Kisah Syeikh Nawawi, Kakek Ma’ruf Amin di Jazirah Arab

Pada suatu hari saat hamil anak pertama, Zubaidah sedang mencuci beras di sungai, beras tersebut tiba-tiba saja menjadi emas.
Syeikh Nawawi kakek Kiai Ma'ruf Amin. (Foto: Aswaja Muda)

Banten, (Tagar 29/1/2019) - Cikal bakal berdirinya pondok pesantren (Ponpes) An Nawawi Tanara Al Bantani diawali dari pembuatan sebuah bangunan rumah milik KH Ma'ruf Amin yang tidak jauh dari tempat lahir Syeikh Nawawi, kakek Ma'ruf Amin yang pernah menjadi imam di Masjidil Haram, Mekkah, Arab Saudi.

Menurut Ahmad Muayyad, anak keenam Ma'ruf Amin, nama Nawawi diambil dari nama pujangga besar Islam yang lahir di Desa Tanara, Kabupaten Serang pada tahun 1230H/tahun 1813 Masehi. Sementara Al Bantani merujuk pada tanah Banten tempat Syeikh Nawawi dilahirkan.

"Jadi Abah Yai (Ma'ruf Amin) itu keturunan Sunan Gunung Jati dan Maulana Hasanudin Banten. Jadi, Syeikh Nawawi Al-Bantani yang merupakan kakek Abah itu benar pernah menjadi imam di Mekkah, dan makamnya itu terdapat di sana, bukan di Indonesia," jelasnya kepada Tagar News, Jumat (25/1).

Syeikh Nawawi merupakan putra sulung dari pasangan Umar Ibnu Arobi dan Zubaidah. Baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibunya, sangat terpengaruh ajaran Islam dan kebudayaan Islam. Ayahnya bekerja sebagai penghulu di Kecamatan Serang, dan sangat kuat agamanya serta berpengaruh di daerahnya.

Hal itu dijelaskan oleh Dimyathi (40), kuncen rumah tempat lahir Syeikh Nawawi yang letaknya berjarak 500 meter dari pintu masuk Ponpes An Nawawi Tanara. Ia menceritakan, pada suatu hari saat hamil anak pertama, Zubaidah sedang mencuci beras di sungai. Lalu, beras tersebut tiba-tiba saja menjadi emas.

"Kalau sama penduduk sekitar pasti ya namanya emas pasti dijual ke pasar atau ke tetangga, namun ini beda. Dalam proses mengandung, Zubaidah justru berdoa agar anaknya kelak akan terpancar seperti emas, gunanya ya agar bermanfaat bagi manusia lain. Ternyata doanya diijabah oleh Yang Maha Kuasa dan lahirlah Syeikh Nawawi yang ternyata bisa menciptakan lebih dari 100 kitab, yang sampai saat ini kitab-kitab itu masih digunakan oleh orang-orang untuk belajar," ucap Dimyathi mengisahkan.

Dia melanjutkan, Syeikh Nawawi mula-mula mendapatkan ilmu pengetahuan dasar dalam Bahasa Arab, Fiqih, Nahwu, dan Tafsir dari ayahnya sendiri. Kemudian bersama 3 saudara kandung lainnya, dia mendalami pelajarannya lagi ke Kiai Sahal di daerah Banten. Setelah itu ia kembali belajar ke Purwakarta kepada Kiai Raden H Yusuf, yang terkenal dengan santri-santriya yang berasal dari daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah.

"Nah, pada waktu berumur 15 tahun, beliau menunaikan ibadah haji bersama ketiga saudaranya yag sekaligus memanfaatkannya untuk melanjutkan pelajaran di Masjidil Haram Makkatul Mukkaramah, yang pada waktu itu satu-satunya perguruan tinggi di kota Mekkah," jelasnya.

Setelah banyak belajar di Mekkah dan Madinah, kemudian Syeikh Nawawi kembali lagi ke Indonesia untuk menyiarkan Islam. Namun, pada saat itu syiarnya kerap dibatasi oleh Belanda, yang sedang kuat-kuatnya menancapkan kolonialisme di Tanah Jawa, khususnya di daerah Banten.

Ponpes Kiai MarufJejak Syeikh Nawawi di Pondok Pesantren An Nawawi Tanara di Serang, Banten. (Foto: Tagar/Gemilang Isromi Nuari)

"Pada waktu itu kondisi di sini masih dalam penjajahan Belanda. Selama Syeikh Nawawi berada di Banten tepatnya di Desa Tanara, beliau merasa sangat sempit, karena setiap menyampaikan pelajaran kepada murid-muridnya kerap diawasi oleh kompeni. Oleh sebab itu, beliau pulang kembali ke Mekkah untuk belajar lagi pada ulama-ulama besar," tuturnya.

Syeikh Nawawi kemudian menetap di Mekkah hingga akhir hayatnya, dan wafat di sana pada tahun 1897 Masehi bertepatan dengan tanggal 25 Syawal tahun 1314 H. Sebelum wafat, pujangga Banten ini sempat dikunjungi selama 6 bulan oleh ilmuwan Eropa bernama Christian Snouek Hurgronye pada tahun 1884-1885 M. Kemudian ia membuat deskripsi tentang kepribadian Syeikh Nawawi.

Dalam catatan Rofi’uddin Romly (hal. 3-4), dikemukakan bahwa Syeikh Nawawi merupakan seorang tokoh yang amat rendah hati dan tidak mementingkan diri sendiri, apalagi dalam segi pakaian. Hal itu ditinjau dari percakapan antara keduanya.

Christian Snouek Hurgronye: "Mengapa Anda tidak mengajar di Masjidil Haram?"

Syeikh Nawawi: "Pakaianku yang jelek dan kepribadianku yang tidak cocok dengan kemuliaan seorang professor berbangsa Arab."

Christian Snouek Hurgronye: "Banyak orang berpengetahuan tidak sedalam Anda, toh mengajar di sana?"

Syeikh Nawawi: "Kalau mereka diizinkan mengajar di sana, pastilah mereka sangat berjasa untuk itu."

Menurut Snouek Hurgronye, bahwa dari ucapan-ucapan seperti itu orang belum bisa mengambil kesimpulan yang pasti bahwa dia betul-betul orang mempunyai sifat rendah hati dan tidak sombong. 

Kesimpulan itu juga bisa diambil dari ucapan tentang dirinya sendiri seperti yang diucap oleh Syeikh Nawawi, seperti: "Saya adalah debu yang lekat pada orang yang mencari ilmu", tetapi dari praktik hidupnya, lanjut Snouek, dibuktikan bahwa pujangga kelahiran Banten ini adalah orang yang rendah hati.

Dimyathi menerangkan, di kalangan masyarakat Mesir, Syeikh Nawawi sangat dikenal karena kitab-kitab karangannya banyak dicetak di negeri Pharaoh dan dijadikan bahan kajian mereka. 

Kekaguman orang-orang terhadapnya semakin besar, lantaran kitab karangan Syeikh yaitu Tafsir Munir dan Marah Labid berhasil dicetak untuk menjadi literatur pembelajaran orang Mesir terhadap kajian Islam. Ulama serta masyarakat di jazirah Arab tambah salut dengan dia karena ia notabene adalah seorang pendatang dari Jawa (Banten). Maka itu, yang membuat masyarakat terkagum dan tertarik untuk menemuinya langsung.

Alkisah, Syeikh Nawawi yang memiliki ciri fisik bertubuh kecil dan pendek suatu waktu diundang ke Mesir untuk mengemukakan isi kitab yang pernah ia tulis. Saat itu ia hanya mengajak asistennya yang bertubuh bongsor. Dengan hal ini, para cendikiawan Mesir justru terkecoh, dan menganggap Syeikh Nawawi itu justru adalah pria yang berawak bongsor, yang hanya termangu ketika diberikan rentetan pertanyaan oleh para cendikiawan.

Sebenarnya hal ini memang telah direncanakan dengan matang oleh Syeikh Nawawi dan sang murid, sehingga segudang pertanyaan yang diutarakan oleh cendikiawan Mesir akan dijawab seutuhnya oleh asistennya yang bertubuh kecil, yang sesungguhnya ia adalah Syeikh Nawawi.

Jawaban-jawaban yang dikemukakan oleh sang asisten dianggap sangat mengangumkan oleh para cendikiawan Mesir, sehingga menimbulkan anggapan bahwa kalau pola pikir asistennya saja pintar dan sangat hebat, apalagi gurunya sendiri yang hanya bisa diam membisu. Maka itu, kata Dimyathi, tak salah apabila Syeikh Nawawi digambarkan sebagai orang yang cerdik dan rendah hati.

"Beliau juga selalu menghargai karya-karya orang sebelumnya. Hal itu ditunjukkan beliau dengan selalu menyebut kitab-kitab rujukan yang ditulisnya. Padahal, isi rujukan itu merupakan hasil karya beliau sendiri," pungkasnya. []

Berita terkait
0
Hasil Pertemuan AHY dan Surya Paloh di Nasdem Tower
AHY atau Agus Harimurti Yudhoyono mengaku sudah tiga kali ke Nasdem Tower kantor Surya Paloh. Kesepakatan apa dicapai di pertemuan ketiga mereka.