Kenapa Orang Batak Suka Makan Daging Anjing? Ini Alasannya

Kenapa anjing ikut disantap? Jan Johannes van de Velde, asisten residen Belanda di Tapanuli punya jawaban.
Anjing (Foto: Istimewa)

"Makan Daging Anjing Dengan Sayur Kol", sebuah petikan lirik dari lagu "Sayur Kol" yang dilahirkan tahun 2017 sudah tak asing bagi penikmat musik di Sumatera Utara. Lagu ini dipopulerkan oleh Band Punxgoaran, sebuah band punk asal Pematangsiantar, Sumatera Utara.

Lagu ini semakin populer dan viral setelah dinyanyikan oleh seorang bocah. Lagu ini sudah ditonton lebih dari 2,4 juta orang di kanal YouTube.

Kalimat dalam lagu ini sebenarnya sangat sederhana. Tentang seorang pemuda yang sedang berjalan-jalan ke Siborong-borong, Tapanuli Utara. Di tengah jalan dia terjebak hujan deras dan berteduh. Saat berteduh, dia berkenalan dan kemudian martarombo (mengenal kekerabatan atau silsilah) dengan seorang namboru (tante) boru Panjaitan. Si namboru lalu mengajak si pemuda ke rumahnya. Di rumah namboru, mereka menyantap daging anjing dan sayur kol.  

Bagi sebagian masyarakat, makan daging anjing terdengar menjijikan. Beberapa komunitas penyayang satwa pun selalu menyerukan dan berkampanye untuk stop makan daging anjing. Masalahnya, di beberapa daerah makan daging anjing merupakan hal yang biasa dan bahkan sudah menjadi tradisi, seperti di Manado, Bali, dan tentu saja pada suku Batak. 

Mengutip dari laman Historia.id, E.H. Tambunan menulis dalam "Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayannya" orang Batak punya tradisi kuat makan daging. Dalam setiap upacara adat maupun upacara agama di kalangan penganut agama leluhur, daging selalu menjadi hidangan atau sesajian. Hewan yang disembelih beragam. Mulai dari yang halal seperti kerbau, ayam, dan kambing hingga non-halal seperti babi atau anjing.

Berbeda dengan babi yang jelas hewan ternak, bagi orang Batak anjing dipelihara sebagai penjaga rumah atau penjaga ternak. Tapi, ketika di meja makan, keduanya sama saja: menjadi santapan.

Kenapa anjing ikut disantap? Jan Johannes van de Velde, asisten residen Belanda di Tapanuli punya jawaban.

Masih mengutip Historia.id, pada 3 Maret 1940, van de Velde mendampingi residen ke dataran tinggi Habinsaran, sebelah selatan Kota Balige. Tujuan van de Velde dan rombongannya saat itu hendak meninjau beberapa huta (perkampungan) terpencil. Perjalanan dinas ini memberikan van de Velde pengalaman kuliner dan kultural yang berkesan.  

“Pada suatu kesempatan, kami dijamu dengan segelas tuak enak, semacam anggur terbuat dari nira pohon enau; minuman ini digemari orang-orang Batak dan seminggu sekali bisa dibeli di pasar besar, di Porsea. Apalagi kalau ditemani sepotong daging anjing, maka mereka lebih menikmati tuak itu,” kenang van de Velde dalam korespondensinya yang dibukukan dalam "Surat-surat dari Sumatra 1928-1949".

Van de Velde saat itu merasa enggan menyantap daging anjing karena jijik. Tapi di lain kesempatan dia mencicipi juga. Pada 17 November 1940, van de Velde kedatangan tamu dari Yale University, Profesor Karl Peltzer untuk meneliti gejala erosi di Balige. Sebagai jamuan, seorang koki lokal menyajikan sepinggan daging anjing goreng dan rebus dengan cara khas Batak.

“Kami mencicipi kedua masakan itu dan rasanya lumayan,” kata van de Velde. Namun van de Velde juga menyaksikan keadaan miris yang dialami oleh anjing-anjing santapan. Mereka kerap diperlakukan secara kasar dan kurang berharga.

“Kita tak perlu mengasihani anjing-anjing di sini, di huta-huta, mereka sering ditendangi, dipukul, diusir, lagipula, jumlahnya memang terlalu banyak. Di Pasar Balige pun, bisa dibeli anjing yang sudah disembelih, juga yang sudah dimasak, dan sering dimakan di tempat, dengan ditemani segelas dua tuak,” demikian tutur van de Velde.

Mengisi Daya Tondi (Roh)
Kebiasaan orang Batak makan daging anjing terbawa hingga ke perantauan. Firman Lubis dalam memoarnya Jakarta 1950-an sering mendengar identifikasi yang ditujukan kepada orang Batak di Jakarta. Biasanya dilontarkan sebagai sentimen kesukuan atau ejekan.

“Batak tukang makan orang atau tukang makan anjing – saya sendiri sering terkaget-kaget waktu ada yang melontarkan ejekan ini kepada saya karena kedua orang tua saya ‘cukup Islami’ dan saya agak takut dengan anjing,” kenang Firman Lubis, mengutip Historia.  

Rumah-rumah makan Batak ataupun lapo tuak yang menyajikan daging anjing lazimnya melabelkan kode B1 dalam daftar menu. B1 diambil dari bahasa Batak, biang yang artinya anjing untuk membedakannya dari daging babi yang diberi kode B2. Dibandingkan babi, daging anjing memiliki tekstur keras dan tak berlemak.

Saksang Daging AnjingSaksang Daging Anjing (Foto: Istimewa)

Jika menarik lebih jauh akar sejarah dan budayanya, makan daging anjing lebih dari sekedar penganan pendamping saat minum tuak. Tradisi menyatap anjing punya kaitan dengan keparcayaan animisme Batak kuno. Mengonsumsi daging anjing diyakini memberikan kekuatan kepada tondi (roh) manusia.

Sebelum masuknya pengaruh agama Samawi, suku Batak Toba percaya bahwa tondi adalah tenaga yang menghidupkan segala sesuatu yang ada di bumi. Keberadaan seseorang di dunia bergantung kepada persediaan dan kebesaran tondi-nya. Beberapa hewan seperti anjing, babi hutan dan harimau mempunyai persediaan tondi yang jauh lebih besar ketimbang hewan lain.

 “Anjing mampu berlari cepat karena tondi-nya lebih kuat,” tulis Bisuk Siahaan dalam Batak Toba: Kehidupan Di Balik Tembok Bambu. “Memakan daging anjing akan menambah persediaan tondi secara besar-besaran.”

Kepercayaan mengenai mustajabnya daging anjing menghinggap pada diri orang Batak tempo dulu yang gemar berperang. Menurut teolog Rudolf Pasaribu dalam "Agama Suku dan Bataknologi", kebiasaan memakan anjing dalam tradisi kuno punya maksud agar mereka berani dan gesit dalam peperangan. Dalam tubuh anjing dipercayai mengandung semacam zat yang merangsang keberanian. []

Berita terkait
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.