MA Jepang Batalkan Syarat Sterilisasi Bagi Transisi Gender

Kewajiban mengangkat organ reproduksi sebagai syarat transisi gender sudah dianggap sebagai diskriminasi dan pelanggaran terhadap HAM
Mahkamah Agung (MA) Jepang dalam sidang hak kaum minoritas seksual (Foto: dw.com/id - Tetsu Joko/Yomiuri Shimbun/AP/picture alliance)

TAGAR.id - Mahkamah Agung (MA) Jepang, pada Rabu, (25/10-2023), melarang pasal yang mewajibkan operasi sterilisasi bagi warga sebelum bisa mengubah jenis kelamin. Pengangkatan organ reproduksi sebagai syarat transisi dianggap melanggar konstitusi.

Kewajiban mengangkat organ reproduksi sebagai syarat transisi gender sudah dianggap sebagai diskriminasi dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) oleh beberapa badan internasional, termasuk Pengadilan Eropa untuk Hak Asasi Manusia, Asosiasi Profesional Dunia untuk Kesehatan Transgender dan PBB.

Namun, sebagian anggota parlemen dan kelompok perempuan mengatakan putusan Mahkamah Agung untuk melarang pasal sterilisasi untuk transisi gender justru akan menimbulkan kebingungan dan melemahkan hak-hak perempuan. MA Jepang pernah membatalkan kasus serupa pada tahun 2019.

Organisasi HAM internasional, Human Rights Watch, menyambut baik putusan tersebut dan mendesak pemerintah untuk menindaklanjutinya.

"Pemerintah berkewajiban untuk membuat undang-undang yang selaras dengan konstitusi. Artinya, pemerintah sekarang perlu bertindak cepat menghapus klausul tersebut," kata Kanae Doi, direktur HRW Jepang . Menurutnya, putusan tersebut "sudah terlambat, tapi tidak ada kata terlambat."

Perkara diajukan ke hadapan 15 hakim Mahkamah Agung oleh seseorang yang hanya diidentifikasi sebagai transpuan di bawah usia 50 tahun. Sejauh ini, kuasa hukum penggugat belum mengomentari atau menguatkan putusan yang dijatuhkan dalam sidang tertutup pada Rabu, (25/10-2023), lapor Kantor Berita Reuters.

demo lgbt di shibuyaOrang-orang ambil bagian dalam unjuk rasa untuk mendukung undang-undang LGBT di Distrik Shibuya, Tokyo, Jepang, 6 Juni 2021. (Foto: hrw.org/news © 2021 PHILIP FONG/AFP via Getty)

Konflik ideologi seputar tubuh dan seksualitas

Hukum Jepang menyatakan bahwa orang yang ingin mengubah kelamin harus melampirkan diagnosis disforia (KBBI: depresi yang disertai dengan kecemasan, lawan dari euforia) gender dan memenuhi lima persyaratan lain.

Persyaratan tersebut adalah: berusia minimal 18 tahun; tidak menikah; tidak mempunyai anak di bawah umur; memiliki alat kelamin yang menyerupai lawan jenis, serta tidak memiliki atau telah kehilangan fungsi kelenjar reproduksi secara permanen.

Pengacara penggugat mengatakan bahwa dua persyaratan terakhir melanggar hak konstitusional kliennya untuk mencapai kebahagiaan dan hidup tanpa diskriminasi, serta menciptakan penderitaan fisik yang signifikan dan beban keuangan bagi kaum transgender, lapor media.

Meskipun banyak negara telah melarang kewajiban sterilisasi untuk mengubah jenis kelamin secara hukum, hak asasi kaum transgender masih menjadi isu kontroversial di Jepang. Sebuah petisi yang diorganisir oleh tujuh organisasi untuk mendukung kewajiban sterilisasi sejauh ini sudah mengumpulkan lebih dari 20.000 tanda tangan.

Sepekan silam, organisasi Pelindung Definisi Perempuan, sebuah kelompok konservatif yang mendukung persyaratan operasi bagi transgender, mengajukan petisi terpisah kepada Mahkamah Agung. Mereka menyatakan, pencabutan kewajiban sterilisasi bagi kaum transgender akan "melanggar hak dan martabat perempuan secara signifikan".

Bulan lalu, sekelompok anggota parlemen dari partai pemerintah, Demokrat, menegaskan putusan yang membatalkan pasal sterilisasi justru akan menimbulkan kebingungan. [rzn/hp (rtr,ap)]/dw.com/id. []

Berita terkait
Massa Berkumpul di Ibu Kota Islandia untuk Dorong Kesetaraan Gender
Tulisan-tulisan bernada protes muncul dalam aksi protes tersebut, menohok anggapan bahwa Islandia sudah menjadi surga bagi perempuan
0
Korsel dan AS serta Jepang Kutuk Korut karena Diduga Pasok Amunisi ke Rusia
Pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh diplomat tertinggi Korsel, AS, dan Jepang ini muncul beberapa hari setelah Menlu Rusia cemooh klaim AS