnya.

Hal ini menurut Robert harus dipahami, agar jangan dianggap kalau datang sebuah budaya ke pariwisata maka akan merusak budaya. 

Menurutnya, yang lama tetap bahkan semakin kukuh karena baku, yang baru berupa atraksi menyesuaikan diri karena fleksibel waktunya, durasi, pelaksanaan dan tempatnya.

Dibutuhkan penciptaan-penciptaan seni dan performansi yang baru, itulah inovasi dan kreasi tanpa menghilangkan yang asli.

"Karena ini perlu diteliti dulu. Kalau ada membuat itu tanpa tahu rohnya, akan diprotes orang, akan dikatakan merusak kebudayaan, merusak tradisi," katanya.

Aksesibilitas, menurut Robert adalah jalan dari ke tempat destinasi wisata. 

Bagaimana jalan ini dibuat menarik, dibuat bagus. Mungkin ada yang harus naik sepeda, ada yang harus jalan, ada yang menggunakan tali, dan sebagainya dibuat menarik dan juga aman.

Tak perlu aspal beton, misalnya, terutama antardestinasi wisata di kawasan. 

"Kalau bisa naik kuda bagus juga, seperti yang ada di Tanah Karo. Bila perlu naik menunggang kambing kalau itu bagus, bagaimana supaya menarik," katanya.

Kemudian ke tiga amenitas, semua sarana pendukung seperti home stay, dan hotel. 

Tapi kalau ada rumah-rumah penduduk yang higienis, aman, tempat makan yang bagus, lebih bagus daripada membangun hotel bintang empat bintang lima, meski sebetulnya boleh karena masing-masing punya pasar tersendiri.

"Kalau saya ke Subak, tak pernah tinggal di hotel. Saya tinggal di rumah penduduk, pagi saya minum kopi dengan ubi goreng, kemudian saya memandang ke arah hamparan sawah, karena itulah bagian dari Unesco," tuturnya.

Kadang-kadang penanaman benih pun ada ritualnya. Menarik itu untuk dilihat wisatawan

Berikutnya adalah ancillary, yakni organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok masyarakat lokal yang bisa memandu wisatawan, bisa saja kepala desa, bisa raja bius, dan lainnya, di mana tentu mereka ini melayani dari hatinya. 

"Saya katakan empat A itu untuk Asia dan Indonesia tidak cukup. Harus ada juga safety dan comfort," kata Robert.

Dia menegaskan keamanan di destinasi wisata harus terjamin, seperti di Eropa yang cenderung aman destinasi wisatanya.

"Kalau ada orang mau tenggelam, terapung satu jam, sudah langsung ada yang turun membantu. Kalau hari-hari besar sudah siaga semua itu. Terutama di Belanda misalnya, angin sangat besar di kanal-kanal di sana. Punya teman saat foto-foto di jembatan atau kanal, tas yang diletakkan jatuh, di mana ada paspor di situ, ngak sampe setengah jam sudah datang penyelam, padahal tidak ada melapor, tetapi langsung tahu dan diselamatkan," tuturnya.

Oleh karena itu kata Robert, destinasi wisata di Danau Toba harus dibuat safety

Hal itu bisa dilakukan kerja sama kelompok masyarakat, komunitas, pemilik kapal, pemerintah dan pihak keamanan.

Lalu destinasi itu harus nyaman atau comfort, jangan tidak ramah. Keramahtamahan, kejujuran, kenyamanan yang lain itu sangat penting.

Robert menegaskan enam hal di atas sangat penting di 16 geosite yang berada di tujuh kabupaten di kawasan Danau Toba.

Apa yang mau dilakukan misalnya di Geosite Sipiso-piso, Tongging, yang berada di Kabupaten Karo.

"Perlu dilihat di sana bagaimana cerita rakyat, yang berhubungan dengan legenda, dongeng, mitos, kenapa dikatakan ini Sipiso-piso, mengapa dikatakan Tongging, bahasa apa sebenarnya itu. Pasti ada hubungannya dengan masyarakat setempat. Bahasa apa yang digunakan berhubungan dengan masyarakat di sana," katanya.

Maka perlu sebenarnya menggali wacana rakyat, legenda, mitos yang berhubungan dengan geosite itu sendiri.

Kemudian mungkin ada atraksi budaya, performansi yang berkaitan dengan siklus kehidupan dan mata pencaharian.

Siklus kehidupan misalnya upacara masa kelahiran, masa pernikahan dan masa kematian. Itu ada upacaranya. 

"Yang berhubungan dengan siklus mata pencaharian di situ ada masa memanen, kadang-kadang pemilihan bibit pun ada ritualnya. Kadang-kadang penanaman benih pun ada ritualnya. Menarik itu untuk dilihat wisatawan," tutur dia.

Dan itu kata dia, baku dan tidak bisa diubah-ubah, di mana orang yang ingin melihat harus pergi ke daerah itu. Namun berdasarkan ini boleh juga dibuat menjadi atraksi.

"Kemudian ada juga kuliner, yang mau dipasarkan di sana dan dinikmati wisatawan. Kuliner yang ada di Tongging pasti berbeda dengan kuliner di Silalahisabungan, Dairi. Maka itu masing-masing geosite harus didesain sedemikian rupa karena itu bagian dari geoturism," tukasnya.

Lebih jauh kata Robert, di setiap geosite mungkin ada kegiatan-kegiatan komunitas lokal di sana. Pemilihan raja adat, pemilihan juru bicara dsb, itu bagaimana caranya, tentu berbeda dengan pemilihan kepala desa

Diharapkan dengan desain geosite seperti ini maka keseluruhan desain budaya itu berbeda di satu geosite dengan geosite lainnya di 16 gesosite yang adi di Kaldera Toba.

"Inilah yang disebut peran kebudayaan yang berhubungan dengan geoturism," ungkap pria yang juga Direktur Sekolah Pascasarjana USU Medan itu. []

Berita terkait
Saat HUT RI, The Kaldera Toba Kembali Dibuka
Sempat ditutup selama pandemi Covid-19, The Kaldera di Kabupaten Toba, Sumatera Utara, akhirnya kembali dibuka pada Senin, 17 Agustus 2020.
Jangan Gunakan Logo Kaldera Toba Unesco Sembarangan
Badan Pengelola Geopark Kaldera Toba secara resmi menerima logo Toba Caldera Unesco Global Geopark. GKT harus mengikuti protokol Unesco.
Proses Panjang Kaldera Toba Meraih Pengakuan Unesco
Masuknya Geopark Kaldera Toba sebagai bagian dari Unesco Global Geopark dinilai akan membawa manfaat bagi Sumut dan pengembangan Danau Toba.
0
DPR Terbuka Menampung Kritik dan Saran untuk RKUHP
Arsul Sani mengungkapkan, RUU KUHP merupakan inisiatif Pemerintah. Karena itu, sesuai mekanisme pembentukan undang-undang.