Langkah ini Mengakhiri 661 Tahun Pemasalahan Sunda-Jawa

Rekonsiliasi ini akan merekatkan bangsa Indonesia melalui simpul-simpul yang memberikan orientasi nilai perjuangan dan persatuan.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo bersama Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, dan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X. (lut)

Surabaya, (Tagar 6/3/2018) - Siapa sangka jika antara etnis Sunda dan Jawa punya permasalahan sejak 661 tahun yang lalu. Permasalahan itu muncul akibat tragedi Pasunda Bubat yang terjadi pada tahun 1357 Masehi.

Tragedi Pasunda Bubat adalah perang antara kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda yang terjadi pada abad ke-14 tepatnya pada tahun 1357 yang diakibatkan kesalahpahaman antara Gajah Mada sebagai patih Kerajaan Majapahit dan Anepaken sebagai patih Kerajaan Sunda dalam mengartikan sebuah pertemuan persuntingan putri kerajaan Sunda, Diah Pitaloka oleh Raja Mojopahit, Hayam Wuruk.

Hal ini mengakibatkan peperangan, yang mengakibatkan raja sunda, istrinya, serta putri Diah Pitaloka dan pasukannya meninggal.

Untuk mengakhiri permasalahan itu, dilakukan rekonsiliasi budaya yang diwujudkan dengan penggantian nama dua jalan arteri di Kota Surabaya dengan menggunakan nama yang menyimbolkan kesundaan. Yakni, Jalan Prabu Siliwangi menggantikan Jalan Gunungsari, dan Jalan Sunda menggantikan Jalan Dinoyo.

Penggantian nama jalan tersebut menjadikan Jalan Prabu Siliwangi berdampingan dengan Jalan Gajah Mada, sementara Jalan Sunda berdampingan dengan Jalan Majapahit.

"Lewat peristiwa ini, permasalahan antara etnis Jawa dan Sunda yang terjadi sejak 661 tahun lalu, selesai hari ini. Alhamdulillah, baik saya dan Pak Aher akhirnya bisa menemukan satu titik kesamaan" kata Gubernur Jawa Timur Soekarwo pada acara Rekonsiliasi Budaya Harmoni Budaya Sunda-Jawa di Hotel Bumi Surabaya, Selasa (6/3).

Pakde Karwo, sapaan akrab Gubernur Jatim mengatakan, rekonsiliasi ini penting untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, khususnya antara etnis Sunda dan Jawa. Akibat tragedi Pasunda Bubat, kedua etnis ini kerap berselisih dalam berbagai hal yang menyangkut hubungan kemanusiaan, seperti perkawinan, pendidikan dasar, dan lainnya.

"Jauhnya jarak antara peristiwa perang Bubat dengan munculnya beberapa naskah kuno hingga 200 tahun berikutnya, seperti kidung sundayana ditengarai sebagai upaya divide et impera oleh penjajah," ujar Pakde Karwo.

Oleh karena itu, lanjutnya, penting bagi generasi masa kini untuk mendudukkan tragedi Perang Bubat sebagai peristiwa kebudayaan, dan untuk melenyapkan masalah ini diperlukan terobosan-terobosan kebudayaan antara masyarakat Sunda dan Jawa, salah satunya lewat rekonsiliasi harmoni budaya sunda-Jawa ini.

Ditambahkan Pakde Karwo, rekonsiliasi ini akan merekatkan bangsa Indonesia melalui simpul-simpul yang memberikan orientasi nilai perjuangan dan persatuan, dengan bingkai dan landasan keragaman budaya, sebagai sumber kekuatan bangsa Indonesia.

Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan menyambut baik rekonsiliasi Sunda dan Jawa yang diwujudkan melalui hadirnya simbul Sunda pada dua ruas jalan di Jawa Timur, tepatnya di Kota Surabaya.

Untuk itu, Kang Aher, sapaan akrab Gubernur Jabar ini juga akan melakukan hal serupa di Jabar, tepatnya di Kota Bandung, dengan membuat Jalan Majapahit dan Jalan Hayam Wuruk di Kota Bandung.

"Nama Jalan Majapahit akan menggantikan Jalan Gasibu di tengah kota, kemudian Jalan Kopo diganti Jalan Hayam Wuruk. Estimasinya, penggantian kedua jalan ini dilakukan pada bulan April atau awal Mei 2018 mendatang” katanya.

Kang Aher sepakat rekonsiliasi ini menjadi bagian penting untuk mempererat hubungan antara etnis Sunda dengan Jawa.

"Sampai saat ini, ada orang Sunda yang tidak mau disebut orang Jawa, padahal mereka tinggalnya di Pulau Jawa. Nantinya, disebut orang Jawa berbahasa Sunda. Rekonsiliasi ini akan membawa dampak psikologis untuk merekatkan kita" katanya.

Ditambahkan, rekonsiliasi ini turut menjadi sejarah dan terobosan yang tepat untuk menyatukan Indonesia. Pasalnya, jumlah etnis Jawa mencapai 42% dari seluruh etnis di Indonesia, sedangkan etnis Sunda mencapai 14%. Jika digabungkan, jumlahnya mencapai 56% atau separuh lebih dari seluruh etnis di Indonesia.

"Artinya jika masalah Jawa dan Sunda selesai, maka perkara-perkara besar di Indonesia juga selesai," ujarnya.

Sementara itu, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X mengungkapkan bahwa pemberian nama-nama jalan ini diharapkan memutus sejarah kelam 661 tahun lalu atas tragedi Bubat yang meretakkan hubungan antara etnik Sunda dengan Jawa.

"DIY telah meletakkan nama Jalan Siliwangi, Pajajaran dan Majapahit menjadi satu kesatuan jalan dalam satu jalur, dari ruas simpang Pelemgurih ke Jombor, diteruskan sampai di simpang tiga Maguwoharjo, dan dilanjutkan lagi hingga simpang Jalan Wonosari," katanya.

Ditambahkan, penamaan jalan hari ini juga menjadi tonggak awal sejarah baru rekonsiliasi etnik Sunda-Jawa. Demikian pula, kehadiran Kang Aher sebagai representasi rakyat Sunda di Jawa Barat dan Pakde Karwo mewakili rakyat Jawa di Jatim diharapkan semakin memulihkan tali persaudaraan untuk menjadi satu bangsa Indonesia yang bermartabat.

"Dalam agama apa pun kita tidak pernah mengenal adanya dosa turunan. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan menunjukkan jalan lurus-Nya, sehingga kita menjadi lebih utuh sebagai satu bangsa." pungkas Gubernur DIY. (lut)

Berita terkait