Komnas Perempuan Nilai Kasus Meiliana Akumulasi dari Konflik 2010

Komnas Perempuan menilai kasus Meiliana ini tidak berdiri sendiri, tetapi disebabkan beberapa faktor yang saling terkait.
Ilustrasi foto Meiliana (Foto: Istimewa/Rully)

Bandung, (Tagar 24/8/2018) - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendesak aparat penegak hukum  segera membebaskan Meiliana dari vonis penjara 18 bulan atas perkara melakukan penodaan agama. Komnas Perempuan menilai kasus Meiliana ini tidak berdiri sendiri, tetapi disebabkan beberapa faktor yang saling terkait.

“Komnas Perempuan menyesalkan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Medan atas perkara Ibu Meiliana yang divonis 1 tahun 6 bulan atas tuduhan melakukan penodaan agama karena mengomentari volume suara adzan di Masjid Al-Maksum, Tanjung Balai," tutur Komisioner Komnas Perempuan, Khariroh Ali, di Bandung, Jumat (24/8).

Dalam hal ini Komnas Perempuan memandang kasus ini sebenarnya tidak berdiri sendiri. Menurut Khariroh, sejak tahun 2010-2017 Komnas Perempuan telah melakukan pemantauan secara intensif dan menemukan faktor utamanya yaitu konflik bernuansa agama dan potensi konflik sosial di Tanjung Balai, salah satunya karena ada laporan pada tahun 2010 tentang potensi ketegangan atas nama agama.

“Temuan kunci Komnas Perempuan bahwa Tanjung Balai adalah masyarakat  multikultur baik dari ragam suku, etnis, maupun agama.  Ketegangan antar agama dan etnik terjadi, karena tidak berjalannya dialog yang mendamaikan, rasa curiga dan prejudice antar etnis yang diperkuat dengan kesenjangan sosial ekonomi antara komunitas Tionghoa yang dianggap kaya dan dihadap-hadapkan dengan etnis lain yang banyak menjadi buruh dan miskin,” jelasnya.

Selain itu terang dia, terkait rule of law yang tidak berjalan dan memicu impunitas bagi mereka  yang punya kuasa ekonomi maupun politik. Hal lain, adalah masyarakat yang frustasi, karena tinggal di wilayah perbatasan yang rentan jadi wilayah trafficking maupun peredaran zat adiktif.

“Seluruh akumulasi masalah ini tidak berimbang dengan sikap tegas dan tindakan intensif penyelenggara negara di level daerah untuk mencegah dan mengelola konflik serta penegakan hukum yang menjadi ‘sekam’ di Tanjung Balai. Kondisi ini sudah menjadi ‘bara’, yang mudah dipicu oleh masalah apapun,” terangnya.

Khariroh melanjutkan isu SARA inilah yang menjadi pencetus konflik dimana kasus Meiliana adalah pintu masuk untuk memicu dan meluapkan kemarahan massa. Komnas Perempuan memandang bahwa penghukuman terhadap Ibu Meiliana merupakan preseden buruk bagi Indonesia sebagai negara hukum. 

Menurutnya, membiarkan bibit penyelesaian dengan kekerasan terus berlangsung akan membahayakan pertumbuhan Indonesia sebagai negara demokrasi. Pelanggaran atas asas legalitas berdasar adanya ketidakpastian hukum.

“Putusan hakim pada perkara Ibu Meliana mengacu pada Dakwaan Jaksa Pasal 156 KUHP jo Pasal 156a Huruf (a), dengan menyandarkan pada unsur perbuatan di muka umum. Proses hukum abai atas fakta hukum yang ada,” katanya.

Ia mengatakan sebenarnya Meiliana tidak menyampaikan keluhannya di muka umum, tetapi kepada tetangganya dimana komunikasi yang terjalin antar tetangga dekat dalam suasana terbuka. 

"Ibu Meiliana tinggal selama delapan tahun di Tanjung Balai. Tidak ada permusuhan dan kebencian satu sama lainnya. Kesimpangsiuran atas tuduhan penodaan agama telah diklarifikasi oleh Ibu Meliana dan keluarga pada tanggal 29 Juli di Kantor Kelurahan Tanjung Balai, yang berdampak pada pengusiran dirinya dan keluarganya. Ibu Meliana dan 4  orang anaknya dipaksa pergi dari rumah yang sudah di diaminya selama 8 tahun," ungkapnya.

“Berdasarkan keterangan Ahli Dr. Rumadi yang dihadirkan oleh Komnas Perempuan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 7 Agustus 2018  bahwa, “Apa yang dilakukan terdakwa bukanlah pernyataan permusuhan, tetapi pernyataan perasaan terganggu dengan volume pengeras suara adzan,” ujarnya.

"Tidak ada intensi memusuhi, dan dia juga bukan melakukan penyalahgunaan atau penodaan terhadap agama. Dikaitkan dengan Pasal 1 UU PNPS/1965, bahwa Ibu Meliana tidak melakukan dukungan umum juga tidak menyampaikan perasaannya di muka umum, dia hanya menyampaikan pada tetangga dekatnya, dan tidak disebarkan ke banyak orang. Dia juga tidak melakukan penafsiran agama yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama," tambah Khariroh.

Dia melanjutkan ahli (Dr. Rumadi) menyampaikan pandangannya bahwa adzan dan pengeras suara adalah dua hal yang berbeda.

"Mempermasalahkan pengeras suara adzan tidak bisa dimaknai mempersoalkan adzan. Jadi, terhadap ibu Meliana seharusnya tidak bisa dijerat dengan pasal penodaan agama,” tegasnya.

Khariroh mengatakan Komnas Perempuan memandang bahwa proses hukum pada Ibu Meliana jangan sampai menjadi proses peradilan yang tidak adil (unfairtrial), dimana proses hukum pada seseorang didasarkan bukan pada pelanggaran/kejahatan yang dilakukan, tetapi karena adanya tuntutan massa (trial by mob).

“Kasus ini merupakan bentuk kriminalisasi kepada Ibu Meiliana, sebagai perempuan dalam kelompok minoritas yang sangat rentan untuk diperlakukan secara diskriminatif. Ibu Meiliana dan keluarganya mengalami pengusiran paksa, pemiskinan akibat tindakan kelompok intoleran, sehingga hak-hak konstitusionalnya terenggut hak atas rasa aman, hak atas jaminan perlindungan dan kepastian hukum,” keluhnya.***

Berita terkait
0
Jurus Jitu PLN Tekan Emisi dan Dongkrak Bauran Energi Bersih
PT PLN (Persero) gencar menerapkan teknologi substitusi baru bara dengan biomassa ( co-firing) untuk bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap.