Kronologi Runtuhnya Rezim Orde Baru Soeharto

Cendana menyerahkan sejumlah arsip dan dokumen sejarah mengenai kehidupan Presiden Ke-2 Soeharto, sang pemilik rezim Orde Baru.
Presiden Soeharto didampingi wakilnya, BJ Habibie, membacakan pidato pengunduran dirinya sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998. Soeharto yang telah menjadi presiden Indonesia selama 32 tahun mundur setelah runtuhnya dukungan untuk dirinya. (AFP/Agus Lolang)

Jakarta - Keluarga Besar Cendana berencana untuk menyerahkan sejumlah arsip dan dokumen sejarah mengenai kehidupan Presiden Ke-2 Soeharto, sang pemilik rezim Orde Baru, kepada pihak Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Kamis, 18 Juli 2019.

Haji Muhammad (H.M) Soeharto (Pak Harto) merupakan presiden Indonesia yang memiliki masa kepemimpinan terlama, yakni 32 tahun. Ia mulai berkuasa pada tahun 1967 menggantikan Soekarno. Oleh dunia internasional, Soeharto kerap mendapat julukan "The Smiling General", yang secara harafiah berarti 'Sang Jenderal yang Tersenyum".

Sebelum menjadi presiden, Pak Harto adalah pemimpin militer pada masa pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. 

Nama Soeharto mencuat kala dipercaya Presiden Soekarno untuk melakukan operasi penertiban dan pengamanan usai peristiwa mencekam yang dikenal sebagai Gerakan 30 September 1965.

Salah satu yang dilakukan Soeharto kala itu adalah menyatakan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai organisasi terlarang, menumpas anggota, simpatisan dan seluruh pihak yang terafiliasi dengan PKI, termasuk pula yang berhubungan dengan berbagai organisasi sayap partai seperti Gerwani dan Sobsi.

Soekarno - SoehartoSoekarno - Soeharto 2

Soeharto kemudian diberi mandat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sebagai presiden pada 26 Maret 1968. Beliau kemudian dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, dan 1993. Pak Harto lengser pada bulan Mei 1998, setelah sebelumnya, ia dipilih kembali oleh parlemen sebagai presiden untuk ketujuh kalinya di Maret tahun yang sama.

Kejatuhan Pak Harto bermula pada tahun 1997. Waktu itu, Bank Dunia mengatakan bahwa  20 hingga 30 persen dari dana pengembangan Indonesia telah disalahgunakan selama bertahun-tahun. 

Krisis finansial Asia pada tahun yang sama tidak membawa hal baik bagi pemerintahan Presiden Soeharto ketika dipaksa untuk meminta pinjaman, yang juga berarti pemeriksaan menyeluruh dan mendetail dari IMF.

Terbongkarnya dugaan korupsi oleh Soeharto, membuat masyarakat geram dan gusar. Bersama mahasiswa, sejumlah warga masyarakat mulai menggelar berbagai aksi demonstrasi pada Februari 1998, beberapa bulan sebelum Pemilihan Umum dilaksanakan. Kala itu, mereka mulai berani menuntut terjadinya suksesi kepemimpinan nasional.

Memasuki bulan Maret, mahasiswa dan rakyat melakukan demonstrasi menolak hasil pemilu. Aksi dilakukan hampir bersamaan di Jakarta, Yogyakarta, Lampung, dan Medan. Kali ini, mereka menuntut dilakukannya reformasi total di pemerintahan. 

Menuntut Soeharto dan kroninya diadili, dilakukannya amandemen UUD 1945, penghapusan dwifungsi ABRI, otonomi daerah yang seluas-luasnya, supremasi hukum, serta membangun pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Jumlah peserta aksi semakin berlipat ganda dan terjadi di hampir seluruh kota besar di Indonesia. Hal itu dipicu kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang makin membuat rakyat tercekik.

Pihak pemerintah melalui TNI/Polri (dulu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau ABRI), menyikapi aksi demonstrasi dengan keras. Aksi demonstrasi di Medan bahkan sempat berubah menjadi kerusuhan.

Saat situasi makin memanas, Presiden Soeharto justru pergi meninggalkan tanah air untuk menghadiri KTT G-15 di Kairo, Mesir, pada 9 Mei 1998. Dua hari berselang, empat mahasiswa Trisaksi tewas tertembus peluru tajam aparat. Mereka ditembak di halaman kampus saat menggelar aksi damai menuntut perubahan.

Jatuhnya korban dari kalangan mahasiswa ini, semakin memancing kemarahan rakyat. Bersama mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi, mereka mendatangi Kampus Trisakti untuk menyatakan duka cita. Aksi belasungkawa ini kembali diwarnai kerusuhan.

Tragedi Mei 1998Tragedi Mei 1998

Kerusuhan kemudian berlanjut menjadi aksi penjarahan terhadap toko-toko dan pusat perbelanjaan di Jakarta. Aksi vandalisme dan penjarahan kemudian menyebar ke berbagai daerah lain di Indonesia.

Sejumlah Supermarket seperti Hero, Makro, Super Indo, Ramayana, Goro, dan Borobudur porak-poranda dirusak dan dibakar massa. 

Ironisnya, pembakaran pusat perbelanjaan tersebut dilakukan saat penjarah lain masih berada di dalam gedung, sehingga kejadian menimbulkan ratusan korban tewas.

Kerusuhan Mei 1998Kerusuhan Mei 1998. (Foto: Ist)

Soeharto kemudian memutuskan untuk memperpendek kunjungannya di Kairo, dan tiba kembali di tanah air pada 15 Mei 1998. Sementara situasi Ibu Kota Jakarta masih mencekam. Tentara beserta kendaraan taktis militer kerap melakukan patroli di jalan-jalan besar, membuat sebagian warga masyarakat enggan keluar karena takut.

Beberapa hari berikutnya, sejumlah tokoh nasional seperti Abdurrahman Wahid alias Gusdur, Nurcholis Madjid alias Cak Nur, Malik Fajar hingga MH Ainun Wahid atau Cak Nun diundang Presiden Soeharto untuk diajak berdiskusi mengenai situasi sosial dan politik terkini.

Hasilnya, para tokoh masyarakat membeberkan fakta bahwa masyarakat dan mahasiswa tetap menginginkan Soeharto mundur. Permintaan tersebut ditolak oleh Pak Harto, seraya mengajukan pembentukan Komite Reformasi.

Soeharto juga mengungkapkan bahwa dirinya tak ingin dipilih lagi menjadi presiden. Namun hal itu tak mampu meredakan tekad massa yang menginginkan adanya perubahan. Mahasiswa dan rakyat kemudian kembali menggelar aksi di jalanan depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat (DPR/MPR).

Amien Rais, yang kala itu menjadi salah satu motor pergerakan reformasi, sempat mengajak massa mendatangi Lapangan Monumen Nasional (Monas) untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional pada tanggal 20 Mei 1998, tapi urung dilakukan lantaran Amien tak ingin aksi kembali memakan korban.

Meski tak jadi melakukan pengerahan massa ke Lapangan Monas, mahasiswa dan rakyat yang bertahan di gedung DPR/MPR justru semakin berlipat ganda. Pendudukan gedung dilakukan demi mendesak Soharto agar mau mengundurkan diri.

Tuntutan massa terpenuhi keesokan harinya. Pada Kamis, 21 Mei 1998 pukul 09.05, H.M. Soeharto mengumumkan mundur dari kursi presiden. Posisi kemudian digantikan oleh Baharuddin Jusuf Habibie yang sebelumnya merupakan wakil Pak Harto.

Dalam pidatonya, Soeharto mengungkapkan alasan pengunduran diri sebagai berikut.

  1. Tidak terbentuknya Komite Reformasi karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana tersebut.
  2. Dengan tidak terbentuknya Komite Reformasi maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII tidak diperlukan lagi.

Dua alasan tersebut dinilai membuat sulit Pak Harto untuk menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik, sehingga pada akhirnya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatannya.

Presiden SoehartoPresiden Soeharto didampingi wakilnya, BJ Habibie, membacakan pidato pengunduran dirinya sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998. Soeharto yang telah menjadi presiden Indonesia selama 32 tahun mundur setelah runtuhnya dukungan untuk dirinya. (AFP/Agus Lolang)

Selain itu, Presiden Soeharto juga menyatakan beberapa hal yang berhubungan dengan pemerintah Indonesia,

  1. Sejak saat itu, Kabinet Pembangunan VII demisioner.
  2. Untuk menghindari kekosongan pimpinan dan penyelenggaraan pemerintah negara, wakil presiden akan melaksanakan pengucapan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung.

Pada hari itu BJ Habibie langsung mengambil sumpah jabatan sebagai presiden. Pengangkatan Habibie dari jabatan wakil presiden menjadi presiden, atas dasar pasal 8 UUD 1945 yang berbunyi 'Bila presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis waktunya'. []

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.