Membidik Ketahanan Pangan di Tangan Prabowo Subianto

Presiden Joko Widodo berharap Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dapat berkontribusi terhadap urusan pangan nasional selain persoalan kedaulatan
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kiri) berbincang dengan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sebelum mengikuti rapat kabinet terbatas tentang hilirisasi industri produk-produk unggulan di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis, 6 Februari 2020. (Foto: Antara/Hafidz Mubarak A/wsj)

"… Yang namanya pertahanan itu bukan hanya urusan alutsista, tetapi juga ketahanan di bidang pangan menjadi salah satu bagian dari itu. Dan ini sudah disampaikan Menhan dengan hitung-hitungan cost berapa, anggaran berapa, dalam membangun food estate yang ada di Kapuas dan Pulang Pisau."

Begitu kira-kira pernyataan resmi Presiden Joko Widodo pada pekan lalu terkait dengan keputusannya menunjuk Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk memimpin pengembangan lumbung pangan nasional atau food estate di Provinsi Kalimantan Tengah.

Ketetapan yang diambil oleh orang nomor satu di negeri ini memang cukup langka terjadi. Menggabungkan antara perkara alat utama sistem pertahanan (alutsista) dengan urusan perut. Namun, itulah realitas yang terjadi hari ini.

Terlepas dari permufakatan politik yang ada, Kepala Pusat Bioteknologi Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa mengatakan meskipun indeks ketahanan pangan Indonesia meningkat cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir, namun sejatinya kondisi ini menyimpan kekhawatiran.

“Ketahanan pangan kita itu ditopang oleh produk impor yang melonjak sangat tinggi. Untuk negara berkembang ini cukup berbahaya. Mengapa? Karena apabila produksi pangan dunia menurun , biasanya akan diikuti oleh lonjakan harga. Nah, negara berkembang biasanya cukup rentan terkena krisis pangan karena kemampuan ekonominya terbatas,” ujarnya dalam sebuah webinar, Selasa, 21 Juli 2020.

Dwi lantas membeberkan data impor pangan yang dikutipnya dari Badan Pusat Statistik (BPS). Katanya, terjadi lonjakan impor pangan dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Pada 2014, pemerintah diketahui memasukan sekitar 21,9 juta ton bahan pangan.

Lalu pada 2018 lalu disebutkan bahwa impor menyentuh level 27,6 juta ton. Penurunan justru terjadi pada 2019 yang tercatat 25,3 juta ton.

“Penurunan terjadi setelah Presiden Jokowi memberikan arahan untuk menekan produk impor,” tutur dia.

Data tersebut lantas dikomparasikan dengan indeks ketahanan pangan Indonesia yang terus membaik dari waktu ke waktu. Pada 2014, Global Food Society Security Index menempatkan negara ini pada urutan 73 dengan skor 49,2.

Empat tahun berselang atau tapatnya pada 2018, indeks ketahanan pangan Indonesia naik peringkat menjadi urutan ke 65 dengan skor 54,8. Setahun berselang, pada 2019 Indonesia kembali memperbaiki peringkat menjadi posisi 62 dengan penilaian 62,6.

Yang unik, kata Dwi, adalah negara tetangga Singapura yang menempati peringkat 1 dunia indeks ketahanan pangan dengan skor 87,4. Padahal, negara tersebut dianggap tidak memiliki sumber daya yang dapat mencukupi kebutuhan pagan seluruh rakyatnya.

“Singapura hampir 100 persen pangan yang dikonsums  berasal dari impor. Jadi tidak ada korelasi antara ketahanan pangan dengan upaya meningkatkan produksi. Impor saja, selesai sudah persoalan ketahanan pangan,” jelasnya.

Ketahanan Pangan Dunia

Dalam kesempatan tersebut, Dwi juga memberikan gambaran tentang kondisi pangan global. Menurut dia, meskipun dalam situasi pandemi, ketahanan pangan dunia dianggap cukup baik.

Asumsi tersebut dia kemukakan berdasarkan dua hal. Pertama adalah tercukupinya produksi pangan dunia. Lalu, yang kedua adalah soal level harga pangan yang terkendali.

Akademisi yang juga tercatat sebagai Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2I) itu kemudian mengutip informasi yang dirilis oleh Departeman Pertanian Amerika Serikat soal data pangan dunia, yang menyebutkan bahwa produksi global menyentuh angka 3 miliar metrik ton pada 2019.

Besaran tersebut masih lebih baik dari produksi 2018 dan 2017 dengan masing-masing 2,94 miliar metrik ton dan 2,90 miliar metrik ton.

Berlimpahnya stok pada tahun lalu berimplikasi pada indeks harga pangan (food price index/FPI) dunia yang cenderung rendah. Sebagai contoh, pada Januari 2020 FPI global terpantau berada pada level 183. Kemudian, pada Mei 2020 kembali melandai dengan catatan 162.

Kondisi pangan dunia yang berkecukupan, meski tengah dihadapkan pada situasi pandemi, dinilai Dwi berkat pembelajaran krisis pangan yang terjadi pada 2011 silam. Kala itu, produksi diperkirakan hanya sebesar 2 miliar metrik ton dengan level FPI 240.

“Situasi inilah dipercaya kuat menjadi penyebab pergantian rezim di Timur Tengah dan Afrika Utara atau Arab Spring, karena pemerintah setempat terlalu bergantung pada impor dan tidak memiliki cukup kemapuan untuk mengantisipasi shock pangan,” ucap Dwi.

“Apalagi nisbah stock-to-use menurut FAO [Food Agriculture Organization/Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) berada pada posisi 30,9 persen pada Maret 2020, yang biasanya hanya ada dikisaran 15 persen hingga 25 persen,” sambungnya.

Jadi, nampaknya Menteri Pertahanan Prabowo Subianto diproyeksi tidak akan menemui kendala berarti atas tugas baru yang diemban, yakni sebagai pemimpin dalam program lumbung pangan nasional. Terlebih, bila rencana pemerintah mengembangkan food estate di Kalimantan Tengah sukses terealisasi.

Berita terkait
Prabowo Mau Beli 15 Eurofighter, Ayo Hitung Harganya
Menhan Prabowo Subianto dikabarkan tengah dalam proses negosiasi pembelian 15 unit jet tempur Eurofighter Typhoon milik Republik Austria.
Jokowi Offside Tunjuk Prabowo Bos Lumbung Pangan
Penunjukan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk mengurusi lumbung pangan nasional oleh Presiden Jokowi dikritisi offside oleh pengamat politik
Alasan Jokowi Tunjuk Prabowo Pimpin Lumbung Pangan
Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengungkapkan alasannya memilih Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk pimpin lumbung pangan nasional.
0
Menkeu AS dan Deputi PM Kanada Bahas Inflasi dan Efek Perang di Ukraina
Yellen bertemu dengan Freeland dan janjikan kerja sama berbagai hal mulai dari sanksi terhadap Rusia hingga peningkatan produksi energi