LSM Berlomba Mencegah Bencana Kemanusiaan di Myanmar

Organisasi bantuan dan LSM berlomba dengan waktu demi cegah bencana kemanusiaan di bawah junta milier Myanmar
Potret kehidupan di Myanmar di bawah junta militer (Foto: dw.com/id)

Jakarta - Situasi politik di Myanmar telah membuat pekerjaan banyak LSM (lembaga swadaya masyarakat - Non-Governmental Organization) terhambat. Pendanaan dibekukan dan status hukum mereka dipertanyakan. Padahal, Myanmar saat ini tengah dibayangi bencana kemanusiaan. Rodion Ebbighausen melaporkannya untuk dw.com/id.

Sejak kudeta militer pada 1 Februari 2021 lalu, situasi di Myanmar terus memburuk. Ekonomi negara di Asia Tengggara ini babak belur dan jutaan warga jatuh ke dalam jurang kemiskinan.

Laporan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNDP) pada April 2021 lalu, hampir setengah dari populasi Myanmar terancam kemiskinan parah karena pandemi Covid-19 dan kudeta.

Konflik antara militer (dikenal sebagai Tatmadaw), dan kelompok pemberontak bersenjata di negara bagian etnis minoritas juga dengan cepat menimbulkan krisis pengungsi. PBB memperkirakan untuk di bagian timur Myanmar saja, sekitar 100.000 warga telah melarikan diri meninggalkan rumah mereka.

antikudetaPengunjuk rasa antikudeta unjuk rasa dengan membawa gambar pemimpin Myanmar yang digulingkan Aung San Suu Kyi, melewati pasar Kotapraja Kamayut Yangon, Myanmar, 8 April 2021 (Foto: voaindonesia.com/AP)

"Terjebak antara konflik bersenjata, Covid-19 dan situasi saat ini, rakyat Myanmar sangat membutuhkan bantuan dan perlindungan,” kata Peter Maurer, Presiden Komite Internasional Palang Merah (ICRC) terkait situasi di Myanmar. Maurer menyerukan permohonan bantuan segara, setelah mengunjungi Myanmar pada 3 Juni 2021 lalu.

1. Bantuan Kemanusiaan Terhambat

Selain Palang Merah, ada banyak organisasi non-pemerintah (LSM) yang sejatinya terhubung dengan baik di Myanmar yang memiliki pengetahuan dan keinginan untuk terus bekerja di negara tersebut. Namun, mereka menghadapi hambatan besar.

Tidak satu pun dari LSM tersebut yang bersedia dikutip secara langsung dalam laporan DW. Mereka khawatir pernyataan yang disalahpahami dapat secara permanen membahayakan pekerjaan mereka di negara itu. Bahkan perwakilan pemerintah pun hanya bersedia berbicara dengan syarat anonim guna menghindari kesan bahwa mereka mendukung atau melegitimasi junta militer.

Satu yang pasti, situasi politik secara keseluruhan telah menghambat bantuan pembangunan dan pekerjaan kemanusiaan, lapor sejumlah LSM. Organisasi bantuan juga terdampak akibat munculnya pengurangan besar-besaran dalam layanan perbankan yang mempersulit pembayaran karyawan.

pekerja medis myanmarPekerja medis melakukan unjuk rasa menentang kudeta militer dan menuntut pembebasan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi, di Yangon, Myanmar, 10 Februari 2021 (Foto: voaindonesia.com/Reuters)

Bagi banyak LSM yang beroperasi di Myanmar, prioritas utama saat ini adalah memastikan sejauh mana rezim militer mengizinkan masuknya bantuani.

2. Organisasi Bantuan Terjebak Pusaran Kisruh Politik

Rabu pekan lalu, surat kabar harian berbahasa Inggris, The Irrawaddy, melaporkan adanya penutupan klinik HIV dan TBC yang dioperasikan oleh LSM "Doctors Without Borders” (MSF) di Dawei. MSF mengatakan penutupan klinik tersebut dapat berkontribusi pada kematian pasien dan penularan penyakit lebih lanjut.

LSM lain mengaku kepada DW, mereka telah diinterogasi oleh rezim militer terkait apakah mereka ingin melanjutkan pekerjaan mereka di bawah kontrak yang sama sebelum kudeta. Hal ini mengindikasikan, rezim militer sejatinya ingin pekerjaan bantuan pembangunan terus berlanjut, setidaknya di bidang politik yang tidak sensitif seperti pengentasan kemiskinan atau dukungan untuk pengungsi internal (IDPs).

Namun, munculnya sinyal kontras dari rezim militer Myanmar menunjukkan betapa kacaunya situasi di Myanmar saat ini. Misalnya, ada ambiguitas mengenai pendaftaran LSM, validitas perjanjian antara pemerintah asing dan pemerintah Myanmar yang dikudeta, dan juga masalah visa.

Beberapa LSM dan karyawan mereka yang masih tersisa harus berlomba dengan waktu, untuk bisa tetap diizinkan bekerja secara legal di Myanmar.

3. LSM di Myanmar Terjebak Dilema

Selain masalah legalitas, LSM di Myanmar juga dihadapkan pada sebuah pertanyaan: Apakah dengan melanjutkan pekerjaan bantuan kemanusiaan justru akan membantu menstabilkan kekuasaan rezim militer?

Ketika LSM memberikan bantuan dan memenuhi kebutuhan penduduk, hal ini dinilai dapat mengurangi tekanan pada kepemimpinan militer, yang dikhawatirkan dapat membantu rezim represif mengkonsolidasi kekuasannya.

Selain itu, LSM di Myanmar juga harus menghadapi polarisasi politik akut pascakudeta. Rezim militer dan lawan-lawannya, seperti ‘Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) dan Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM), tidak dapat didamaikan, sehingga menyebabkan hilangnya kemungkinan kerja sama LSM dengan oposisi dan rezim militer di masa depan.

Bagi pihak oposisi, setiap kerja sama dengan Tatmadaw sama saja dengan melegitimasi tindakan anti-demokrasi para jenderal militer. Dan siapa pun yang melakukan negosiasi dengan rezim militer akan mendapat kecaman di media sosial.

harga pangan myanmarBadan PBB mengingatkan kenaikan harga pangan dan BBM di Myanmar dapat berisiko mengurangi kemampuan keluarga miskin untuk memberi makan keluarga mereka. (Foto: voaindonesia.com/Reuters)

Meski begitu, NUG tampaknya telah menyadari bahwa solusi pragmatis diperlukan untuk masalah ini. Melalui sebuah pernyataan, pihaknya telah meminta PBB dan organisasi bantuan lainnya untuk melanjutkan bantuan kemanusiaan.

4. Donor LSM Diminta Fleksibel

Dalam diskusinya dengan DW, banyak LSM yang beroperasi di Myanmar mengatakan, mereka ingin melihat para donor membuat keputusan praktis kasus per kasus, terutama organisasi pembangunan yang dijalankan pemerintah, yang banyak bekerja dengan mitra lokal.

Artinya, para donor harus membedakan antara bantuan kemanusiaan dan kerja sama pembangunan.

Bantuan kemanusiaan untuk memastikan kelangsungan hidup sesegera mungkin, baik dalam konflik kekerasan atau bencana alam, dan kerja sama pembangunan untuk meningkatkan kondisi kehidupan secara keseluruhan, baik secara ekonomi, sosial, dan politik untuk kepentingan penduduk.

Bantuan kemanusiaan dapat diberikan secara langsung, melalui organisasi PBB atau ICRC, misalnya. Ini artinya hanya akan ada kerja sama terbatas dengan rezim militer untuk melaksanakan pekerjaan itu. Sementara dalam hal kerja sama pembangunan, biasanya membutuhkan kerja sama yang lebih erat dan berkelanjutan dengan pemerintah suatu negara.

Meski begitu, banyak LSM meyakini untuk menghindari krisis yang lebih luas dan berkepanjangan, baik bantuan kemanusiaan dan kerja sama pembangunan sama-sama dibutuhkan. Solusi perlu ditemukan segera untuk membantu rakyat Myanmar menghindari penderitaan lebih lanjut (gtp/as)/dw.com/id. []

Berita terkait
Karena Menentang Kudeta Militer Penyair Myanmar Dibunuh
Sebelum dia dibunuh, puisi-puisi penyait Myanmar, Khet Thi, mencerca dengan fasih kudeta militer Myanmar
Myanmar di Ambang Perang Saudara Sejak Kudeta Militer
Eskalasi kekerasan dalam beberapa pekan terakhir yang melibatkan warga antikudeta mengindikasikan ancaman perang saudara
Amerika Berlakukan Sanksi Kepada Dua Jenderal Myanmar
Amerika berlakukan sanksi terhadap dua anggota junta militer Myanmar dan mengancam tindakan lebih lanjut karena kudeta di negara itu
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.