Laporan Khusus: Klitih, Teror Khas Geng Yogyakarta

Inilah geng Yogyakarta yang menciptakan teror: klitih. Jika ke Yogyakarta berdoalan agar tak bertemu dan menjadi sasaran kebrutalan mereka.
Laporan Khusus/Tagar/Klitih

Malam sudah meluncur ke dini hari saat Jihat Solusi, Muhammad Befi, dan Teo Pambudi pulang ke rumah mereka. Jam menunjuk pukul 03.00 dan tiga sekawan itu baru saja rampung menuntaskan hobi mereka: bermain game playstation. Yogyakarta sudah dibalut kesunyian.

Mengendarai sebuah sepeda motor yang mereka naiki bersama-sama, Rabu, 20 Januari 2021, ketiganya pulang ke rumah mereka di daerah Bantul. Jihat tinggal di kompleks perumahan Pondowojarho, Kapanewon Sewon, Bantul; Befi di Dusun Nawungan, Kapanewon Imogiri, Bantul; dan Teo di Banguntapan, Bantul.

Dini hari itu ketiganya sama sekali tak mengira bakal berpapasan dengan gerombolan remaja yang selama ini kerap menciptakan teror: klitih. Saat melintas Jalan Gambiran, Umbulharjo, Yogya utara, tiba-tiba gerombolan klitih, berjumlah sembilan orang, menyergap mereka. Tak bersenjata, praktis ketiganya jadi bulan-bulanan sekitar Sembilan remaja yang dengan ganas menyabetkan berbagai benda mematikan yang mereka genggam: golok, clurit, pedang hingga gir –besi dengan ujung runcing sekelilingnya.

Pengeroyokan itu hasilnya mengerikan. Jihat, pemuda 21 tahun itu bersimbah darah. Kepala, perut, tangan, dan kakinya kena bacok. Hal sama dialami Teo, 21 tahun. Tangan dan kakinya kena sabetan parang. Ada pun Befi, 18 tahun, yang sempat lolos dengan sepeda motornya, babak belur setelah sepeda motornya terguling dikejar gerombolan klitih. Jihat, yang terparah, harus mendekam di rumah sakit.

Begitu mendapat laporan aksi brutal di Gambiran, polisi langsung memburu para pelaku. Enam dari sembilan pelakunya dibekuk. Mereka antara lain, RAP, 15 tahun, warga Kotagede dan SP, 16 tahun, warga Berbah, Sleman. Usia pelaku rata-rata antara 15 hingga 18 tahun dan mengendarai sepeda motor jenis Scoopy. “kendaraan ini yang sedang trend di kalangan mereka, mungkin yang lain mudah terindentifikasi,” ujar Kepala Unit Reskrim Polsek Umbulharjo, Iptu Nuri Aryanto. Polisi masih memburu sekitar tiga pelaku lain yang kabur menyembunyikan diri.

***

KLITIH kini memang bak momok bagi warga Yogyakarta. Selama beberapa tahun belakangan, sudah jatuh puluhan korban akibat aksi klitih itu. Pelaku klitih sendiri bisa dikatakan para remaja berusia pelajar tingkat SLTP-SLTA. Para remaja ini, bak kesetanan saat memburu atau menemukan mangsanya, yakni menghajar, memukuli, membacok, tanpa rasa belas kasian sedikitpun. “Karena kebanyakan mereka ini sebelumnya menenggak minuman keras,” ujar pendiri gerakan Jogya Anti Kriminal (JAK), Heru, pekan lalu kepada Tagar. Karena itulah klitih kini identik dengan kejahatan, teror, anarki.

Makna klitih sendiri, dalam masyarakat Yogyakarta, awalnya positif, yakni “jalan-jalan.” Nglitih ke angkringan, misalnya, artinya jalan-jalan dan kongkow di angkringan. Nglitih ke Malioboro artinya jalan-jalan menikmati Malioboro. Nah, belakangan makna ini bergeser, yakni kejahatan -plus kebrutalan- remaja dengan mengendarai sepeda motor di jalanan. Disebut “remaja,” karena pelakunya bisa dikatakan para remaja.

Pelaku klitih bak kelelawar ganas yang ke sana- ke marin mencari mangsa di malam hari. Tak ada “ukuran” target mangsa seperti apa yang mereka kejar. Artinya, ya tak pandang bulu. Korban tak hanya dilukai, bahkan, dibunuh. Karena itu klitih menjelma menjadi teror bagi warga dari kota yang dijuluki “kota pelajar” ini. Berkali-kali polisi membekuk dan menghukum pelakunya, tindakan itu tak bisa meredam atawa menghilangkan aksi “kaum klitihan” itu. Sultan HB X, “penguasa” Yogyakarta yang suaranya cukup berpengaruh di daerah itu juga prihatin dengan fenomena klitih yang mencoreng wilayahnya. Tapi, klitih tak juga padam.

Heru melihat klitih sebagai “era baru” kriminalitas kota Yogya. Ia menunjuk dua era sebelumnya yang pernah terjadi di kota gudek ini. Era pertama adalah peristiwa yang terjadi pada 1980-an saat sekitar 200-an mereka, yang disebut masyarakat sebagai, preman, gali, atau getho, dihabisi aparat keamanan lewat operasi yang kemudian dikenal dengan nama petrus –penembak misterius. Menurut Heru, setelah itu praktis Yogya, yang saat itu dikenal rawan karena aksi para gali, menjadi kondusif, aman, setidaknya hingga sepuluh tahun kemudian.

Era kedua adalah munculnya geng-geng pemuda yang mencuatkan dua nama –dan saling seteru, Xzruh dan Joxzin. Keduanya sama-sama memiliki anggota cukup banyak dan saling gempur jika bertemu. Menurut Heru, kini banyak anggota dua geng itu kemudian masuk dan mencair dalam partai-partai politik. Dan kini, muncullah era baru pelanjutnya: klitih, yang merebak sejak sekitar 2015.

Heru mengindetifikasikan tiga jenis klitih itu. Pertama, kelompok ABG –anak baru gede- yang sedang mencari “jati diri.” Jenis ini, ujar Heru, motifnya adalah agar diakui kehadiran mereka -atau “kehebatan” mereka- oleh kelompok lain. 

Kedua kelompok yang ingin melebarkan kekuasaan dan diakui geng lain. Kelompok ini akan menyerang lawannya yang tergabung dalam geng lain. Ini yang sekarang marak di Yogyakarta. “Mereka melukai orang yang menjadi musuhnya menggunakan senjata tajam,” ungkap Heru. 

Salah satu tindakan brutal yang dilakukan klitih jenis ini terjadi pada 2019 silam. Seorang pelajar SMK, Egi Hermawan, tewas terkena sabetan senjata tajam. Menurut polisi, para klitih yang membacok Egi merupakan musuh geng Egi.

Ada pun jenis ketiga  klitih yang mencari sasaran lain karena kelompok yang diincar mereka tak nampak batang hidungnya. Heru menyebut geng inilah yang sering menyebabkan jatuh korban “salah sasaran.”

Yang pasti kesamaan para klitih ini adalah mereka mengkonsumsi minuman keras atau obatan-obatan dulu sebelum beraksi di jalanan dan beroperasi antara pukul 23.00-04.00 dini hari.  Menurut Heru, korban dari klitih ini -yang didominasi "geng pelajar,"  75 persen adalah laki-laki.

Lapsus Klitih InfografisLaporan Khusus/Kejahatan itu Bernama Klitih

Kepada Tagar, Wakil Kepala Kesiswaan SMAN 1 Depok, DIY, Eko Yulianto, mengakui jika para pelaku klitih memang berangkat dari remaja atau pelajar. “Kasus-kasus klitih kalau ditarik ke belakang pasti ada kontak erat dengan geng pelajar,” kata alumni Jurusan Bimbingan Konseling Universitas Negeri Solo ini.

Berdasarkan pengalamannya selama kurang lebih 16 tahun menjadi “guru BK,” Eko menyatakan setiap pelajar yang datang ke sekolah sesungguhnya sudah membawa masalah. Anak yang terbentuk nakal, misalnya akan bergabung dengan kelompok yang bisa menerima mereka.

Eko mengaku bukan perkara mudah mengatasi anak-anak nakal yang menjadi klitih. Butuh kesabaran, keberanian dan komitmen. “Menghadapi anak nakal bukan lagi dengan kekerasan atau hukuman, mereka terbentuk oleh sistem, cara mengatasinya juga dengan pendekatan sistem,” ujarnya.

Sosiolog Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Bambang Kusumo Prihandono, menyebut klitih merupakan persoalan kriminalitas, kekerasan, sekaligus persoalan anak muda di Yogyakarta.

Menurut Bambang para pelaku klitih adalah orang-orang yang tersingkir, bukan hanya dari norma tapi juga struktur ekonomi, pendidikan, dan sosial. "Misalnya orang sudah kelas bawah, nggak punya apa-apa, goblok di sekolah, kemudian nggak pernah punya peran dalam masyarakat, dianggap sebagai orang sing ora tau (yang tidak pernah) jelas, nggak beragama. Itu dicap sebagai moralnya tidak bagus, isinya cuma membuat onar," katanya.

Akhirnya, ujar Bambang, penghakiman oleh masyarakat itu tertanam dalam pikiran mereka, membentuk suatu keyakinan bahwa mereka memang remaja yang seperti itu. Hasilnya, kata Bambang, mereka mereproduksi penilaian masyarakat tersebut dengan wujud tindakan kekerasan seperti klitih itu. "Jadi siapa yang membentuk? ya masyarakat sendiri. Siapa yang membuat mereka menjadi klitih? ya masyarakat sendiri."

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda DIY Komisaris Besar Polisi Yuliyanto mengatakan, cara mencegah kejahatan klitih yang tepat yaitu dengan tidak melakukan kejahatan yang sama. “Kalau dia seorang pelajar, seharusnya dia bisa memberi contoh supaya teman-temannya tidak membuat kejahatan di jalanan. Kalau dia membawa senjata tajam dengan alasan karena takut dianiaya orang lain, maka akan masuk unsur pidana undang-undang darurat,” ujarnya.

Seorang “mantan” klitih, Afarel Wibowo, bercerita pengalamannya saat terbenam dalam “aktivitas klitih.” Ia mengaku menjadi klitih setelah dua orang tuanya bercerai. Kala itu ia masih SMA. “Saat itu puas saja kalau tawuran. Awalnya diajak sama kakak kelas nongkrong-nongkrong sampai akhirnya terjun ke dunia gelap seperti itu,” ucap pemuda berkulit putih 19 tahun tersebut.

Sudah tak terhitung ia diperingatkan sekolah perihal ulahnya. Ia juga pernah berurusan dengan polisi lantaran aksi klitihnya. Ketika itu gengnya tawuran dengan geng lain. Merasa tak sanggup lagi “membenahi” Afarel, pihak sekolah akhirnya “menendang” pelajar itu, hal yang membuatnya melanjutkan pendidikan dengan sistem “home shooling.” Peran ibu dan ayah tirinya menjadi penting di sini: mengarahkan dan membimbingnya, juga mengabulkan ketika ia ingin melanjutkan pendidikan ke lembaga pendidikan penerbangan. Orangtuanya yang awalnya khawatir anaknya kembali ke dunia klitih, merasa terkejut -sekaligus bersyukur- melihat pencapaian yang dilakukan Alfarel.

“Setelah kami instropeksi yang salah dalam hal ini pasti bukan hanya anaknya saja. Kalau anak nggak dekat dengan orang tua, dia akan mencari tempat lain yang membuatnya nyaman. Itu yang kami ambil pelajarannya,” ujar Eri Subiyanto, ayah tiri Alfarel. Kini Alfarel telah bekerja di sebuah perusahaan penerbangan. Dunia klitih adalah masa lalunya. Namun, tidak untuk puluhan remaja lain di kota gudek ini yang masih terus berkeliaran di malam hari –memburu apa pun yang mereka anggap musuh. []

Berita terkait
Terduga Klitih Bawa Celurit Kecelakaan Parah di Yogyakarta
Dua pria terduga klitih mengalami kecelakaaan hebat di Yogyakarta. Kedua jatuh terkapar bersama celurit yang diduga dibawanya. Kini dirawat di RS.
Klitih Bikin Onar di Yogyakarta, Penjual Sate jadi Korban
Klitih beraksi dini hari tadi di Wirobrajan, Kota Yogyakarta. Seorang penjual sate menjadi korban, kini dirawat di rumah sakit.
Polres Bantul Tangkap Empat Bocah Klitih Pelaku Pembacokan
Polres Bantul menangkap empat bocah klitih pelaku pembacokan terhadap dua remaja asal Sleman di Jalan Samas Bantul. Tiga bocah masih buron.
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.