Untuk Indonesia

Meiliana dan Kalahnya Negara dari Ormas Berbaju Agama

Denny Siregar menulis, Meiliana hanya salah satu kasus bagaimana ganasnya virus intoleransi dan radikal membawa nama massa.
Ilustrasi foto Meiliana (Foto: Istimewa/Rully)

Oleh: Denny Siregar*

Ketika Meiliana akhirnya divonis 18 bulan penjara, sejujurnya saya tidak begitu kaget.

Meiliana hanya salah satu kasus yang menunjukkan bagaimana ganasnya virus intoleransi dan radikal melakukan tekanan dengan membawa nama massa. Selain Meiliana ada juga nama Dr Otto Radjasa - dia muslim - dan yang paling gempar adalah kasus Ahok.

Perhatikan pola yang sama pada ketiga kasus itu. Pertama, bawa kasusnya ke MUI setempat. Kemudian MUI mengeluarkan fatwa. Sesudah ada fatwa MUI bahwa perbuatan itu menghina agama, kemudian diproses ke kepolisian.

Demo lagi kepolisian supaya kasusnya dibawa ke pengadilan. Sesudah di pengadilan, demo dan tekan lagi hakimnya. Tuntut hukuman setinggi-tingginya. Kalau diberi hukuman rendah, demo lagi sampai mereka puas.

Jadi ini bukan tentang masalah minoritas dan mayoritas, tetapi lebih kepada "perasaan berkuasa" sekelompok ormas mengatas-namakan agama dan lemahnya aparat dan institusi hukum negara.

Jika kelompok ormas itu berhasil menekan alat-alat negara, ini akan dijadikan portofolio kesuksesan mereka sehingga bisa dijadikan ukuran untuk hal yang lebih besar nanti. Seperti demo 212 di Jakarta.

Permasalahan awal memang ada di MUI, yang dengan mudahnya membuat fatwa terhadap "penodaan agama".

Kenapa mudah? Ya, karena MUI diisi oleh bagian dari kelompok ormas-ormas itu juga. Kemudian aparat hukum membungkusnya dan mulai melemparnya ke pengadilan. Seperti cuci tangan karena takut berurusan dengan "situasi yang tidak kondusif". Kalau rusuh, taruhannya jabatan. Pengadilan juga begitu, menghukum dengan mudah supaya "semua suasana tenang".

Jadi ada simbiosis mutualisma dari rangkaian itu. Saling membutuhkan. Saling mencari selamat masing-masing. Biarlah satu orang menjadi korban, daripada satu kampung tidak aman. Inilah yang masih menjadi budaya berfikir dari insitusi yang selama puluhan tahun "bekerjasama" dengan ormas-ormas itu.

Perhatikan ketika bagian dari kelompok mereka yang mendapat hukuman. Pelaku pembakaran vihara cuma dihukum 1 atau 2 bulan. Pelaku kerusuhan dan pembunuhan di Sampang hanya 8 bulan penjara. Apalagi para pelaku pembunuhan jemaat Ahmadiyah di Cikeusik Banten, cuma kena paling berat 6 bulan.

Meiliana yang cuma protes bisingnya Toa kena hukuman 18 bulan. Dr Otto Radjasa yang menulis status di Facebook mengkritik agamanya sendiri, kena 2 tahun.
 
Ahok? Mmm.. Jangan ditanya.

Permasalahannya ada di tekanan massa. Dan itu memang kelebihan mereka. Daya jual mereka. Apa-apa yang tidak berkenan bagi mereka, bikin rusuh, lalu tekan semua institusi. Para ormas garis keras itu ingin menunjukkan power mereka. Apalagi mereka pakai baju agama, lebih mudah mencari pengikut dan isu.

Tanjung Balai, Balikpapan dan Jakarta adalah contoh-contoh yang menggambarkan bagaimana gerak dari ormas-ormas berbaju agama itu.

Anda mau bayangkan bagaimana ketika mereka akhirnya terorganisir dengan baik ? Ya bayangkan Taliban atau ISIS lah. Begitulah kelak ketika mereka membesar dan institusi hukum lemah karena selalu mengikuti kemauan mereka..

Kunci utamanya sebenarnya ada di pihak kepolisian. Jika pihak kepolisian setempat tidak sekedar main aman karena didukung pusat, tentu masalah Meiliana, Dr. Otto Radjasa dan Ahok tidak akan terjadi di negeri ini. Seharusnya pengaduan yang mengatasnamakan warga itu bisa diseleksi dulu sebelum dilemparkan ke pengadilan. Karena kalau sudah di pengadilan, permainannya akan berbeda lagi.

Berbenahlah, Kepolisian Republik Indonesia. Apa masalah Meiliana tidak membuka mata? Apa tidak cukup korban karena lemahnya mental menghadapi ormas berbaju agama ?

Ah, untung kasus TK Kartika yang pawai dengan cadar langsung menjadi viral. Kalau tidak, si pengunggah videonya bisa-bisa bernasib sama dengan Meiliana. Diburu dan bisa-bisa malah dijadikan tersangka.

Pahitnya secangkir kopi seharusnya menyadarkan bahwa ada yang lebih besar dari sekedar Meiliana versus Toa di pengadilan. Yaitu mewabahnya ormas bernamakan agama dan menyebarkan virus intoleransi kemana-mana.

Seruput kopinya..

*Denny Siregar, Penulis Buku "Tuhan dalam Secangkir Kopi"

Berita terkait