Medan - Pemilihan kepala daerah (Pilkada) di beberapa daerah di Sumatera Utara, seperti di Kota Pematangsiantar, Kota Gunung Sitoli dan Kabupaten Humbang Hasundutan, berpotensi munculnya pasangan calon tunggal dan nantinya melawan kotak kosong.
Menurut pengamat politik dan pemerintahan di Kota Medan, hal itu terjadi salah satunya tidak terlepas dari biaya politik tinggi.
"Pilkada bukannya tidak menarik, tetapi belajar dari pilkada yang yang sudah lalu, cost politics yang harus dikeluarkan pasangan calon sangat tinggi, sehingga banyak yang berpikir ulang dan mengurungkan niat untuk ikut berkompetisi di pilkada ini," ungkap akademisi dari Universitas Sumatera Utara, Hatta Ridho, Jumat, 7 Agustus 2020.
Ada beberapa penyebab kandidat pasangan calon tunggal melawan kotak kosong. Menurutnya, yang pertama terkait regulasi yang membatasi jumlah pasangan calon, karena syarat minimal dukungan 20 persen kursi DPRD dari jalur partai politik hanya bisa memunculkan 4-5 pasangan calon bila distribusi kursi merata.
"Itu bila distribusi kursi partai politik di DPRD memang merata. Bila partai politik memutuskan berkoalisi, ya bisa saja hanya menyisakan satu pasangan calon," ujarnya.
Memang pembuat undang-undang telah merencanakannya sejak awal. Karena itu ditampung dalam klausul khusus di dalam regulasi
Yang kedua, menurut Dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) USU ini, sulitnya memenuhi persyaratan dukungan bagi calon independen sebesar 6,5 sampai dengan 10 persen jumlah pemilih DPT.
Apakah demokrasi tidak berjalan sekaitan dengan beberapa daerah berpotensi melawan kotak kosong, Hatta Ridho mengatakan, demokrasi tetap berjalan. Akan tetapi di Indonesia, yang dominan demokrasi prosedural.
"Artinya, begitu MK memutuskan calon tunggal sah dalam kompetisi pilkada, maka pilkada tetap bisa terlaksana sesuai prosedur, meski nilai-nilai keadilan dalam proses pencalonan menjadi berkurang," jelasnya.
Di tempat terpisah, akademisi dari FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Shohibul Anshor Siregar menyebutkan, nilai paling sentral dalam fenomena pasangan tunggal adalah transaksi.
Dan keliru bila melihatnya sebagai fenomena yang disebabkan pilkada sebagai kontestasi tak menarik lagi bagi para politikus.
"Memang pembuat undang-undang telah merencanakannya sejak awal. Karena itu ditampung dalam klausul khusus di dalam regulasi," katanya.
Dia mengatakan, kotak kosong adalah tragedi demokrasi yang dilegalkan oleh sistem politik.
"Intinya, bahwa elite partai sudah terlebih dahulu diamankan di Jakarta, dan jerit apa pun yang ke luar dari kader di daerah, tak ada artinya sama sekali. Itu tak akan didengar," ucapnya. [] PEN