TAGAR.id, Kabupaten Tangerang, Banten – Melihat angka-angka kasus HIV/AIDS dan TB di Banten seperti yang dipublikasikan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui sihakemkes.go.id, sudah saatnya semua daerah, dalam hal ini kabupaten dan kota, di Banten bersama-sama menanggulangi penyebaran HIV/AIDS dan TB.
Jumlah kasus HIV-positif yang ditemukan di Provinsi Banten pada triwulan pertama dan kedua yaitu Januari - Juni tahun 2022 sebanyak 1.027, dari jumlah ini yang memulai ART sebanyak 757 (73,71%).
Itu artinya ada 270 warga Banten yang tidak menjalani ART. Mereka ini potensial menularkan HIV/AIDS ke orang lain.
Kalau ada di antara yang 270 itu suami, maka mereka akan menularkan HIV/AIDS ke istrinya. Jika istrinya tertular, ada risiko penularan ke bayi yang dikandungnya kelak terutama saat persalinan dan menyususi dengan air susu ibu (ASI).
Jumlah warga Banten yang berisiko jadi mata rantai penyebaran, selain yang 270 itu, adalah warga yang baru tertular HIV/AIDS karena melakukan perilaku seksual bersiko tertular HIV/AIDS.
Sementara itu capaian skrining TB pada pengidap HIV/AIDS tahun 2022 di Provinsi Banten dilaporkan 80%. Kasus ril yang ditemukan di RSU Kabupaten Tangerang menunjukkan 70% kasus HIV/AIDS terdeteksi pada pasien TB.
HIV/AIDS dan TB ini jadi masalah bagi Banten karena yang aktif untuk menjangkau warga yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV/AIDS hanya dilakukan oleh penjangkau yang didukung oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Tangerang.
Penjangkauan yang dilakukan relawan, seperti …., membuahkan hasil yaitu menemukan 5-7 warga yang perilaku seksualnya berisiko.
Mereka itu, terutama laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan peremupan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti perempuan pekerja seks (PSK) serta cewek prostitusi online yang di-booking melalui aplikasi di media sosial.
Warga yang berhasil dijangkau memang tidak otomatis menunjukkan gejala terkait HIV/AIDS karena secara statistik orang-orang yang tertular HIV/AIDS baru menunjukkan gejala terkait HIV/AIDS setelah 5-15 tahun tertular HIV/AIDS dengan kondisi mereka tidak meminum obat antiretroviral (ARV).
Namun, yang jadi persoalan besar, seperti yang dihadapi Lina adalah mereka yang terjangkau justru menunjukkan gejala-gejala penyakit terkait TB (dikenal luas sebagai TBC).
Maka, Lina pun membawa mereka ke Puskesmas yang selanjutnya Puskesmas merujuknya ke RSU Kabupaten Tangerang di Kota Tangerang. Seorang petugas kesehatan di Klinik Bougenville yang menangani HIV/AIDS mengatakan 70% pengidap TB yang berobat ke klinik itu terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Maka, langkah pertama yang dilakukan adalah pengobatan TB yang dilanjutkan dengan pemberian obat ARV.
Dengan data yang diungkapkan Klinik Bougenville sudah saatnya kolaborasi antar semua daerah di Banten untuk menjangkau warga agar menemukan kasus TB.
Menemukan kasus TB lebih mudah karena kasat mata, sedangkan kasus HIV/AIDS tanpa gejala. Untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS dilakukan tes HIV terhadap pasien TB.
Jika tidak ada langkah bersama antara kabupaten dan kota yang dikoordinir oleh Pemprov Banten, maka kasus TB akan jadi masalah besar bagi kesehatan masyarakat di Banten.
Soalnya, secara sosial ada kecenderungan untuk ‘menyembunyikan’ anggota keluarga yang mengidap TB. Itu artinya risiko penyebaran baksil TB di satu keluarga akan tinggi, apalagi sanitasi dan peredaran udara di rumah tidak baik.
Bahkan, penyebaran bisa terjadi di sebuah komunitas karena warga pengidap TB yang tidak terdeteksi hanya dianggap flu atau sedangkan sakit batuk ketika dia bersin atau batuk-batuk.
Biarpun Lina dan teman-temannya menjangkua dengan cepat, tapi karena daerah-daerah lain tidak melakukan hal yang sama, maka risiko penyebaran TB dari daerah lain ke daerah jangkauan Lina akan terus terjadi.
Hal itu terjadi karena mobilitas warga, baik secara ekonomi maupun kekeluargaan, yang tinggi di wilayah Banten. Transportasi publik, yaitu KRL, membelah Banten mulai dari Pondok Ranji (Tangsel) sampai Rangkasbitung (Lebak) yang dilanjutkan dengan KA Ekonomi ke Merak.
Jika TB dan HIV/AIDS tidak ditangani maka akan jadi persoalan besar secara sosial dan kesehatan masyarakat.
Kematian karena TB dan HIV/AIDS akan meninggalkan anak-anak jadi yatim-piatu, bahkan bisa dengan HIV/AIDS. Fakta menunjukkan sebagian dari mereka diasuh oleh keluarga, terutama kakek atau nenek, dengan kondisi kehidupan di bawah garis kemiskinan.
Maka, inilah saatnya kolaborasi antar daerah di Banten untuk meningkatkan penjangkauan kasus HIV/AIDS dan TB agar tidak terjadi ledakan AIDS atau TB atau keduanya sekaligus. []